Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pulau Penyengat : Pesona Tanah Sejarah Melayu- part 1

Pulau Penyengat
Berkunjung ke Kota Tanjungpinang, Ibukota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) tidak lengkap jika tidak berkunjung ke Pulau Penyengat. Pulau yang saat ini berstatus kelurahan (Kelurahan Penyengat) tersebut adalah pulau bersejarah. Banyak jejak sejarah yang terdapat di pulau yang berjarak sekitar 15 menit dari Kota Tanjungpinang.
peta situs sejarah di Pulau Penyengat

Jejak sejarah berupa situs atau peninggalan cagar budaya yang terdapat di pulau itu, tidak terlepas dari perjalanan sejarah Kerajaan Riau. Pulau ini pernah menjadi benteng pertahanan ketika tahun 1719 Raja Kecil berperang melawan Tengku Sulaiman. Raja Kecil menjadikan Pulau Penyengat sebagai kubu pertahanan dari serangan Tengku Sulaiman dari Hulu Riau yang dibantu lima bangsa bangsawan Bugis. 

Pulau ini makin tersohor saat Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji membangun beberapa benteng pertahanan. Salah satu benteng yang terkenal adalah Benteng Bukit Kursi yang dibangun untuk menghadapi perang melawan Belanda pada tahun 1782-1784. 

Bahkan pada tahun 1803, Pulau Penyengat menjadi hadiah perkawinan Sultan Mahmud dengan Engku Putri Raja Hamidah binti Raja Haji. Sejak saat itu pulau ini dijadikan tempat tinggal dan dikenal dengan Pulau Penyengat Indera Sakti.

Mau tahu lebih banyak tentang pulau ini ? tentu donk. Baik akan saya uraikan nanti. Tapi sebelumnya mau cerita sedikit. Pada tanggal 25-28 April lalu saya eksplore Pulau Penyengat dalam rangka pengumpulan data untuk bahan buku cerita anak berbasis pengenalan budaya. Sebuah program dari Kementerian dan Kebudayaan. Eh baru kembali dari Pulau Penyengat, malamnya ketemu dengan Mas Dian, EO yang menghandel Famtrip Blogger Kementerian Pariwisata ke Kota Tanjungpinang. Saya diajak untuk kegiatan tersebut mewakili blogger lokal Tanjungpinang. 

Saya menyanggupi untuk ikut meski sangat mendadak, tapi tetap saja izin setengah hari karena harus kerja dan banyak pekerjaan menunggu yang harus dituntaskan setelah cuti tiga hari. Salah satu destinasi yang dikunjungi oleh Famrip ini adalah Pulau Penyengat yang baru selesai saya eksplore selama tiga hari. Saya hanya ikut famtrip mulai sorenya, tanggal 29 April sampai tanggal 1 Mei. 

Kegiatan Famtrip diikuti juga oleh dua blogger dari Jakarta, Mba Rere, Ima dan rekan saya blogger lokal, Citra. Sedangkan dari Kementerian Pariwisata ada Mba Laras, Pak Agus, Bli Komang dan Pak Heri. 

Meski tidak ikut ke Pulau Penyengat di hari pertama, tapi saya tetap bisa menceritakan tentang pulau tersebut. Toh saya baru kembali dari sana sehari sebelumnya. Oke..yang penasaran, simak di bawah ini. 
tempat menunggu Pompong di pelabuhan ke Penyengat
Untuk mencapai Pulau Penyengat sangat gampang. Pelabuhan pompong -sebutan untuk perahu mesin- bersebelahan dengan pelabuhan lokal dan internasional Sri Bintan Pura. Biasanya masyarakat lokal menyebutnya Pelantar (Pelabuhan) Kuning. Mungkin karena warnanya kuning. 

Akses ke Pelabuhan Penyengat melalui Jalan Pos. Lokasi ini sangat strategis karena persis di jalan utama dan bisa dicapai dengan angkutan umum, seperti angkot (transport) dan ojek. Dari depan sudah terlihat gerbang yang dicat kuning terang. Terus aja ke belakang dan bertemu pelantar yang bagian kanannya dipenuhi oleh sepeda motor yang parkir.

Ya, di pinggir pelabuhan Penyengat memang disediakan tempat parkir inap. Karena warga Pulau Penyengat banyak yang bekerja di Tanjungpinang, Sehingga untuk beraktifitas mereka menggunakan motor dan harus diinapkan di pelabuhan sebab tidak ada angkutan khusus yang membawa motor menyeberang.
Pompong antri
Pompong yang akan membawa penumpang ke Pulau Penyengat sangat banyak. Tersedia juga life jacket dan wajib dipakai. Ongkos Pompong Rp 7000 untuk wisatawan dan Rp 5000 untuk masyarakat Pulau Penyengat.

Satu pompong hanya wajib diisi 15 orang. Jika sudah penuh wajib jalan dan kemudian pompong lain akan menunggu penumpang. Rata-rata keberangkatan pompong ini sekitar tiap 15 -30 menit. Pagi hari, siang dan sore saat aktifitas berangkat kerja, pulang sekolah dan pulang kerja, aktifitas menunggu pompong bisa berlangsung lebih cepat. Di luar waktu itu calon penumpang harus sabar. Kadang wisatawan yang tidak sabar menunggu bisa menyewa Pompong sekali jalan Rp 100 ribu. 
persatuan ojek
Jarak tempuh ke Pulau Penyengat sekitar 15 menit. Ada sekitar tiga pelabuhan rakyat di sana. Tapi yang umum disinggahi oleh pompong adalah pelabuhan yang langsung akses ke Mesjid Raya Sultan Riau, Di pelabuhan sudah ada ojek dan becak motor yang menawarkan wisatawan untuk berkeliling pulau. Tarifnya Rp 25 ribu/jam. Begitu juga halnya dengan ojek. Jika Anda ingin berkeliling dengan sepeda motor juga bisa menyewa Rp 25 ribu/jam.
Masjid Sultan Riau
Oh ya, sebelum berkeliling pulau, biasanya wisatawan khususnya yang muslim akan sholat di sana. Jika tidak dalam waktu sholat wajib, biasanya mereka akan menunaikan sholat sunat. Kebetulan saya waktu sampai sebelum zuhur bersama pendamping penelitian dari staf Kemendikbud, Pak Arif dan Pak Raje Farul dari Dinas Pariwisata Tanjungpinang.

Usai sholat zuhur, saya mewawancarai narasumber yang kebetulan juga Ketua Masjid Sultan Riau, Raja Abduurrahman. Beliau menceritakan tentang legenda asal Pulau Penyengat. Dahulu pulau tersebut dikenal sebagai pulau air tawar karena memang mudah didapat sumber air tawar, sehingga menjadi tempat persinggahan para pelaut dari berbagai kerajaan dan luar negeri.

Suatu hari para pelaut itu ada yang melanggar pantang larang, sehingga dikejar oleh hewan ngengat dan mereka lari sambil meneriakan penyengat. Hingga akhirnya pulau tersebut dikenal sebagai Pulau Penyengat.

Sedangkan Masjid Sultan Riau dibangun pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman pada tahun 1832. Bangunan utama mesjid tersebut berukuran 18 meter x 20 meter dan ditopang oleh 4 buah tiang beton. Selain itu juga terdapat 13 kubah dan empat menara serta dua buah bangunan di kiri kanan mesjid yang disebut " Rumah Sotoh"

Masjid ini terbilang unik, karena saat pembangunannya menggunakan putih telur yang dicampur dengan kapur, pasir dan tanah liat untuk memperkuat struktur dinding tembok. Hingga saat ini masjid tersebut masih kokoh berdiri dan belum pernah dipugar, kecuali ditambah keramik dan ditambah bangunan dua buah balai untuk kegiatan keagamaan, sosial serta menyambut tamu.

Usai wawancara dengan Bapak Abdurrahman, kami makan siang di sebuah tempat makan yang menyajikan masakan laut. Ikan bakar di sini sangat enak dan rekomended deh. Lokasinya juga strategs berada di pinggir pelabuhan.

Hari pertama eksplore di Pulau Penyengat kami memilih menyewa sepeda motor 1 buah untuk saya kendarai. Sedangkan Pak Arif berboncengan dengan Pak Raje Farul yang membawa sepeda motor milik bapaknya.
Rumah Tabib, instagramable
Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Rumah Tabib. Lokasinya sekitar 100 meter di depan masjid. Saat ini Rumah Tabib hanya berupa bangunan reruntuhan tembok yang ditumbuhi pohon tanpa atap. Bata-bata yang berusia puluhan tua itu tampak eskotis dan instagramable. Sehingga sering dijadikan tempat foto-foto oleh anak-anak penggemar sosial media.

Di sebelah rumah tabib ada Balai Maklumat, tempat penyimpanan naskah naskah kuno hasil tulisan penulis kelahiran Pulau Penyengat pada masanya, dan salah satunya yang terkenal dengan Gurindam 12 adalah Raja Ali Haji yang menjadi Pahlawan Nasional Bidang Bahasa.
Balai Maklumat
Dari rumah tabib kami melanjutkan ke Makam Raja Ali Haji dan Engku Hamidah yang merupakan istri dari Sultan Riau III, Sultan Mahmud Syah. Di komplek makam ini terdapat sejumlah makam yang masih berhubungan dengan keluarga kerajaan.

Makam Raja Ali Haji, Pahlawan Nasional bidang bahasa

Kami melanjutkan ke Makam Raja Haji Fisabilillah atau yang bergelar Marhum Teluk Ketapang. Raja Haji Fisabilillah adalah Yang Dipertuan Muda Riau IV ( 1777-1784) juga merupakan pahlawan nasional yang gugur dalam perang bahari atau Perang Riau saat melawan Belanda. Raja Haji juga merupakan anak dari Daeng Celak ( Yang Dipertuan Muda II).
Makam Raja Haji Fisabilillah

Dari sini kami melanjutkan Komplek Makam Raja Ja'far dan Raja Ali. Raja Ja'far adalah Yang Dipertuan Muda Riau VI ( 1805-1832) yang memerintah ketika terjadi perebutan wilayah jajahan antara Belanda dengan Inggris. Raja Ja'far juga pengembang pertambangan di Singkep dan meninggal di Daik Lingga dan kemudian dimakamkan di Pulau Penyengat. Sedangkan Raja Ali adalah Yang Dipertuan Muda Riau VII.
Komplek Makam Raja Ja'far

Tak jauh dari komplek makam ini ada komplek Istana Tengku Bilik, tempat tinggalnya salah seorang keluarga kerajaan yang suka berdiam di dalam kamar. Komplek ini juga instagramable dan sering dijadikan tempat foto ala-ala oleh penggemar sosmed.
Balai Adat

Selanjutnya kami menuju Balai Adat Indera Perkasa yang merupakan tempat pertemuan dan berbagai kegiatan adat. Balai Adat ini terbuat dari kayu dan di dalamnya terdapat pelaminan Melayu dan di sebelahnya ada kamar ala pengantin melayu dan bisa dijadikan tempat berfoto.
Istana Kantor

Destinasi berikutnya adalah Istana Kantor yang merupakan istana Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau VIII ( 1844-1857) atau dikenal juga dengan sebutan Marhum Kantor. Hal itu tersebut dikarenakan selain sebagai istana atau kediaman, bangunan tersebut juga difungsikan sebagai kantor.

Komplek Istana Kantor ini terbilang luas karena menempati lahan seluas sekitar satu hektar. Bangunannya sendiri berukuran sekitar 110 meter persegi. Saat ini istana tinggal puing dan sedikit tersisa bangunan utuh namun masih menunjukan kemegahan pada masa lalu.Tempat ini juga instagramable dan sering menjadi objek foto dan latar belakang berfoto.
Gudang Mesiu

Karena sudah sore, kami melanjutkan ke Gudang Mesiu, yang mana dulu digunakan sebagai gudang tempat penyimpanan mesiu. Bangunan ini berbentuk segi empat dan terbuat dari tembok dengan pintu masuk satu buah dan jendela yang dilengkapi jeruji.
Makam Raja Abdurrahman

Tepat di sebelah kiri atas gudang mesiu, terdapat Komplek Makam Raja Abdurrahman, Yang Dipertuan Muda Riau VII ( 1832-1844). Komplek ini dikeliling oleh tembok dan di sana terdapat juga 50 makam lainnya.

Karena hari sudah sore sekitar pukul 5, kami memutuskan untuk kembali menuju Pelabuhan Penyengat untuk kembali ke Kota Tanjungpinang. Padahal jika ingin menuju Benteng Bukit Kursi tinggal menaiki bukit di belakang komplek makam ini. Namun mengingat sudah sore dan masih ada jadwal esok hari, kami memutuskan melanjutkan eksplorenya esoknya.
Penunjuka arah ke situs sejarah

Oh ya, menyambangi satu persatu cagar budaya seperti yang sudah saya sebutkan di atas sangat gampang. Karena lokasinya persis di pinggir jalan desa dan ada penunjuk arah di setiap persimpangan yang sangat membantu wisatawan.
Salah satu sudut di Pulau Penyengat

Masyarakat lokalnya juga sangat ramah jika kita tanya tentang sesuatu hal. Jadi jika Anda berkunjung ke Pulau Penyengat, jangan takut tersasar karena pulau ini sangat kecil, semua jalan ada nama dan penunjuk arah. Sebaiknya jika cuaca teduh lebih baik berjalan kaki, karena selain menyehatkan juga bisa melihat lihat suasana desa yang asri dan beragam rumah yang masih banyak mempertahankan keasliannya.

*Bersambung



























Posting Komentar untuk "Pulau Penyengat : Pesona Tanah Sejarah Melayu- part 1"