Saat Teror Bom Terjadi di Zaman Belum Ada Sosial Media
Siang itu, 5 Agustus 2003 saya berada di ruang tunggu keberangkatan Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, menunggu pesawat yang akan membawa saya ke Jakarta. Tiba-tiba di layar televisi ada breaking news tentang bom yang meledak di kawasan Hotel JW Marriot Mega Kuningan, Jakarta.
Informasi singkat itu rata-rata mengagetkan banyak orang yang sedang duduk di ruang keberangkatan. Namun keadaan kembali normal ketika breaking news yang hanya beberapa menit itu berakhir.
Saya sendiri waktu itu tidak ada khawatir, karena saya pikir tidak akan mempengaruhi saya ke Jakarta meski hanya transit sebelum ke Jogja. Apalagi pada tahun itu belum ada social media yang seperti saat ini yang setiap detik akan ada update informasi yang bisa dilihat dari status maupun situs berita. Waktu itu penyebaran informasi antar personal paling keren menggunakan email atau mailist dan informasi di internet dari situs berita yang belum booming seperti saat ini.
Waktu itu internet masih barang yang teramat mahal. Hanya orang-orang tertentu yang punya internet mobile dengan perangkat handphone canggih mereka.
Jadi, waktu itu kondisi Jakarta yang sedang "tidak aman" tidak mempengaruhi saya yang tidak bisa akses internet dimana saja seperti saat ini.
Sesampai di Bandara Soekarno Hatta, saya dijemput oleh teman. Saya bertanya tentang kasus bom tersebut kepadanya, ia mengatakan memang ada korban jiwa tapi tidak menyebutkan jumlahnya.
" Nanti kita akan melewati lokasi hotel itu," katanya.
Ternyata memang benar, kami melewati lokasi kejadian bom yang dipagari dengan police line. Karena sudah magrib dan jelang malam tidak terlalu jelas kondisinya di sana. Apalagi lampu di halaman dan hotel mati. Hanya nampak sejumlah petugas polisi yang masih berjaga-jaga.
Tidak lama kami sampai apartemen teman di kawasan Kuningan. " Saya sudah dari kemarin memberi tahu petugas sini kalau ada teman saya yang akan menginap, kalau tidak agak susah masuk membawa orang luar karena pengelola gedung meningkatkan keamanan orang yang masuk ke sini sejak kejadian bom tadi siang," ungkapnya.
Malam itu saya baru melihat update berita tentang bom tersebut melalui berita di tv. Namun saat itu pemberitaan belum seperti saat ini yang sudah banyak stasiun tv swasta yang khusus pemberitaan yang mengupdate setiap saat kejadian.
Jadi tidak ada ulasan berita yang membahas secara detil bahkan menghadirkan tokoh-tokoh yang memberikan opini, statemen bahkan ulasan tentang kejadian tersebut. Intinya, pemberitaan dan info yang standar tidak mempengaruhi psikologi penonton dan masyarakat umumnya khususnya saya.
Saat itu saya merasa aman dan tenang berada di Jakarta, apalagi kawasan apartemen yang dekat dengan lokasi kejadian bom tadi siang itu.
Keesokan paginya saya hanya mendengar update sekilas dari berita tv tentang kejadian bom. Kemudian kami berangkat ke Bandara Soekarno Hatta, karena saya harus ke Jojga.
Kami kembali melewati lokasi kejadian pagi itu dan situasi normal yang mana hanya petugas kepolisian yang berjaga-jaga serta segelintir masyarakat yang berhenti dari kendaraan bermotor melihat sekilas lokasi kejadian. Tidak ada ratusan orang bahkan pakai acara selfie-selfian di lokasi.
Saya di antar hanya sampai di parkiran karena teman saya harus ke kantor. Situasi di bandara waktu itu saya lihat juga normal meski ada sejumlah petugas kepolisian yang berjaga-jaga.
Dua hari di Jogja saya kembali ke Jakarta. Rencananya saya langsung terbang ke Batam. Tapi batal karena tiket habis. Akhirnya saya menginap di rumah teman sekolah dan menyempatkan reuni dengan sejumlah teman-teman sekolah yang saat itu merantau ke Jakarta.
Kasus bom tidak menjadi bahasan kami dan teman-teman saya juga merasa biasa saja. Hal itu mungkin juga karena update informasi sangat terbatas selain dari televisi dan koran yang tidak bisa diakses setiap detik.
Membandingkan peristiwa teror bom Agustus 2003 dengan kejadian teror bom Sarinah pada Kamis, 14 Januari 2016 lalu dari sisi kecepatan informasi melalui update status, share informasi di berbagai media sosial, saya melihat apa yang terjadi sekarang sungguh luar biasa efeknya.
Saya pertama kali mengetahui infomasi kejadian itu dari grup WA. Kemudian teman yang memberikan info mengirim video detik-detik ledakan bom di depan Coffe Starbuck.
Miris, perih dan sedih bercampur aduk menjadi satu. Apalagi kemudian juga beredar broadcast tentang pelaku yang membabi buta dengan senjata menembaki warga menggunakan mobil dan motor.
Kemudian juga tentang sejumlah lokasi yang akan diledakan oleh teroris tersebut. Pikiran buruk melintas tentang keselamatan keluarga, kerabat dan teman-teman yang ada di Jakarta.
Ketika membuka facebook, sejumlah teman memposting foto-foto kejadian yang menampilkan korban tanpa blur. Mata saya berkaca-kaca, karena dalam pikiran saya itu mungkin baru sebahagian foto yang diposting. Bagaimana dengan lokasi lain yang konon akan diledakan teroris itu dan bagaiman nasib mereka yang jadi korban tembakan membabi buta dari teroris yang pakai mobil dan motor itu seperti yang ditulis dari broadcast.
Saya yakin saat itu bukan hanya saya saja yang menerima informasi tersebut, ribuan bahkan jutaan masyarakat Indonesia pengguna media sosial akan melihat itu. Tentu mereka akan merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang sama, mencemaskan orang-orang yang mereka kenal yang
tinggal di Jakarta.
Tapi detik, menit dan jam berlalu informasi tentang kejadian itu mulai menunjukan titik terang. Isi broadcast tentang sejumlah titik lokasi yang akan diledakan tidak benar. Begitu juga dengan teroris yang membabi buta dengan mobil dan motor yang berkeliaran menembaki warga.
Ada kelegaan meski tetap prihatin dan sedih membaca korban sipil dan aparat kepolisian yang menjadi korban. Berkaca kepada kejadian tahun 2003 dan 2016 ini saya menilai pengaruh media sosial dalam menyebarkan informasi sangat dashyat.
Informasi yang diposting para penggunanya tidak bisa dibendung bahkan disaring kebenarannya. Para pengguna media sosial dengan berbagai latar belakang pendidikan, usia, pekerjaan dan tempat
tinggal seolah berlomba-lomba menjadi juru berita yang harus menjadi orang yang pertama dan selalu update akan sebuah kejadian.Mereka kadang lupa efeknya dan mengecek kebenaran dari sebuah informasi yang mereka dapatkan sebelum disebarkan kembali.
Saya membayangkan jika pada Kamis, 14 Januari 2016 itu saya sedang di bandara menunggu pesawat ke Jakarta, mungkin saya akan membatalkan keberangkatan. Karena pemberitan televisi dan informasi di media sosial di awal kejadian sangat mengkhawatirkan.
Setiap detik teman-teman di beranda banyak yang update tentang kejadian teror bom yang baru saja terjadi. Hal itu sangat mempengaruhi psikologi saya. Sebagai seorang yang aktif di berbagai media sosial saya banyak belajar dan bertekat akan menjadi pengguna sosial media yang baik. Yang harus bisa menyaring informasi sebelum kembali disebarkan, karena tidak semua informasi itu benar adanya dan berdampak bagi yang membaca atau melihat.
Semua kembali kepada hati nurani. Semoga teman-teman saya dan pengguna sosial media lainnya juga bertekat yang sama. Mari menjadi pengguna sosial media yang cerdas dan bijak. Salam damai :)
miris juga kalau ada banyak berita di medsos yang hoax...saya kemarin tahunya pas buka IG,sampai rumah baru deh lihat tv..
BalasHapusiaaa...kita harus benar2 cerdas untuk membaca apalagi ikut menyebarkannya..thanks udah mampir mba
HapusBetuull.. Saya belum membuat satu pun status sosmed mengenai hal itu, apalagi mengeshare berita2 yg blm tentu benar.
BalasHapusSy pun berusaha sedapat mungkin tidak latah share berita yg belum pasti kebenarannya. Orang rame2 topik tertentu, adem2 saja. Hehehe...
BalasHapusBtw... Dulu jg waktu bom bali 1, kakak sy sedang ada di Bali. Cemasnya luar biasa. Apalagi hapenya tdk bisa dihubungi.
Merasanya kalau paling cepat share paling hebat kali ya? Sebaiknya kalau tidak di TKP langsung memantau saja & mendoakan.
BalasHapusaku juga taunya kabar bom sarinah dari path, kasian korban nya tanpa blur..
BalasHapus