Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenang Saat Jadi Korban Gempa Sumbar Tahun 2009




akibat gempa di sicincin, padang 2009
rumah mak
Sore itu, Rabu 30 September 2009 sekitar pukul 5 sore cuaca di kampungku, Sicincin sedang mendung. Aku dan empat orang adikku sedang berkumpul di ruang tengah menonton acara tv. Saat itu juga ada dua orang adik sepupuku dan etek beserta dua orang anaknya yang main ke rumah.

Cuaca mendung membuat perutku lapar. Kuminta, adikku yang ketiga, Revi untuk memasak mie instant. Ia segera memenuhi permintaanku. Entah mengapa hari itu ia tidak banyak cerewet kalau dimintai tolong. "Mungkin karena besok aku sudah kembali ke tanjungpinang, jadi dia mau dimintai tolong tanpa embel-embel apapun," pikirku senang.




akibat gempa di sicincin, padang 2009
rumah nenek
Ya, sejak tanggal 19 september aku memang sudah di kampung dalam rangka mudik lebaran. Tanggal 1 oktober rencananya aku akan kembali ke Tanjungpinang melalui jalan jalan darat ke Pekanbaru dan dilanjutkan dengan pesawat RAL ke tanjungpinang.

Tak lama, pamanku yang biasa kupanggil Ajo datang membawa oleh-oleh kerupuk mentah, Aku sangat senang. Pada saat itu aku masih sempat membuat status di FB tentang rasa senang atas oleh-oleh dari beliau.

Sambil menunggu mie masak, aku menggoda anak etek yang bernama Putri. Aku pura-pura akan membawa adiknya, Syifa yang masih berumur 5 bulan ke Tanjungpinang. Sang kakak, Putri,tampak cemas dengan godaanku. Kubawa Syifa sampai ke pintu depan dan terus menggoda putri.

Karena kasihan melihat Putri yang baru berumur 3 tahun, aku pun kembali meletakan syifa di pangkuan ibunya. Kini giliranku menggoda Syifa yang berpipi tembem. Saat itulah rumah tiba tiba bergetar kuat dan aku tersadar itu adalah gempa.

Spontan aku keluar rumah sambil meneriakan gempa dan diikuti oleh semua orang yang ada di dalam rumah. Saat itu aku berpikir gempa itu hanya sebentar dan akan berhenti saat aku sampai di halaman rumah.Ternyata gempa makin kuat dan membuat aku meneriakan Allahu Akbar berulang kali sambil menutup telinga karena tidak tahan mendengar suara getarannya.

Kulihat tembok bagian rumah yang roboh, diikuti rengkahan di bagian atas dan sisi kanan kamar mak. Gempa masih berlangsung, aku berteriak meminta ampun pada Allah." Allahu Akbar, Allahu Akbar, ampun ya Allah, ampun ya Allah !" teriakku keras menandingi suara getaran gempa yang semakin keras.



Saat itu aku berpikir mungkin inilah dunia kiamat. Saat itu aku merasakan kematian sudah sangat dekat. Nafasku terasa sudah sampai di leher dan akan keluar meninggalkan tubuhku. Kuingat dosa-dosaku, kuingat segala kesalahanku, kuingat ibadahku yang masih kurang baik. Masih sempat kuingat suamiku yang berada di Tanjungpinang dan aku pasrah jika memang kami terpisah karena bencana ini.



Aku pasrah sambil mengucapkan kalimat syahadat dalam hati. "Jika aku mati, aku masih dalam keadaan mengingat Allah," pikirku.


Dalam situasi yang mencekam itu, aku masih melihat ke sekelilingku. Kulihat pamanku hilir mudik tak tentu. Adik sepupuku menangis histeris memeluk uminya. Kulihat adik bungsuku Widodo, berpegangan pada pondok tempat adik ibuku berjualan sambil melafazkan azan. Sedangkan ayah yang baru pulang dari pasar ,hanya termenung seperti orang linglung.

Saat itulah kuingat ibu yang sedang ke pasar dan adikku Isan yang masih di sekolah sore itu. Aku berdoa dalam hati semoga mereka dalam keadaan baik.

Perlahan gempa pun berhenti. Suasana hening dalam beberapa saat dan kemudian kami mengucapkan rasa syukur tak terhingga. Kami semua berkumpul di halaman dan tak berani masuk rumah karena takut gempa susulan, sementara rumah sudah dalam keadaan rusak parah meski masih berdiri tegak.
rumah kami masih tegak berdiri meski kondisinya retak dan rengkah di sana sini

Mak datang dengan mata merah. Ia menanyakan sejumlah barang berhargaku, seperti handphone, laptop dan perhiasan. Aku bilang tak usah memikirkan itu semua, karena yang penting nyawa kita semua selamat.

Mak seperti mau menangis, tapi aku cegah dan mengatakan kerusakan rumah kita tidak seberapa dibanding tetangga yang rumahnya jebol di bagian depan, kiri dan kanan, meski atapnya masih berdiri.

Pamanku teringat dengan nenek dan kakekku, ia segera pergi dengan motornya untuk mengetahui keadaan kakek dan nenek.

Mak seakan penasaran dengan keadaan rumah, ia tetap masuk dan memeriksa setiap sudut rumah. Ternyata rumah bagian dalam tak kalah rusaknya. Rengkahan besar di setiap sudut dan siap jatuh setiap saat.Wajahnya murung dan seakan mau menangis. Tapi aku kembali mengingatkan harus tetap bersyukur, meski rusak parah, rumah masih berdiri dan barang-barang di dalamnya masih bisa terlindung hujan dan panas.

Saat itu aku teringat dengan mie yang dimasak Revi.Ternyata kompor masih menyala.Aku bersyukur kompor itu tidak jatuh dan meledak. Segera apinya dimatikan dan mienya sudah mengembang.

Rumah Umi, adik ibuku di sebelah hanya mengalami retakan sedikit. Sedangkan rumah etek juga rengkah di bagian dalam meski sepintas terlihat masih bagus.Yang cukup baik hanya rumah ante,mungkin karena rumah baru.

Tak lama kemudian kami dapat kabar, rumah nenek hancur, jebol di bagian depan, ruang tengah dan dapur meski juga tetap masih berdiri. Kemudian terdengar lagi jika rumah warga lainnya banyak yang rata dengan tanah dan ada yang tewas ketimpa reruntuhan.
rumah nenek yang hancur
Senja menjelang, listrikpun padam, sinyal HP tak ada Gerimispun turun. Kami kebingungan untuk memberi kabar ke suamiku di Tanjungpinang. Mak juga teringat adikku Rika yang kerja di kota Padang. Tempat kerjanya adalah ruko lantai tiga. Ia terus bergumam mendoakan adikku selamat.

Untung dapur kami cuma retak sedikit. Malam itu kami tidur di dapur. Makan nasi berlauk mie yang dimasak revi, sedikit tapi dibagi-bagi. Keluarga yang lain juga ada yang tidur di rumah ante yang tidak rusak.
perih dan hanya bisa menangis dalam hati
Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, memikirkan bagaimana cara memberi kabar ke suamiku. Aku yakin berita gempa pasti sudah sampai di sana. Sedangkan aku tak bisa dihubungi, karena sinyal HP tidak ada. Batreku juga sudah sekarat.

Pagi harinya aku mencoba mencari telepon rumah. Kata orang telepon rumah tetap berfungsi. Alhamdulillah, dekat mesjid ada orang yang punya telpon rumah dan mau meminjamkannya. Ternyata tidak mudah menguhubungi suamiku. Tapi aku tetap berusaha terus sampai akhirnya tersambung.

Kudengar nada senang yang tak terhingga dari suamiku. Ia mengaku sangat khawatir karena tidak bisa menghubungiku. Bahkan katanya ia sedang mencari tiket pesawat ke Padang untuk mencariku. Meski cuma berbicara sebentar, aku juga bersyukur, senang dan lega sudah bisa menghubunginya.

Tapi saya mencegah, karena tiket pesawat pastilah sulit didapat dan sejumlah akses jalan rusak dan tertutup. Lega dengan memberi kabar tentang kondisi saya dan keluarga pada suami. Saya membayar sejumlah uang yang saya rasa cukup kepada tetangga yang baik hati itu. Saya bahkan meminta dia agar mengingatkan saya jika pembayaran telepon dia bulan mendatang, jauh lebih besar. Intinya saya siap membayar tambahannya berapa saja.

Ada satu pengalaman lagi yang membuat saya sebagai wanita hanya bisa menangis dalam hati. Sepupu jauh saya yang sudah membayangkan hari bahagia duduk di pelaminan, jauh-jauh balik dari rantau Jakarta untuk menikah dengan pujaan hatinya, ternyata harus rusak karena gempa.
sepupu yang menikah pasca gempa
Tapi ada daya. Rencana itu harus berjalan karena undangan sudah disebarkan. Pernikahan tetap harus dilaksanakan, meski nanti undangan entah datang atau tidak. Yang penting niat baik pada Allah itu terlaksana dulu. Pernikahan sepupu jauh saya Rini, dilaksanakan empat hari pasca gempa di sebuah mesjid raya di kampung kami.
mesjid raya kebanggaan kampung hancur
Mesjid yang juga rusak berat di bagian dalam. Sedih dan perih melihat ia harus menikah dalam suasana duka seperti itu. Terbayang pada saat empat tahun lalu saya menikah di mesjid yang sama dengan kondisi yang jauh berbeda.

Pada Rini dan suaminya saya menghiburnya, semoga duka ini membawa bahagia dan rezeki di tanah rantau selanjutnya. Senyum pasrah mereka telah menghibur saya.

Hari-hari selanjutnya adalah kondisi kami yang menjadi korban, menjadi pengangguran tak ada kerjaan. Hanya menjadi tontonan wisatawan gempa dari sejumlah daerah. Banyak yang ikhlas memberikan bantuan melalui kotak sumbangan yang disodorkan sepupu-sepupu kecil saya.
kami jadi objek wisatawan gempa

Ada yang memberi kami makanan, selain kami juga mendapatkan sembako yang dijatah dari posko gempa. Kami dijadikan bahan "hiburan" dan kami juga menghibur diri melihat lalu lalang truk-truk pengangkut bahan bantuan dan berharap ada yang menurunkan di tempa posko gempa.
sepupu kecil terpaksa nyodorkan kotak sumbangan
Berbagai macam tulisan asal bantuan, membuat saya bersyukur atas perhatian seluruh daerah dan dunia pada Sumbar. Tapi, ketika mengetahui distribusi bantuan yang lambat, bahkan ada yang pilih kasih dan menumpuk bantuan, naluris kritis seorang jurnalis yang terkurung dalam gempa tak tertahankan.
warga korban gempa di kampung sebelah
Melalui status di fesbuk dengan handphone, saya membuat status perkembangan kondisi gempa dan distribusi bantuan. Sejumlah teman khususnya dari Antara menjadikan itu bahan beritanya. Saya bahkan pernah online dari RRI Tanjungpinang via telephone tentang kondisi korban dan bantuan.
rumah warga yang rata dengan tanah
Sebenarnya banyak yang ingin saya ceritakan lagi. Tapi, pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih atas bantuan langsung dan kepercayaan dari sejumlah pihak yang memberikan bantuan kepada posko bantuan gempa di tempat saya.

1. Untuk keluarga  suami di tanjungpinang yang memberikan bantuan sejumlah uang dan telah saya bagi-bagikan kepada sanak saudara saya.

2.Ibu Fillin Yulia, manager grapari tanjungpinang waktu itu yang membaca status keprihatinan saya tentang kondisi siswa di sekolah tempa paman saya mengajar karena selain kehilangan tempat tinggal, juga tak punya lagi perlengkapan sekolah. Ibu fillin mentransfer sejumlah uang melalui paman saya untuk mereka yang kemudian dibelikan kebutuhan siswanya.

3. Ibu Ema Yohanna, yang saat ini sudah menjabat anggota DPD asal sumbar, yang memberikan bantuan sembako dan langsung dibagi-bagikan kepada sanak saudara.

4. Bapak Dolli Boniara, yang menjadi ketua rombongan pengantar bantuan dari Kabupaten Tanjungbalai Karimun, mau menyempatkan diri memberikan sejumlah bantuan ke posko di kampung saya, yang seharusnya diserahkan ke posko pusat di Pariaman. Beliau melakukan hal itu karena memenuhi permintaan saya di fesbuk, setelah mengetahui ia sedang dalam perjalanan menuju sumbar dan tentu melewati kampung saya yang berjalan di jalan lintas protokol.

5. Astra bandung, berkat lobi anak paman ibu saya, yang bekerja di sana juga memberikan bantuan sembako.

6. Sejumlah donatur lainnya yang menyempatkan singgah meski hanya memberikan nasi bungkus, mie instant dan lainnya. Untuk para pemberi bantuan yang saya tidak mengenal, karena kami mendapat jatah dari posko, saya juga mengucapkan terimakasih atas perhatiannya yang begitu besar serta pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu
hancur rata dengan tanah

Hanya do'a kepada Allah SWT supaya yang mereka yang sudah membantu diberikan kemudahan rezeki, umur panjang dan segala kebaikan oleh Allah..Aamiin YRA







12 komentar untuk "Mengenang Saat Jadi Korban Gempa Sumbar Tahun 2009"

  1. Innalillahi,,,semoga semua yang terkena musibah diberikan kekuatan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ia mba..mereka orang2 yg tabah dan kuat..semoga tidak terulang lg

      Hapus
  2. Innalillahi.... sampe merinding banget bacanya mbak Ana. Waktu kejadian itu saya juga mengkhawatirkan sahabat saya yang tinggal di Padang. Gak bisa dihubungi, jadi cuma bisa mendoakan semoga dia selamat dan baik-baik aja..

    BalasHapus
  3. Innalillahi... Turut prihatin ya, mba.

    BalasHapus
  4. sedihnya yang rumahnya runtuh, yang retak2 juga pasti tidak tenang karna khawatir rumah tidak kuat. tapi yang penting selamat, dan bisa berusaha lagi :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. ia..yg retak meski berditi tegak itu bahaya dan jadi ancaman selanjutnya..jika mau diperbaiki harus dirobohkan jg

      Hapus
  5. Saya pernah ke sana beberapa minggu setelah gempa. Tepatnya saat hari raya idul adha. Waktu itu, sebagian besar masyarakat indonesia sudah merayakan idul adha sehari sebelumnya, tapi di kampung yang kami datangi baru merayakan hari itu. Saat menuju kampung itu, masih banyak tenda-tenda penampungan sementara.

    BalasHapus
  6. gak terasa udah mau 7 tahun kejadian gempa disana. ga kebayang kalo saya ada diposisi mereka sedih sekali :(

    budy | Travelling Addict
    blogger abal-abal
    www.travellingaddict.com

    BalasHapus
  7. ya Allah gempanya dahsyat banget ya.... semoga orang di sana diberi ketabahan yang sangat dalam...

    BalasHapus