Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Fitry Divonis TB

TB Dianggap Penyakit Memalukan & Penderita Dijauhi

Saya tidak bisa melupakan ekspresi wajah sepasang suami istri di tempat tidur sebelah yang juga sedang menunggui anak mereka, ketika dokter anak yang merawat Fitry malam itu datang saat kunjungan mengatakan "ini anak selain pneumonia juga terkena Tuberkulosis, nanti saya beri resep dan harus diminum rutin selama enam bulan," sambil berlalu dan diikuti perawat.

Saya kaget mendengar ucapan dokter itu dan sejenak saya seperti blank, cuma bisa terdiam. Tapi saya tetap bisa melihat wajah pasangan suami istri di  tempat tidur sebelah berubah. Sejenak mereka berbisik-bisik dan kemudian pura-pura membawa anak mereka yang sudah mulai membaik untuk mencari udara segar. Tapi, hati saya yang sedang campur aduk tetap bisa merasakan mereka pasti khawatir mendengar vonis dokter itu ke Fitry, yang waktu itu berumur tujuh bulan.

Saya merasa mereka tentu takut tertular oleh penyakit TB (Tuberkulosis ) Fitry. Nyatanya memang benar, mereka baru masuk ke kamar saat anak mereka tertidur. Bahkan saya lihat mereka berkemas dan mengatakan besok pagi akan pulang. "Kata dokter tadi sudah boleh pulang, lagipula anak kami sudah membaik dan yang penting lama-lama di sini banyak uang habis," ujar sang istri ketika saya tanya mengapa ia berkemas.

Saya tahu ia berbohong, karena saya tadi mendengar dokter yang merawat anaknya waktu kunjungan pasien mengatakan harus menginap 1-2 hari lagi. Ya, tapi saya tidak mau berdebat. Saya tahu penyakit TB selama ini dianggap penyakit memalukan bahkan aib oleh sejumlah orang. Orang dengan TB bahkan sering "dikucilkan", begitu yang saya lihat di tengah masyarakat. Seperti dulu di kampung ada tetangga saya yang menderita TB, "diasingkan" keluarganya karena mereka malu.

Fitry komplit mendapatkan imunisasi dasar termasuk BCG
Mengenai Fitry divonis TB saya juga tidak heran jika penyakit itu juga bisa diderita anak. Karena saya pernah membaca artikel tentang penyakit TB pada anak. Namun, keraguan muncul di benak saya terhadap vonis dokter itu, mengingat Fitry mendapatkan imunisasi BCG, saya dan suami tidak ada riwayat TB.  

Akhirnya saya bertekat besoknya meminta dokter itu melakukan rangkaian pemeriksaan lain agar Fitry mendapatkan kepastian yang benar-benar serius melalui serangkaian tes kesehatan. Saya ingin bukti yang kongkrit supaya saya puas dan ikhlas anak saya divonis TB, sehingga bisa memberikan pengobatan dan perawatan terbaik. Tapi, saya tidak rela jika anak saya salah vonis namun tetap diberi obat yang seharusnya ia tidak konsumsi dan tentu berefek buruk pada kesehatannya nanti. 

Gejala TB Anak dan Pneumonia Nyaris Sama 

Latar belakang Fitry diopname karena awalnya batuk-batuk kecil dan muntah. Awalnya saya pikir biasa hal itu terjadi pada bayi berusia 7 bulan karena memang belum bisa mengeluarkan dahak. Hari kedua frekuensi muntahnya makin sering dan ia malas minum susu dan makan. Karena kebetulan adik ipar saya bidan, ia hanya memberikan obat batuk dan penurun panas untuk berjaga jika suhu tubuh Fitry naik. Ternyata keesokan harinya frekuensi muntahnya tidak lagi bisa saya hitung perutnya nyaris kosong dan ia terlihat lemah. Bahkan suhu tubuhnya naik.

Waktu saya membuat status di facebook tentang kondisi Fitry, seorang teman mengingatkan jangan sampai dehidrasi akibat sering muntah. Saya pun tersentak dan langsung melihat kondisi Fitry yang terbaring lemah dan nafas yang cepat. Saya pun googling tentang ciri anak dehidrasi dan ciri-cirinya sesuai kondisi saat itu, mata cekung, ubun-ubun cekung dan air kencingnya pekat serta lemas. Akhirnya sore hari Fitry langsung dibawa ke dokter. Dokter memberikan obat anti muntah dan batuk serta berpesan jika setelah minum obat itu masih muntah harus dibawa ke rumah sakit untuk diopname. Sebuah surat pengantar ia berikan jika besok Fitry memang harus diopname.

Ternyata sesampai di rumah meski sudah minum obat anti muntah, Fitry tetap muntah dan saya pun tak bisa menahan air mata melihat kondisinya. Ia yang anak aktif suka bergerak kini terbaring lemah tak berdaya. Meski dia tidak menangis, tapi saya tahu Fitry merasakan sakit. Apalagi nafasnya makin cepat dan matanya makin sayu. Malam itu saya ingin ke rumah sakit tapi suami menyuruh menunggu besok pagi saja. 

Paginya Fitry dibawa ke sebuah rumah sakit swasta di kota kami. Ia langsung mendapatkan penanganan dan diinfus karena ternyata memang dehidrasi. Fitry diambil sampel darah dan dites apakah alergi antibiotik atau tidak. 

Saat satu botol infus habis dan diganti botol berikutnya bibir Fitry mulai merah dan tidak lemas lagi. Saya bersyukur atas perkembangan kesehatannya yang mengalami kemajuan. Namun batuknya dan muntah tetap ada tapi suhu tubuhnya sudah mulai normal.
Fitry saat dirawat

Hari kedua Fitry diare, muntah sudah berkurang tapi batuk tetap ada. Suhunya sudah normal. Ketika dokter anak yang merawatnya berkunjung Fitry diagnosa terkena Pneumonia. Menurut dokter harus diobati dengan antibiotik paten dan dosis tinggi untuk membunuh kumannya. Saya setuju saja, karena bagi saya yang penting anak saya sembuh. Selain itu Fitry juga harus diinhalasi atau diuap  dua kali sehari supaya dahaknya bisa berkurang.

Hari ketiga Fitry terus menunjukan kemajuan dan saya yakin karena antibiotik dan obat yang dimasukan ke dalam tubuhnya dengan cara disuntikan itu serta berkat inhalasi. Ia sudah mau minum susu, makan dan diarenya mulai berhenti dan yang penting wajahnya sudah mulai merah kembali dan ceria. 

Waktu kunjungan pasien, dokter menyuruh Fitry dironsen dan tes mantoux. Saya penasaran dan bertanya untuk apa. "Untuk memastikan apakah ada penyakit lain saja, soalnya ini anak berat badannya kurang, " itu jawab dokter singkat. Selepas dokter pergi Fitry pun disuntikan obat ke lengannya oleh perawat, ditandai dengan pena dan dilarang dipegang-pegang dan kena air. Sore harinya Fitry juga dironsen  dan hasilnya diserahkan ke perawat untuk dibaca dokter.

Hari keempat dokter tidak datang melakukan kunjungan siang. Saya penasaran dengan hasil ronsen dan tes mantoux yang kata perawat baru bisa diketahui 2 x24 jam. Jadi ketika dokter anak kunjungan malam itu - tentulah perawat sebelumnya sudah memberikan hasil ronsen - terjadilan drama pembacaan vonis Fitry terkena TB di depan pasien lain seperti saya ceritakan di awal tulisan ini.

Ternyata ketika saya tanya ke perawat dari mana dokter memastikan TB, menurutnya dari hasil ronsen yang mana di paru-paru Fitry terdapat bercak atau infiltrat. "Tapi nanti kita lihat juga hasil tes mantouxnya untuk lebih memastikan," imbuh perawat itu.

Seperti yang saya katakan di atas sebelumnya, saya ingin memastikan Fitry benar-benar terkena TB. Sambil menunggu kedatangan dokter kunjungan siang, saya sibuk googling tentang tentang TB dan Pneumonia. Ternyata TB dan Pneumonia memiliki tanda dan gejala yang hampir sama. Ternyatanya lagi TB pada anak itu tidak menular berbeda dengan TB pada orang dewasa yang memang menular.

Tanda dan gejala Tuberkulosis :

Batuk lebih dari 2-3 minggu, nyeri dada, penurunan berat badan, sesak napas, demam, menggigil, berkeringat malam hari, kelelahan, napas cepat, dan kehilangan selera makan.

Tanda dan gejala Pneumonia :

Dispnea (sesak napas), batuk, menggigil, nyeri dada, demam (suhu > 100 oF ), penurunan suara napas dan napas cepat (takipnea).

Dari tanda gejala kedua penyakit itu, jelas terlihat sama-sama gejalanya yakni demam, batuk, nyeri dada, sesak nafas dan nafas cepat. 
Foto ronsen paru Fitry saat menderita pneumonia
Untuk membedakan di antara keduanya, biasanya harus dilakukan pemeriksaan penunjang, misalnya berupa foto rontgen atau pengambilan sputum/ dahak untuk mendeteksi bakteri penyebab infeksi yang biasanya menyerang keduanya. Kemudian juga melalui tes darah. Selain itu untuk mendiagnosa TB pada anak juga bisa dilakukan dengan cara menskor.

Ada 8 parameter untuk menskor sebagai berikut :

1. Kontak dengan penderita TB (jika tidak jelas = 0 poin, hanya laporan keluarga atau kontak dengan penderita yang sudah berobat = 1 poin, kontak dengan penderita TB aktif = 3 poin)
2.Uji Tuberkolin/ Tes Mantoux (negatif = 0 poin, positif = 3)
3.Berat badan anak berdasarkan KMS (dibawah garis merah atau riwayat BB turun atau tidak naik 2 bln berturut-turut = 1 poin, secara klinis gizi buruk = 2 poin)
4.Demam tanpa sebab jelas (tidak ada = 0 poin, lebih dari 2 minggu = 1 poin)
5.Batuk berkepanjangan ( 3 minggu = 1 poin)
6.Pembesaran kelenjar di sekitar leher (ukuran lebih dari 1 cm, jumlah lebih dari 1 buah, tidak nyeri saat di tekan = 1 poin)
7.Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut (bila ada pembengkakan = 1 poin)
8. Foto rontgen (normal = 0 poin, suspect/curiga = 1 poin)
Anak dikatakan positif TB bila skor dari ke-8 parameter di atas adalah minimal 6 Poin.

Waktu membaca semua hal di atas, saya memang sempat khawatir jika Fitry terkena TB, karena gejalanya antara Pneumonia nyaris sama. Tapi, mengingat Fitry yang sudah diimunisasi BCG dan kami yang sehat dan tidak ada riwayat TB, membuat saya yakin dia hanya menderita Pneumonia. Tapi, untuk memastikan makanya siang itu saya akan meminta dokter melakukan pemeriksaan yang lebih intensif ke Fitry berdasarkan hasil googling saya tentang TB. 

Pasien dan Keluarga Harus Aktif

Saat yang saya tunggu-tunggu datang, ketika dokter diiringi perawat datang kunjungan siang dan memeriksa Fitry, saya meminta waktu untuk bicara. Karena selama ini sang dokter hanya sebentar dan kadang saya tidak sempat untuk bertanya banyak.

Saya mengharapkan agar anak saya dites kesehatan ulang untuk memastikan TB, seperti tes dahak dan melakukan uji skor. Tapi ternyata respon dokternya tidak seperti yang saya bayangkan dan malah terkesan tersinggung. Ia mengatakan tidak perlu diuji lagi, karena gejala yang dialami Fitry, hasil ronsen dan kemudian tes mantoux nya positif karena merah. Untuk hasil tes mantoux pun saya sendiri ragu, karena berdasarkan hasil googling tes mantoux itu dilihat dari endurasi atau benjolan bukan warna merah.

Dokter itu pun berlalu dan hanya berpesan supaya resep obat TB segera ditebus dan rutin diminum selama enam bulan. Perawat yang mengerti ketidakpuasan saya mencoba menghibur " Nanti ibu kan bisa melakukan second opinion ke dokter lain," sarannya.

Ketika Fitry dinyatakan sudah boleh pulang ke rumah, saya pun berpikir untuk melakukan second opinion ke dokter anak lain dan mencari referensi dari teman-teman yang punya pengalaman dokter anak mana yang kira-kira bisa melayani konsultasi lama dan mau diajak berdiskusi. Akhirnya saya mendapatkan satu nama yang menurut saya cocok.

Seminggu setelah Fitry dirumah dan saya memang tetap memberikan obat TB yang diberikan dokter anak di rumah sakit swasta itu ( kita sebut aja dokter A ), saya pun mendatangi tempat praktek dokter B. Saya memberikan hasil ronsen pertama dan kedua. Oh ya, setelah pulang ke rumah Fitry masih disuruh kontrol ke tempat praktek dokter A dan disuruh ronsen sekali lagi untuk melihat bercak di parunya yang ternyata sudah bersih dari bercak.

Kembali ke dokter B, saya menceritakan kondisi Fitry dari awal sakit hingga dirawat sampai vonis dokter A jika Fitry terkena TB. Dokter itu mendengar dengan seksama apa yang saya sampaikan dan kemudian ia memeriksa Fitry dan melakukan uji skor.

Dari uji skor itu ternyata Fitry mendapatkan point 8. Dokter B pun mengatakan Fitry bisa dikatakan negatif TB. Ia menyarankan agar obat yang diberikan dokter A tidak usah diminum terus dan Fitry tidak seharusnya mendapatkan obat itu bisa merusak hatinya. Fitry juga diberi obat penetralisir dan vitamin. Untuk penyakit Pneumonianya yang sudah sembuh, dokter itu menyarankan Fitry diimunisasi PCV atau pneumococcal vaccine agar tidak terserang  lagi Bakteri Streptokokus penyebab Pneumonia.

Saya meminta saran apa yang harus lakukan agar Fitry tidak terserang TB, karena terus terang saya masih khawatir. Dokter itu memberi saran agar menjauhi tempat-tempat yang beresiko pada anak, seperti keramaian yang kita tidak tahu riwayat penyakit seseorang, menjaga kebersihan orang tua, anak dan lingkungan. Selain itu memberikan asupan makanan bergizi dan vitamin supaya anak tetap sehat dan tidak mudah sakit. Serta yang paling penting menjauhkan dari penderita TB dewasa.

Alhmadulillah hingga sekarang diusianya yang 2,6 tahun, Fitry sehat dan pintar serta tetap aktif. Efek vaksin PCV yang diberikan dokter ternyata sangat bagus. Bahkan Fitry jarang terkena batuk, flu. Kalaupun ada deman itu karena pengaruh tumbuh giginya.

Dari kasus Fitry saya mendapatkan pelajaran dan suka berbagi ke teman-teman yang juga mempunyai anak, bahwa kita jangan hanya berserah saja ke dokter saat anak sakit. Kita harus aktif mencari informasi tentang suatu gejala penyakit, rajin bertanya dan berdiskusi. Selain itu juga harus melakukan second opinion jika kita ingin memastikan suatu diagnosa dokter.
Fitry diusianya sekarang, sehat, ceria dan tetap aktif

Beberapa bulan setelah Fitry keluar dari rumah sakit, saya bertemu dengan seorang anak yang menderita ketulian akibat efek obat yang dikonsumsinya. Dari cerita bapaknya, anak itu ternyata menderita juga Pneumonia saat berusia dua tahun dan kemudian juga divonis TB dan harus minum obat selama 6 bulan. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan Fitry jika saya tidak aktif mencari informasi dan melakukan second opinion.

Temukan dan Sembuhkan Pasien TB

Menemukan seseorang yang menderita TB di sekitar kita tentulah tidak gampang. Karena tidak bisa melihat dari kondisi fisiknya semata. Hanya dokter yang melakukan serangkaian pemeriksaan baru bisa memastikan apakah seseorang itu baik dewasa atau anak terkena TB. 

Tapi, ketika dalam keluarga kita melihat ada anggota keluarga yang mempunya ciri-ciri menderita TB, sebaiknya disarankan ke dokter atau ke pusat kesehatan terdekat. Ciri utama penderita TB pada orang dewasa adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

Kalau perlu mereka harus didampingi untuk memotivasi dan menguatkan. Karena lebih baik mengetahui suatu penyakit daripada tidak sama sekali, sebab hal itu bisa berakibat jauh lebih buruk lagi pada dirinya bahkan bisa kepada anggota keluarga lain.

Jika memang terbukti terbukti menderita TB dan harus mengkonsumsi obat rutin selama 6 bulan, anggota keluarga lain harus bersedia menjadi pendamping minum obat (PMO). Karena pasien TB bisa saja lupa, malas bahkan putus asa karena menganggap penyakitnya itu aib yang memalukan. TB memang bisa mematikan tapi juga bisa disembuhkan dan itu perlu keyakinan melalui pengobatan yang baik dan rutin serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar.

Upaya dari setiap pribadi dan masyarakat dalam memerangi TB yang dimulai dari lingkungan terkecil tentu akan membantu upaya pemerintah dalam memberantas TB. Karena seperti yang disampaikan Dirjen Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, ia memastikan belum satu pun negara di dunia yang bebas dari tuberculosis (TB). Bahkan Indonesia yang dinilai sebagai negara yang sukses memerangi TB, saat ini masih ditemukan kasus-kasus baru setiap tahunnya.

Indonesia memang mengalami kemajuan luar dalam  hal penanganan kasus TB. Yang mana tahun 1990 angka kasus mencapai 206 per 100 ribu penduduk dan 2012 turun menjadi 185 per 100 ribu penduduk. 

Angka kematian TB (mortalitas) juga bisa diturunkan dari 92 per 100 ribu penduduk pada 1990 menjadi 27 per 100 ribu penduduk pada 2012. Dan angka kesembuhan meningkat dari 87 persen pada 1990 menjadi 90 persen pada 2012. Artinya 90 persen penderita TB yang di akhirnya mencapai kesembuhan.


Tingkat kesembuhan mencapai 90 persen tersebut sesungguhnya menjadi prestasi yang bagus bagi Indonesia. Mengingat ditingkat global, dunia mencanangkan tingkat kesembuhan 85 persen. Meski angka kasus TB telah menurun, Indonesia masih mengalami masalah dalam penanganan TB.  Salah satunya adalah belum adanya obat dan vaksin temuan terbaru. ****

Referensi :
1.http://www.tbindonesia.or.id/
2. http://www.depkes.go.id
3.http://paru-paru.com/
4. http://www.pppl.kemkes.go.id/
5.http://mommiesdaily.com/
6.http://www.stoptbindonesia.org/

NB : Maaf tulisan ini berdasarkan pengalaman saya dan tidak ada maksud untuk memojokan salah satu pihak manapun










7 komentar untuk "Ketika Fitry Divonis TB"

  1. Assalamu alaikum bunda...sedih rasanya jika mendengar vonis dokter yg menyatakan anak TB padahal hanya berdasarkan hasil Ronthgen...hal ini yang saya alami skrang....apa yang harus saya lakukan bund??

    BalasHapus
    Balasan
    1. cari sekon opinion bunda....tes mantoux dan anak tes skor..tidak mudah memang memvonis anak TB..ortu harus jeli dan jangan mentah mentah terima vonis satu dokter..karena bahaya banget jika anak yang tidak menderita TB harus minum obat selama 6 bulan..saya menemukan kasus ada yg sampe tuli lho gara gara minum obat TB

      Hapus
  2. Bunda mau tanya, biaya tes mantoux berapa ya? Anak saya baru di rujuk untuk tes tsb :(
    Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf lupa..krn biaya dibayar di akhir saat anak keluar RS...total dgn biaya rawat dll 3 jt ..itu tahun 2012

      Hapus
  3. Bunda berdasarkan hasil rontgent anak saya juga terindikasi terkena TB namun dokter blm memvonisnya. Karena berdasarkan uji skor tidak masuk kriteria TB. Hari ini dilakukan tes mantoux dan menunggu hasilnya hari selasa apakah negatif atau positif.
    Kira2 apakah saya juga perlu mencari second opinion ya bun seandainya hasil tes mantoux nya positif?
    Atau sebaiknya melakukan tes Igra ya, kata dokter hasil tes igra lebih akurat 6 x lipat dari tes mantoux

    BalasHapus
  4. Maaf Bu, kalau point 8 bukannya hasilnya positif ya? Soalnya minimal poin 6 kan bu vonis positifnya.
    Apa typo ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba mungkin salah memahami.
      Poinnya minimal 6
      Krn fitry dapat 8 poin, jd dia negatif

      Kecuali dia dapat 5 poin, yg artinya dibawah 6..itu baru positif

      Hapus