Karena Tidak Semua Masalah Bisa Diselesaikan Laki-Laki
Indonesia sebagai sebuah negara, ibarat sebuah rumah tangga yang mempunyai dua jenis manusia, yaitu perempuan dan laki-laki. Ketika di dalam rumah tangga, tiba-tiba seorang istri misalnya akan bersalin di rumah sakit dan sang suami harus menyiapkan perlengkapannya, tentu ia tidak bakal paham sepenuhnya apa kebutuhan istrinya secara spesifik. Bolehlah, ia tahu istrinya butuh baju ganti dan kain setelah melahiran. Tapi ia tidak paham kebutuhan-kebutuhan spesifik lainnya yang juga penting ia persiapkan. Apakah istrinya butuh gurita, pembalut dan jamu dsb.
Untuk mengatasi masalah seperti itu, sang suami butuh bantuan wanita lain juga, misalkan ibunya. Karena hanya ibunya sebagai sesama perempuan yang tahu kebutuhan spesifik istrinya saat persiapan melahirkan. Meskipun sang suami sudah belajar dan membaca hal-hal yang harus ia lakukan saat mendampingi persalinan sang istri, tapi tetap saja ia butuh dampingan dan perempuan. Karena tidak semua masalah bisa diselesaikannya sendiri, meski sepintar apapun dia.
Begitu juga dengan negara kita Indonesia tercinta. Permasalahan perempuan yang komplek di negara ini, perlu diselesaikan dengan turut campurnya perempuan di dalam menyelesaikan masalah perempuan serta anak, baik di pemerintahan sebagai pejabat pengambil kebijakan dan parlemen sebagai wakil rakyat.
Keberadaan dan keterwakilan perempuan di parlemen harus ada dan sangat berperan penting. Karena salah satu tugas dan fungsi anggota parlemen yang membahas dan menyetujui berbagai undang-undang yang diajukan pemerintah, juga perlu keterlibatan perempuan di dalamnya. Sebab pemerintah juga punya berbagai program untuk perempuan dan anak terkait permasalahan yang ada pada mereka.
Bagaimana sebuah undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga di dalamnya bisa dibahas dan disetujui, jika tidak ada perempuan di dalamnya ? Bagaimana undang-undang tentang perkawinan bisa disahkan jika tidak ada ikut andil perempuan di dalamnya. Begitu juga dengan undang-undang kewarganegaraan yang juga butuh pemikiran kaum perempuan di parlemen.
Jika berbagai undang-undang yang dibahas dan disahkan parlemen tidak melibatkan perempuan, tentulah dan wajar jika di lapangan masih banyak kebijakan yang tidak responsif gender. Karena undang-undang itu sendiri tidak pernah meminta pendapat, suara, harapan, kritik dan saran kaum perempuan sebagai sasaran utama dari peraturan tersebut.
Begitu juga dalam penetapan anggaran, kaum perempuan juga harus dilibatkan melalui wakilnya di parlemen. Karena hanya mereka yang tahu, mengerti dan sadar kebutuhan-kebutuhan perempuan dalam sebuah program pembangunan. Intinya perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama untuk bisa ikut ”berjuang” di parlemen.
Permasalahan Perempuan di Indonesia
Permasalahan perempuan dan anak di Indonesia sesuai data di Bappenas secara umum bisa dikatakan banyak dan komplek. Kebijakan dan program untuk mengatasinya tidak cukup diselesaikan oleh pemikiran kaum laki-laki di parlemen, namun perlu campur tangan perempuan yang duduk di sana.Permasalahan itu antara lain :
1.Rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan.
2.Tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
3.Rendahnya kesejahteraan dan perlindungan anak.
4.Kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki.
5.Banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan belum peduli anak.
6.Lemahnya kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, termasuk ketersediaan data dan rendahnya partisipasi masyarakat.
Caleg Perempuan Harus Dipilih
Berdasarkan pentingnya keberadaan dan keterwakilan perempuan di parlemen seperti yang diuraikan di atas, tentu tidak lepas dari pencalonan mereka melalui partai politik. Kita patut bersyukur keterwakilan perempuan di parlemen saat ini sudah meningkat meski belum sesuai dengan yang diharapkan.
Jumlah politisi perempuan di parlemen Indonesia mencapai titik tertingginya dalam sejarah berkat inisiatif aksi afirmatif untuk mengusulkan sedikitnya 30% kursi DPR dan DPRD untuk perempuan dimulai tahun 2003.
Dari 650 anggota DPR saat ini, 101 kursi (18,03%) diduduki politisi perempuan dari berbagai partai. Ini merupakan kenaikan terus-menerus dari pemilu 2004, ketika jumlah politisi perempuan di DPR mencapai 11,6%, sementara hasil pemilu 1999 baru mendudukkan 8,6% perempuan di DPR.
Sedangkan untuk di daerah, caleg perempuan hasil Pemilu 2009 untuk DPRD Provinsi rata-rata baru 16 persen, sedangkan DPRD kota kabupaten rata-rata hanya 12 persen.
Meski belum mencapai sesuai kuota yang diharapkan, keberadaan perempuan di parlemen tidak terlepas dari UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) memuat penerapan kuota 30 persen bagi calon anggota legislatif perempuan pada Pasal 65 ayat 1.
Tidak hanya itu UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu kemudian disempurnakan menjadi UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang menjadi landasan hukum pemilu 2009. Di dalam Pasal 53 UU No.10 Tahun 2008 kembali memuat kuota 30% caleg perempuan, ditambah dengan pasal 55 ayat 2 yang mencantumkan sistem zipper atau di setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan.
Kemudian di pasal 214 mengenai penetapan calon terpilih yang masih tetap berpatokan pada perolehan 30 persen BPP (bilangan pembagi pemilih) dan atau kembali ke nomor urut. Kombinasi sistem hukum ini dianggap mampu meningkatkan jumlah perempuan di parlemen, setidaknya mensiasati penetapan berdasarkan nomor urut jika tidak ada caleg yang berhasil melampaui BPP.
Karena itu keterwakilan perempuan di Pemilu 2014 ini harus lebih besar dari hasil tiga kali periode Pemilu tersebut. Saat ini caleg perempuan yang mencoba berjuang untuk bisa duduk parlemen sangat banyak dan mereka antusias bisa menjadi wakil rakyat.
Para caleg perempuan ini harus dipilih agar keterwakilan perempuan bisa mencapai 30 persen dan kalau perlu mencapai 50 persen di parlemen. Hal itu agar berbagai kebijakan program dan anggaran untuk perempuan dan anak khususnya bisa lebih menyentuh kepada sasaran, sehingga berbagai permasalahan perempuan di Indonesia bisa diatasi dan berkurang.
Selain itu caleg perempuan harus dipilih, seperti yang disampaikan oleh Menteri Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, karena perempuan itu lebih teliti, amanah, pekerja keras, jujur, lebih transparan, loyal kepada kontituen dan memiliki banyak sifat yang baik.
Menurut Linda, memang sifat-sifat tersebut melekat pada seorang perempuan meski tidak bisa disamaratakan kepada semua perempuan. Selain itu, perempuan juga memiliki hak politik yang sama dengan laki-laki. Tidak hanya itu, sebenarnya kehadiran perempuan dalam politik menjadi sangat berarti dan penting, khususnya untuk memperbaiki taraf kehidupan masyarakat yang masih belum layak. Termasuk diskriminasi gender hingga kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan publik. Sehingga perempuan mampu memperjuangkan kepentingan kaumnya dan anak-anak. Bahkan, bisa memperjuangkan dan menghasilkan kebijakan yang berperspektif gender.
Jadi, Pada Pemilu 2014 yang dilaksanakan 9 April mendatang, "Ayo Pilih Caleg Perempuan " ****
Referensi :
1.http://www.politik.lipi.go.id/
2.http://www.politikindonesia.com/
3.http://www.bappenas.go.id/
Posting Komentar untuk "Karena Tidak Semua Masalah Bisa Diselesaikan Laki-Laki"
Terimakasih sudah berkunjung
Silahkan berkomentar .
Mohon maaf komentar dimoderasi