Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di sana Banjir di Sini Kemarau Panjang

Melihat pemberitaan tentang banjir kembali melanda Jakarta dan sejumlah daerah di Pulau Jawa, hati saya bercampur aduk. Ya, antara sedih melihat penderitaan warga di sana dan memikirkan saudara-saudara di sini juga yang malah kekurangan bahkan bisa dikatakan kritis air bersih.
Bak kamar mandi yang kuning kecoklatan karena menampung air yang keruh :(

Saya berdomilisi di Pulau Bintan. Sebuah pulau yang berseberangan dengan Pulau Batam. Di Pulau Bintan ada 3 pusat pemerintahan daerah, Kota Tanjungpinang, di Senggarang, Pemkab Bintan di Malang Rapat dan Provinsi Kepri di Dompak. Kota Tanjungpinang sendiri adalah ibukota provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang merupakan provinsi baru yang baru berdiri 11 tahun.Kota Batam sendiri juga bahagian dari Provinsi Kepri.

Jika waktu SD kita belajar daerah penghasil tambang, mungkin akan ingat dengan Pulau Bintan sebagai penghasil bauksit. Memang meskipun sekarang tidak ada lagi tambang bauksit yang digarap PT Antam, tapi masih ada sisa-sisa bauksit yang ditambang pihak swasta. Jadi jangan heran jika sejumlah kawasan di pulau ini kalau dilihat dari udara akan tampak tandus dan merah bekas galian bauksit.
bekas tambang bauksit dilihat dari udara. foto pak kherjuli
Kembali ke masalah air, sebagai pulau yang berada di dekat laut cina selatan dengan kondisi musim yang dipengaruhi oleh angin utara dan selatan, Pulau Bintan akan melewati fase musim kemarau setiap tahunnyaa. Khususnya Kota Tanjungpinang tempat saya berdomisili sekarang, nyaris sudah satu bulan kemarau panjang.

Saat ini, warga sudah menjerit karena sumber air bersih susah di dapat. Sumur-sumur warga sudah banyak yang kering. PDAM yang diharapkan juga harus bergilir untuk menampungnya. Membeli air tanki yang dikelola pihak swasta pun harus antri.

Saat ini sejumlah organisasi kemasyarakatan dan badan penanggulangan bencana daerah telah berusaha menyalurkan air ke perkampungan dan komplek perumahan. Meskipun hanya mendapatkan jatah beberapa ember tapi warga sangat bersyukutr. 

Doa dan shalat minta hujan pun sebenarnya sudah dilakukan seminggu lalu di Lapangan Pamedan, tapi Tuhan masih menguji kesabaran wargaa di sini. Untuk keluarga saya sendiri alhamdulillah bersyukur karena tidak perlu membeli air dan antri mendapatkan air bantuan, karena sumur umum komplek masih ada airnya meski sudah keruh kekuningan.
Air yang didiamkan dan baskom yang kecoklatan :(
Air yang ditampung di bak harus didiamkan dulu sebelum digunakan. Efeknya bak mandi menjadi kuning dan lantai kamar mandi cepat kotor. Tapi, bagaimanapun juga tetap harus disyukuri karena air masih bisa mengalir ke rumah.

Ya, komplek kami mempunya sumur umum yang sengaja dibangun developer. Setiap rumah memasang pipa di sumur umur tersebut dan menyalurkan air ke rumah masing-masing dengan mesin air. Kebetulan sumur umum itu berada di belakang rumah saya, sehingga meski kemarau air yang sudah sedikit masih bisa dialirkan ke rumah . Sementara rumah warga yang jauh dari sumur sudah tidak bisa lagi mendapatkan air.

Kami warga komplek berusaha menjaga ketersediaan air di sumur tersebut dengan menanam pohon di sekitarnya dan depan rumah masing-masing. Karena mengharapkan resapan air dari hutan sekitarnya sudah bisa dibilang tidak ada. Lahan-lahan kosong yang dulu masih banyak pohon sudah beralih fungsi menjadi perumahan dan pertokoan. Pembangunan yang pesat membuat lingkungan terabaikan sehingga daerah resapan air berkurang.

Miris, sedih, galau dan khawatir akan nasib anak cucu puluhan tahun ke depan jika kota ini masih seperti ini. Masih kurang kepedulian dalam menjaga resapan air. Saya beberapa kali di forum sosial media mengusulkan agar setiap RW punya hutan lindung mini. Caranya ? pemerintah kota menganggarkan untuk membeli lahan kosong warga 1-2 hektar untuk jadi kawasan hutan lindung mini RW. Setiap RW diberi tanggungjawab menanam dan merawat pohon-pohon di dalamnya. 

Bayangkan jika 1 RW punya 1 hutan lindung murni  tentulah akan banyak kawasan hijau yang akan menjadi daerah resapan air. Okelah kalau untuk RW dirasa terlalu sulit mewujudkannya, minimal 1 kelurahan punya 1 hutan lindung mini.

Biaya ? saya yakin anggaran yang akan tersedot tidak sebesar biaya untuk kegiatan dan program tiap tahunan yang bersifat ceremonial hingga milyaran rupiah. Apalagi program hutan lindung mini ini untuk program jangka pangjang puluhan dan bahkan ratusan tahun ke depan !.

Semoga hati para pemimpin dan para wakil rakyat di sana terketuk untuk bisa berbuat nyata kepada masyarakat. Kondisi kritis air bersih seperti saat ini tidak bisa dipandang sebelah mata lagi dan harus dipikirkan program ke depan untuk mengatasinya.

Mohon doanya ...terimakasih

Posting Komentar untuk "Di sana Banjir di Sini Kemarau Panjang"