Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen :Rumahku, Karirku


Cerpen ini dibuat sebelum Fitry hadir di tengah keluarga kam

“Mama…mama hari ini masuk kerja, ya?” Zahra, anakku satu-satunya menarik-narik ujung blazerku.
“Iya sayank, mama kan kerja setiap tiap hari seperti yang kamu lihat,” aku menjawab pertanyaannya, tanpa menoleh karena sibuk mengecek berkas-berkas yang harus aku persiapkan dalam rapat nanti.
“Mama…mama tak usah masuk kerja, sama Zahra aja di rumah, main dan jalan-jalan,” kembali ia
merengek-rengek dan terus menarik ujung blazerku.

“Tak bisa donk, sayank. Mama harus kerja. Kalau tidak kerja, nanti bagaimana bisa beli susu, vitamin, pakaian, dan mainan kamu. Lagipula kan ada Mbak Numi yang menemani kamu,” aku membalas tanpa mempedulikan ekspresinya.

Setelah mendengar jawabanku, ia melepaskan ujung blazerku. Tak terdengar lagi suaranya. Aku bersyukur karena konsentrasiku tidak terganggu. Tapi itu hanya sementara, karena kemudian ia kembali mengeluarkan suara.

“Kan ada papa yang kerja untuk beli susu, bel vitamin, beli pakaian dan mainan aku. Jadi mama tak usah kerja, kan sudah ada papa yang kerja,” suatu pernyataan yang tak pernah aku duga sebelumnya keluar dari mulut bocah perempuan berusia empat tahun itu.

Sejenak aku terdiam. Aku menoleh pada anakku yang asyik menghisap botol susunya di kursi. Wajahnya polos dan mata beningnya menatap kepadaku. Aku bangkit dari kursi meja kerjaku dan menuju ke tempat ia duduk.

“Sayank, apa yang kamu katakan betul,” aku meraihnya ke pangkuanku. “Tapi, kamu teramat kecil untuk memahami mengapa mama masih harus bekerja sampai sekarang,” aku membelai lembut rambut ikalnya yang lebat. 

Mata indahnya yang seperti mataku itu menatap lurus ke wajahku. “Apa uang papa tidak cukup untuk kita, Ma?” balasnya, polos.

“Aduh, sayank. Udah dulu, ya. Kamu belum waktunya untuk bisa memahami semua ini. Sekarang kamu habiskan susunya, siap-siap mandi dan berangkat ke taman bermain, ya,” kucium kedua pipi gembilnya dan kemudian melanjutkan pekerjaanku.


Suamiku muncul setelah Zahra keluar dari kamar kerjaku. “Wah, tadi kayaknya serius banget bicara dengan Zahra. Ada janji apa sama dia?” tanya suamiku yang sudah rapi dengan seragam kerjanya.

“Ah, tidak ada. Biasa cuma memberikan dia nasehat dan pengertian. Biasalah, agar dia menjadi anak yang baik, manis dan mandiri,” jawabku sedikit berbohong.

Suamiku tidak menanggapi kecuali berkomentar pendek. “Oh itu, kirain buat janji apa dengan dia,” ujarnya sambil berlalu. Dan itu membuatku sedikit tersinggung.

Aku tahu dia sengaja menyindir aku dengan kalimat seperti itu, karena beberapa kali janjiku dengan Zahra batal karena kesibukan kerjaku. Bahkan kadang tak jarang ia mengambek dan tidak mau berbicara dengan aku. 


Aku sengaja berbohong. Jika apa yang Zahra katakan tadi aku ceritakan pada suamiku, tentu ia akan berpendapat yang sama. Pada akhirnya aku akan semakin terpojok. Aku tak mau hal itu menjadikan beban pikiranku di pagi yang cerah ini. Pukul 10 nanti, aku ada rapat yang membicarakan tentang langkah pengembangan perusahaan perbankan tempatku bekerja. Di situ, aku sudah punya sejumlah ide yang akan kusampaikan. 

Zahra sudah selesai mandi dan berpakaian ketika aku bergabung di meja makan. Ia duduk berhadapan dengan papanya. Aku memilih tempat di sebelahnya. “Ayo, sayank, makan yang banyak biar nanti di taman bermain gak lemas. Ayo anak mama pintar, kan,” sikap itu hanya untuk menguatkan pernyataanku pada suami bahwa tadi benar-benar menasehati Zahra.


Anakku tidak menjawab, ia hanya mengangguk dan terus menyuap sarapan ke dalam mulutnya. Usai sarapan, Zahra ikut mobil papanya, karena taman bermainnya satu arah dengan kantor suamiku. Sedangkan aku naik mobilku sendiri menuju kantor.

Dalam perjalanan kata-kata anakku tadi terus terngiang di telinga. Aku berusaha menghilangkannya dengan mendengarkan radio. Tapi itu tidak memberi manfaat. Kumatikan radio dan ganti dengan alunan lagu dari kaset. Hasilnya tetap sama.


“Zahra….zahra, ada-ada saja yang kamu katakan, mama jadi tidak mood nih,” aku menggumam, menyesali kata-kata anakku tadi. 

Zahra, anakku yang kulahirkan empat tahun tiga bulan lalu. Bocah cantik, lucu dan menggemaskan, karena sikapnya yang serba ingin tahu. Ia aktif bergerak dan berbicara. Pertanyaan tadi bukan sekali ia tanyakan sejak ia sekolah di taman bermain. Tapi dengan jawaban pamungkas kalau aku bekerja untuk membeli susu, vitamin, pakaian dan mainannya, ia biasanya akan diam. Tapi, tadi pagi lanjutan pertanyaannya membuatku sungguh tersentak. 

Apakah papanya yang mengajarkan kalimat itu? Atau karena kecerdasannya yang makin meningkat seiring pertumbuhan usia dan pendidikan yang ia dapat di taman bermain.

Jika dari papanya, tidak mungkin. Karena Mas Jefri suamiku bukan tipe pria seperti itu. Jika ada masalah ia akan mengajak berbicara. Masalah pekerjaanku memang pernah ia bicarakan, tapi aku selalu memberikan argumen yang membuatnya tidak lagi mengungkit. 

Kerja bagiku bukanlah suatu aktivitas yang kulakoni hanya sekedar mendapatkan imbalan materi untuk membiayai segala macam kebutuhan hidup. Tapi bagiku, kerja adalah karir, yang harus mengalami peningkatan dan memberikan hasil bukan sekedar gaji tapi juga prestise dan prestasi.

Dari kuliah aku akui adalah orang yang ambisius. Tapi dengan tingkat intelektual yang kumiliki, mendukung sifatku itu. Aku berhasil meraih sarjana manajemen perbankan dalam waktu kurang empat tahun. Lulus kuliah, lamaran kerja kumasukan pada hampir seluruh bank yang ada di kotaku. Ada atau tidak ada lowongan bagiku tidak masalah, yang penting mencoba.


Ternyata dari sekian banyak lamaran yang aku ajukan, ada tiga bank yang memanggilku untuk tes. Sebelum memilih yang mana satu harus aku pilih, aku meneliti lebih jauh tawaran mana yang harus kuterima. Hasilnya, aku memilih bank swasta yang lumayan terkemuka. Karir awalku menjadi kasir.

Dua tahun menjadi kasir, karirku tidak meningkat. Sebagai wanita yang punya sifat ambisius, aku merasa sudah waktunya hengkang dari sana. Karena prinsipku, cita-citaku menjadi yang terbaik dan mencapai jabatan tertinggi tidak akan mendek di sana. 


Meski mendapat protes dan larangan dari teman-temanku, aku tetap kukuh. Aku harus keluar dan mencari kerja baru demi karir yang lebih baik. Aku tidak perlu dengan saran dari Mbak Heni yang sudah lima tahun bekerja di bank itu, tapi masih tetap pada jabatan kasir. “Sabar, suatu saat waktu untuk jabatan yang lebih baik itu pasti ada,” hiburnya.

Aku juga tidak peduli dengan bujukan, Reni dan Dewi yang mengatakan hal yang senada. Bagiku, keinginanku adalah hakku dan komitmen mereka bertahan juga adalah hak mereka. Jadi, tidak perlu demi persahabatan aku bertahan. Ini demi karier yang aku cita-citakan, kawan.

Sebenarnya aku masih mencoba untuk bertahan di sana. Tapi suatu hari aku melihat lowongan di koran, jika bank tempat aku bekerja mencari manajer yang berpengalaman. Entah mengapa darah mudaku mendidih. 

Harusnya mereka yang berkuasa di sana punya pikiran untuk memberikan kesempatan kepada staf yang di bawah dan punya jam terbang, untuk dijadikan manejer, sehingga mereka bisa berkembang dengan karier yang lebih baik.

“Dasar pemilik modal maunya yang terima bersih, tanpa mau memberikan kesempatan bawahannya untuk bisa berkarier lebih baik,” kecamku sebelum memutuskan keluar.

Pengalaman bekerja sebagai kasir dua tahun, memudahkanku untuk melamar kerja baru. Aku diterima kembali pada sebuah bank yang lumayan terkemuka. Tapi, ketika setahun bekerja, aku dipanggil oleh menejer personalia, jika masa kontrakku tidak diperpanjang. 

Aku kaget. Karena kenyataan dengan apa yang dijanjikan saat aku awal diterima sangat berbeda. Waktu awal aku diterima memang diberi penjelasan jika pada satu tahun pertama akan dikontrak dan tahun berikutnya tidak lagi, alias menjadi karyawan. Artinya, sistem kontrak yang dimaksud hanya masalah sistem pengajian yang tidak sama dengan yang berstatus karyawan.

Tapi, yang aku dengar waktu itu malah lain. Tanpa banyak protes aku keluar. “Dasar licik, culas, pembohong, bilang saja jika perusahaan tidak mau terbebani dengan banyak kewajiban pada karyawan, jadi membuat sistem kontrak. Dasar penipu,” rutukku, saat keluar dari sana.

Tapi, bukan Wanda namaku jika tidak kembali semangat mencari kerja. Bank tetap menjadi pilihanku, karena prinsipku pekerjaan harus sesuai dengan ilmu dan keahlianku. Jadi, uang bukanlah faktor utama. Karena dengan bekerja di mana saja yang menghandalkan ijazah sarjana seperti banyak dilakukan orang, aku juga bisa. Tapi, yang namanya untuk mencapai karier terbaik harus bekerja sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki.

Sebagai anak bungsu, bagiku uang tidak masalah. Orangtuaku cukup mampu membiayaiku jika aku hanya ongkang-ongkang kaki di rumah selepas kuliah. Tapi, komitmen dengan cita-cita dan sukses berkarier itu lah misiku.

Ketika untuk ketiga kalinya aku diterima di bank, dua pertanyaan sudah aku siapkan sebelum memutuskan bekerja di sana. Pertama tentang sistem kontrak dan kedua peluang kenaikan karier bagi staf. 

Ternyata di sana juga menggunakan sistem kontrak untuk satu tahun. Tapi, sistem itu hanya sebagai bentuk pengawasan dan penilaian. Sebelum masa satu tahun pun, karyawan yang dinilai tidak baik bisa dikeluarkan. 

Aku lega menerima penjelasan itu. Begitu juga dengan pertanyaan kedua tentang peluang karir, ternyata ada. 

Bahkan sangat terbuka lebar bagi staf untuk ikut promosi jabatan baru dan bersaing dengan pelamar.

Belum cukup satu setengah tahun bekerja disana, aku dipromosikan menjadi asisten menejer. Suatu kesempatan yang tidak aku sia-siakan. Segenap kemampuan dan ide, aku tuangkan dalam rapat. Hasilnya sejumlah pendapatku ternyata bisa diterima. 

Setahun pada jabatan itu, aku kembali dipromosikan sebagai manejer pemasaran. Tawaran yang bagus kembali aku terima. Semangatku makin menggebu-gebu untuk bekerja dan meningkatkan karier.

Saat itulah aku berkenalan dengan Mas Jefri yang bekerja sebagai PNS. Tak lama pacaran kami menikah. Satu tahun kemudian Zahra lahir. Kelahiran anakku tidak menghalangiku untuk terus berkarier. Sebab, sebelum menikah aku sudah menegaskan pada Mas Jefri, aku akan tetap bekerja setelah menikah dan ia menyetujuinya.

Mengurus rumah dan Zahra, aku cukup menyerahkan pada dua orang pembantu. Bagiku yang sudah mapan, membiayai pembantu tidak masalah. Yang penting semua urusan di rumah beres.

Saat Zahra berumur dua tahun, aku mencoba tantangan karier yang lebih tinggi. Ketika pemerintah kota mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), aku mencoba bersaing dengan sejumlah pelamar lain untuk bisa menduduki jabatan direktur.

Dewi fortuna sepertinya masih mengelilingi diriku. Aku dipilih menjadi salah satu direktur, yakni direktur pemasaran dan pengembangan usaha. Bagiku, untuk sementara, ini adalah puncak karier tertinggi. Sebuah prestasi dan prestise sudah aku dapatkan. Apalagi statusku sebagai wanita dan seorang ibu menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Usiaku yang masih tergolong muda 31 tahun, juga menjadi kebanggaan yang tidak semua orang bisa meraihnya.

Suamiku tidak pernah melarang bekerja, kecuali ia pernah memintaku untuk beralih pekerjaan yang lebih simple dan tidak menguras waktu untuk keluarga, khususnya Zahra. Tapi, alasan yang kukemukan membuatnya tidak mengungkit kembali.

Hari ini, adalah tantangan bagiku untuk menyampaikan ide-ideku di hadapan komisaris tentang rencana pengembangan usaha bank yang baru berjalan satu tahun. Sejumlah programku tentang melibatkan pihak ketiga telah aku siapkan dan aku yakin bisa diterima oleh komisaris. 

Bunyi telepon genggam mengejutkan aku dalam lamunan panjang. Ternyata dari tadi aku belum keluar dari mobil yang sudah berada di parkiran kantor. Ternyata yang menelpon Vita, sekretarisku. Ia menanyakan aku yang belum ada di kantor, karena jadwal rapat dipercepat setengah jam dengan alasan direktur utama akan ada agenda lain.

“Oke, saya sudah di parkiran,” jawabku cepat.

Sebelum turun dari mobil, sekilas aku sempat melihat bayangan wajahku di spion. Protes Zahra tadi ternyata sedikit memberi kesan kurang semangat pada wajahku. Vita yang menyambutku di dalam ruang kerjaku, juga heran melihat wajahku. 


“Pagi ibu, sepertinya ibu kurang sehat, ya? Wajah ibu kelihatan tidak seperti biasanya,” tanyanya sambil memperhatikan wajahku.

“Pagi juga. Oh tidak apa-apa, cuma agak kecapekan,” jawabku seadanya.

Mengingat jam rapat yang dipercepat, aku meminta Vita segera menyiapkan bahan-bahan rapat di ruang pertemuan. Sepuluh menit sebelum rapat dimulai Vita sudah selesai menyiapkan semua yang diperlukan.

Seperti biasa, aku selalu bersemangat dan menggebu-gebu menyampaikan ide-ideku. Tidak hanya data, tapi aku juga menyampaikan sejumlah contoh fakta tentang pentingnya orang ketiga dalam suatu pengembangan usaha perbankan. Slide-slide gambar berisikan grafik peningkatan pengembangan usaha dan modal bank berkat kerjasama dengan pihak ketiga, juga aku sertakan sebagai bukti ideku bukan sekedar omongan belaka.

Hasilnya, komisaris serta direktur utama secara umum menyatakan setuju dengan ideku tersebut. “Tidak salah kita punya direktur pemasaran seorang wanita, muda, pintar dan enerjik. Dalam waktu dekat siapkan pertemuan dengan pihak ketiga yang mau bergabung biar kita siapkan draf perjanjiannya,” ujar Pak Sugeng, sang direktur utama, disambut tepuk tangan penghargaan kepadaku.

Hatiku begitu bahagia dan bangga. Ternyata tidak sia-sia aku belajar dari buku dan mengambil bahan-bahan di internet. Semua data dan program yang aku ajukan bisa membuat jajaran komisaris dan Dirut setuju.

HP ku yang sejak rapat tadi kusetel pada program diam, tampak berkedip-kedip tanda ada panggilan masuk. Ternyata dari rumah.”Ya halo, ada apa, Num,” tanyaku pada pengasuh Zahra.


“ Zahra panas, Bu,” jawabnya bergetar.

“Sudah kamu kasi obat penurun panas?”
“Sudah bu, tadi panasnya sudah turun dan dia tidur. Tapi sekarang panas lagi,” nada bicaranya jelas menunjukkan kebingungan.
“Ya sudah, kamu sekarang telepon dokter keluarga. Saya segera pulang. Tak usah khawatir berlebihan. Tenang saja,” aku berusaha menenangkan pembantu yang sejak bayi mengasuh Zahra. Ia sangat menyayangi anakku, sehingga kalau Zahra demam, ia yang paling dulu khawatir.


Untung rapat sudah selesai, aku bisa pulang lebih awal. Aku langsung menuju kamar Zahra yang ternyata sudah ada Dokter Mira yang biasa merawatnya jika demam. “Siang, Dok, anak saya sakit apa?” tanyaku. 

“Siang ibu, anak ibu cuma demam biasa. Sepertinya kecapekan dan mungkin kena panas matahari yang cukup lama. Mungkin karena keasyikan bermain di sekolah,” jawabnya, sambil menyerahkan secarik resep kepadaku.

“Oh…terima kasih, Dok,” aku menarik nafas lega.

Dengan obat yang kutebus di apotik, panas badan anakku sudah menurun. Tapi ia tidak mau lepas dari pelukanku. Maunya digendong terus jika sedang tidak tidur. “Kamu turuti saja kemauannya, mana tahu dia bisa sembuh jika kamu yang merawat dia,” hibur suamiku, ketika aku mengeluh penat mengendong anakku yang cukup berat.


Paginya, Zahra sudah membaik. Panas badannya sudah kembali normal. Namun ia masih lesu. “Ma, mama tidak kerja hari ini kan. Mama temani Zahra di rumah saja, ya,” pintanya saat bangun tidur.

Mas Jefri memberi isyarat kepadaku agar menuruti permintaannya. Akhirnya aku menganggukan kepala, “iya, sayank, mama akan menemani Zahra hari ini di rumah. Tapi besok kamu harus masuk sekolah lagi dan mama masuk kerja,” aku mengecup pipi gembilnya.

Ia mengangguk senang dan memelukku erat. Aku memberitahu Vita, jika hari ini aku izin tidak masuk kantor. Lagi pula tidak ada pekerjaan penting yang harus kuselesaikan. Bahan untuk pertemuan dengan pihak ketiga aku serahkan pada Vita mengerjakannya. Setelah selesai aku tinggal mengedit dan mengecek yang perlu ditambah. Masih dua hari lagi waktu yang kumiliki sebelum bertemu mereka.


Hari itu aku menemani Zahra sepenuhnya. Ia seperti tidak mau jauh dariku. Aku pun berusaha untuk tidak menunjukan rasa penat. Karena toh, memang sangat jarang sekali aku ada waktu berdua dengan dia. Hari minggu pun aku kadang masih sibuk dengan urusan di luar kantor, arisan, ke salon atau jalan-jalan ke mall. Semua itu tidak disukai Zahra. Sehingga ia lebih sering aku tinggal dengan pembantu, sementara aku refresing di pusat-pusat belanja menyalurkan hobi belanja.

Entah mengapa anakku tidak seperti anak-anak lainnya yang suka diajak ke mall, bermain di arena bermain. Ia lebih suka diajak ke taman kota atau danau yang terletak di pinggir kota. “Lebih nyaman di sini bermain, Ma. Tidak bising dan ramai seperti di mall,” alasannya setiap kami berkunjung ke dua tempat itu.


Biasanya setelah puas bermain di taman atau pinggir danau, ia akan beristirahat di tikar yang kami gelar. Kemudian akan memintaku bercerita atau membacakan buku komik yang selalu ia bawa.

Malam harinya, Zahra sudah pulih sepenuhnya dan tidak lemas lagi. Namun ia tetap memintaku untuk mengantarnya ke sekolah besok pagi. Aku mengiyakan dan ia tersenyum senang.

Ini bukan pertama kalinya aku mengantar Zahra ke sekolah. Karena beberapa kali ketika merajuk atau setelah demam, ia biasanya meminta aku mengantar sekolah. Aku selalu menyanggupinya. Namun, aku hanya mengantar hingga gerbang. Tapi hari ini, aku menyempatkan diri untuk masuk ke lingkungan sekolah. Ia nampak begitu semangat melakukan gerakan senam, apalagi ketika aku mengacungkan jempol ke arahnya. 

Kesempatan itu juga aku gunakan untuk sekedar berbasa-basi dengan sejumlah wanita yang menunggu anak-anak mereka. “Mengantar anak juga ya, Bu?” basa-basiku pada dua orang wanita yang duduk di sebuah bangku.


“Iya, Bu, itu anak saya. Bimo yang gendut,” ia menunjuk pada seorang anak yang bertubuh subur. Aku heran melihat ibunya yang cenderung kurus, tapi anaknya lumayan gemuk.

“Anak ibu yang mana,” wanita berambut pendek di sebelah wanita yang beranak gemuk, balas menanyaiku.

“Itu Zahra, yang ikal rambutnya seperti saya,” aku menunjuk Zahra yang mulai berbaris masuk kelas.
“Oh itu ya…dia anaknya pintar dan lincah ya. Waktu itu dia pernah bertanya kepada saya,” Ibu Bimo yang merespon.
“Bertanya apa, Bu?” balasku cepat ingin tahu
“Katanya Bimo pasti senang punya ibu seperti saya. Dia mau juga seperti Bimo, ditemani mamanya terus setiap sekolah.”


Deg, jantungku langsung tersentak mendengar kata wanita tadi. Benarkah itu yang keluar dari mulut bocah lugu seperti Zahra. Tapi. Mungkin juga, anakku itu memang suka bicara dan serba ingin tahu.



“Maunya sih saya begitu bu, tapi bagaimana lagi ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal. Jadi sekali-kali saya mengantarnya,” aku berdiplomasi dan cepat-cepat pamit dengan alasan harus cepat ke kantor.

Dalam perjalanan ke kantor, pembicaraan singkat dengan dua orang wanita tadi terus menggayuti pikiranku. Wajah Zahra yang cantik, lucu dan menggemaskan hadir di pelupuk mataku. Ku akui anakku memang punya sifat yang jauh berbeda dengan anak-anak seusianya. Kadang ada kata-kata atau kalimat yang harusnya belum terpikirkan oleh anak seusianya ia utarakan. Ia sepertinya lebih dewasa dari umurnya. Aku tak tahu apakah itu karena turunan dari IQ yang kumiliki atau memang lingkungannya yang membentuknya seperti itu.


Pernah ketika kami berlibur di danau, ia bertanya mengapa tidak ada orang yang membangun pondok di tepi-tepi danau. Padahal pengunjung akan senang ada tempat berteduh, daripada harus duduk di atas tikar berlindung di bawah pohon. 



”Coba kalau dekat pinggir danau ini ada rumah-rumahan kecil ya, Ma. Kan kita tidak kepanasan dan kehujanan lagi berteduh di bawah pohon,” tuturnya waktu itu. Aku kaget mendengarnya.

Aku tersenyum mengingat kecerdasan dan sikap lugunya ketika mengungkap hal-hal yang harusnya belum ia pikirkan. Tapi, semua itu harus aku simpan ketika sampai di kantor. Pekerjaan sudah menungguku, persiapan pertemuan dengan pihak ketiga yang akan menanamkan investasi di bank kami.


Semua agenda yang telah kususun berlangsung lancar dan tidak ada kendala berarti. Pertemuan dan pembahasan sistem perjanjian kerjasama tidak ada masalah. Seminggu kemudian akan ada penandatanganan nota kesepahaman antara BPR dengan pihak ketiga. Acaranya sengaja dibuat seformal mungkin, mengundang unsur pemerintahan, DPRD, Muspida, tokoh masyarakat dan wartawan.


Sebagai direktur pemasaran, aku yang diberi tanggungjawab mengatur acara itu. Di bawahku juga ada koordinator yang mengurus dan membawahi sejumlah panitia lainnya. Praktis hari-hariku semakin sibuk, karena bagiku acara penting itu juga adalah bagian dari upaya aktualisasi kemampuanku menangani kegiatan yang memang di luar bidangku sebenarnya. Tapi, bukan Wanda namanya jika tidak mampu melakukan sesuatu. Selalu begitu aku menyakinkan diri untuk tidak ragu dalam melangkah.


Hingga sampailah pada hari gladiresik acara MoU yang akan dilakukan. Aku puas, karena bisa dikatakan sembilan puluh persen acara besok sudah nampak hasilnya. Ada yang bergetar di dalam saku blazerku, yang ternyata HP ku yang kusetel dengan nada getar. 

“Ibu, tadi Zahra jatuh, kakinya terkilir,” suara Numi yang biasa khawatir berkebihan terdengar di seberang sana.

“Jatuh…? Kok bisa? Sekarang kamu sudah obati pakai apa kakinya?” aku tak sabar mendengar penjelasan Numi.

‘Tadi di sekolah, dia pikir ibu yang menjemputnya. Ketika melihat mobil di depan sekolah, ia berlari menyambut dan terjatuh.”

“Oh…aduh Zahra….Zahra…Oke saya segera pulang,” aku segera minta izin meninggalkan kantor.

Di dalam kamar anakku ternyata ada guru Zahra yang ikut menungguinya. “Selamat siang, Ibu. Maaf tadi Zahra jatuh di sekolah, kakinya terkilir,” ia menyalamiku.

“Tidak apa-apa, Bu, saya kira itu biasa. Namanya saja anak-anak, apalagi Zahra yang aktif begini, wajar jika jatuh,” aku berusaha membuat guru itu merasa nyaman dan tidak terlalu merasa bersalah.


Melihat aku datang, Zahra yang tadi berbaring mengulurkan tangannya minta digendong. Aku meraihnya hati-hati ke dalam pangkuanku dan mencium keningnya. “Sayank, tadi kurang hati-hati, ya? Mana yang sakit, nak?”

“Maafin Zahra ya. Zahra sudah membuat mama khawatir. Zahra janji tidak akan merepotkan mama lagi,” ia menatapku penuh penyesalan.

“Tidak, sayank, kamu tidak salah. Ini cuma kecelakaan kecil saja,” aku menghiburnya.
Guru yang sejak tadi diam mengeluarkan suara. “Saya punya kenalan yang biasa mengobati orang terkilir. Biasanya cepat sembuh dengan cara pijat dan urut yang ia lakukan. Apakah boleh saya minta datang ke sini,” ia menawarkan jasa baiknya untuk menenangkan hatiku.
“Oh…terima kasih, Ibu. Silahkan jika memang ada yang bisa urut,” sambutku senang.



Guru itu permisi keluar untuk menelpon. Kudengar ia menjelaskan kecelakaan Zahra dan menyebutkan alamat rumahku. “Paling lama 20 menit lagi bapak itu sampai di sini, Bu. Kebetulan ia sedang tidak ada pasien sekarang. Jadi bisa langsung ke sini,” tuturnya. Aku gembira karena anakku akan bisa cepat diobati.


Ternyata apa yang disampaikan gurunya Zahra benar. Kurang dari 20 menit, tukang urut yang ia ceritakan datang. “Kok cepat sekali, Pak,” aku berbasa-basi sembari menyalaminya.


“Pakai pesawat, Bu. Eh tidak, biasa pakai motor. Hanya kebetulan tadi saya berada di jalan arah rumah ibu, jadi bisa cepat sampai. Oh ya, mana anaknya?” balasnya dan sepertinya tak mau lama-lama berbasi basi.

Aku membawa pria separuh baya itu ke kamar Zahra. Ketika melihat anakku, ia tersenyum dan menanyakan namanya. Seperti biasa jika diajak berkenalan, Zahra selalu menjawab dengan panjang lebar.


“Nama aku Zahra, umurku empat tahun, aku kelas nol kecil. Aku sudah mulai bisa membaca,” jawabnya panjang, dan bapak itu tersenyum.

Sambil mengajak Zahra mengobrol, kulihat tangannya mengurut jari kaki kanan anakku yang terkilir dengan minyak yang ia bawa. Sepertinya ia tidak ingin Zahra terlalu merasa kesakitan saat diurut. Memang benar, kulihat anakku tidak rewel meski kadang ia terlihat mengernyit dan mengaduh.


“Betul-betul anak pintar, pasti cepat naik ke kelas nol besar ini,” bapak itu memuji anakku, ketika Zahra mengaduh kesakitan.

Setelah diurut, Zahra sudah bisa berdiri tegak. Tadinya ia tak bisa berdiri dengan alasan jari kakinya sakit jika menyentuh lantai. Ia juga bisa berjalan dengan pelan.
“Dua kali urut lagi, kamu akan bisa berjalan seperti biasa. Tapi, ingat ya, jangan suka lari-lari, karena…..” sengaja ia menggantung kalimatnya.
“Karena bisa jatuh lagi dan kakinya sakit,” Zahra menjawab cepat dan kami tersenyum melihat polahnya.



Mas Jefri pulang, ia tampak merisaukan kondisi Zahra. “Bagaimana Zahra? sudah dibawa ke rumah sakit trus apa kata dokter?” ia memborong pertanyaan, ketika aku menyambutnya sepulang dari kantor.


“Cuma terkilir sedikit, tadi sudah diurut dan sudah baikan. Zahra sekarang sudah bisa berjalan lagi. Tadi mas kok tak cepat pulang?” 


“Syukurlah, tadi mas betul-betul tak bisa meninggalkan kantor ada tamu yang tidak bisa ditinggal,” ia bergegas ke kamar Zahra.

Mas Jefri mencium kening anaknya yang sedang tidur. Ia mengusap lembut kaki Zahra yang terkilir. “Sayank, lain kali jangan suka lari-lari ya. Papa tidak mau melihat kamu sakit seperti ini lagi,” kulihat ia berbisik sambil mencium pipi Zahra.

Aku berlalu meninggalkan Mas Jefri yang masih duduk di samping tempat tidur Zahra. Suamiku sangat berlebihanan menyayangi Zahra. Dari dalam kandungan hingga bayi dan sampai sekarang, aku melihat sikap suamiku pada anaknya tidak berubah, malah makin berlebih.


Aku sedang asyik di depan komputer ketika kudengar Zahra merengek-rengek memanggil aku. Mas Jefri datang menggendongnya dan memberikan Zahra kepadaku.

“Mama kok tinggalkan Zahra di kamar sendirian….” Ia merengek di pangkuanku. Kurasakan badannya agak panas.

“Maafkan mama ya, sayank, tadi mama ada kerjaan yang harus diselesaikan. Badan kamu panas, tak enak badan, ya?” aku meraba-raba kening dan badannya. Mas Jefri juga ikutan merasakan panas badan Zahra.



“Kita panggil dokter aja Ma,” Mas Jefri sudah membuka HP-nya sebelum aku mengiyakan.

Dokter Mira datang tak lama kemudian. Ia memeriksa Zahra. “Mungkin panas badan dia karena efek trauma terjatuh tadi siang, tapi ini biasa kok pada anak. Nanti minum obat penurun panas dan banyak istirahat dan moga besok sudah sehat,” jelasnya.

Setelah makan dan minum obat, Zahra tidur. Panasnya sudah turun. Aku lega, karena bisa menyelesaikan mengedit naskah pidato yang akan kusampaikan besok. Sebagai ketua pelaksana aku harus menyampaikan pidato singkat tentang kegiatan besok. 


Malam itu sebelum aku tidur, aku berdoa semoga Zahra besok betul-betul sudah sembuh dan aku bisa tenang mengikuti acara. Namun, apa yang kuharapkan ternyata tidak dikabulkan Tuhan. Panas badan Zahra memang sudah turun, tapi seperti biasa ia masih agak rewel dan minta perhatian dari aku.

“Mama, hari ini tidak kerja kan? Zahra mau main sama mama di rumah,” kalimat yang sangat tidak kuharapkan, ternyata keluar juga dari mulut mungilnya pagi ini.

Aku menatapnya. Aku berusaha menahan gejolak perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa sedih, kesal, kasihan dan sayang melihat buah hatiku yang meminta perhatian dariku. Hari ini adalah hari yang kutunggu, sebagai hasil kerja kerasku bersama tim untuk mengembangkan usaha bank yang mulai dilirik nasabah untuk menabung dan meminjam modal. 


Aku sudah membayangkan, betapa bangga aku ketika melihat acara yang pasti akan berlangsung lancar dan ucapan selamat atas kinerjaku. Tapi, pagi ini saat aku bersiap-siap menghadiri acara yang sangat penting itu, Zahra mengusik perasaanku yang penuh rasa bahagia menjadi kacau.


Aku tidak menjawab, aku cuma menghela nafas panjang dan duduk. Melihatku diam dan tidak meresponnya, anakku kembali bertanya. “Mama…mama kenapa…mama tidak mau temani Zahra di rumah ya? Mama mau kerja ya…mama marah ya sama Zahra,” ia berusaha duduk di pangkuanku.


Aku tak bergeming. Dadaku semakin sesak dan nafasku terasa berat. Aku menurunkannya dari pangkuanku dengan kasar dan berlalu masuk kamar kerjaku. 

Di belakangku Zahra mengejar dengan langkahnya yang terseret-seret karena kakinya masih sakit dan menangis. Aku tidak peduli. Aku harus bersiap-siap. Pagi ini, aku harus datang lebih awal. Aku ingin mengecek segala sesuatunya. Aku ingin segala sesuatunya berjalan dengan sempurna. 


Kudengar suara Mbak Numi membujuknya untuk diam. Tapi tangis anakku malah makin keras. Aku menutup pintu kamar dan bersiap-siap berdandan. 

Mas Jefri yang baru selesai mandi, kaget mendengar tangis Zahra yang sangat keras. “Ada apa dengan Zahra, Ma? Kok tangisnya keras betul?” ia berlari keluar kamar dengan pakaian mandinya, tanpa lebih dahulu mendengar jawabanku.

Aku lega, karena biasanya jika sudah dibujuk papanya, Zahra bisa diam dan aku bisa pergi ke kantor dengan tenang. Tapi, ternyata tidak seperti yang kuharapkan. Tangis anakku tidak juga berhenti. Malah, Mas Jefri memintaku untuk membujuk Zahra.

“Mama..tolonglah, ia hanya mau sama mama. Bujuk dulu dia,” Mas Jefri setengah memohon kepadaku yang sedang merias wajah. 

Belum sempat aku menolak permohonan suamiku, Numi berteriak histeris dan suara tangis Zahra sudah tak terdengar. “Ibu…bapak! Zahra…..tolong pak bu cepat! Aduh…..Zahra...Zahra!” kudengar jeritan kekhawatirannya yang tidak biasanya.


Spontan aku dan Mas Jefri berlari ke luar kamar menuju ruang tengah. Kulihat Zahra terbaring di lantai, badannya bergetar menahan isak tangis yang tersisa. Tapi, ya Tuhan, matanya mendelik dan tubuhnya terasa keras, tegang dan panas. Aku menjerit tertahan dan Mas Jefri yang tidak mau membuang waktu, segera meraih kunci mobil.

“Ayo Ma cepat gendong, kita ke rumah sakit,” Mas Jefri tak mau membuang waktu berlari ke luar mengambil mobil.

Sebelum aku membawa Zahra ke mobil. Numi menyelipkan sendok kecil ke mulut Zahra. “Mungkin dia step, Bu, pakai sendok ini biar lidahnya tidak tergigit.”


Untung masih pagi, jalanan belum ramai. Mas Jefri bisa membawa mobil tanpa gangguan macet. Lima menit kami sampai di rumah sakit. Zahra langsung didorong perawat ke ruang gawat darurat. Aku menangis di ruang tunggu. Mas Jefri juga tak bisa menyembunyikan kehawatirannya dan ia hanya diam dalam pandangan kosongnya. 

Oh Tuhan, aku sangat menyesal. Sikapku yang tidak seperti biasanya pada anakku, telah berakibat fatal baginya. Memang, selama ini aku tidak pernah bersikap sekasar itu pada Zahra. Meski kadang gondok dengan tingkah yang kelewat bawel, aku masih bisa membujuk dan bersikap lembut.


Tapi, tadi aku meski tidak mengeluarkan kata-kata yang kasar. Tapi, sikapku yang tidak mengacuhkannya, tidak mau menyentuhnya hingga ia menangis sambil mengejar aku, telah membuatnya terluka dan menahan perasaan yang dalam. Akibatnya ia kejang-kejang. “Zahra, maafkan mama. Mama janji tidak akan menyakiti kamu lagi,” sesalku dalam tangis.

Setengah jam sudah rasanya Zahra masuk ke dalam ruangan itu, tapi dokter belum juga keluar dan memberitahukan kami kondisi anakku. Aku bolak balik di depan pintu yang tertutup rapat. Air mataku terus meleleh. Sungguh aku sangat mengkhawatirkan Zahra.

Aku tak mau terjadi hal yang buruk pada anakku. Aku tak mau kehilangan Zahra. “Tuhan, tolong anakku. Ampuni aku ya Tuhan. Beri kesempatan aku untuk terus bersama anakku,” bermacam sesal dan doa keluar dari mulutku.

Mas Jefri menuntun aku duduk. Ia memelukku. “Sudah, mama tenang dulu. Kita sama-sama berdoa, anak kita tidak apa-apa,” ia membujukku.

Dalam isakku, wajah Zahra yang lucu dan disenangi setiap orang yang melihatnya hadir di pelupuk mataku. Anakku yang cantik, manis, pintar dan cerdas, selalu menggemaskan siapa saja. Tapi, selama ini aku sebagai ibunya, malah tidak sadar semua karunia Tuhan yang luar biasa itu. Anakku lebih banyak tumbuh bersama Mbak Numi. 


Tapi, anakku beda dengan kebanyakan anak-anak lain yang cenderung dekat kepada pengasuhnya. Anakku masih dekat dan selalu meminta perhatian padaku, tapi malah aku yang hanya punya sedikit waktu untuknya dan lebih mementingkan karirku.

“Permisi, maaf ibu dan bapak orang tua anak yang di dalam tadi ya? Dokter meminta bapak dan ibu ke ruangan beliau,” seorang suster menunjuk ke arah pintu di sebelah ruangan Zahra tadi masuk


“Terima kasih,” kami berdua bergegas masuk ke ruangan yang ia tunjukan. Seorang dokter pria keluar dari pintu, yang ternyata menghubungkan ruangan di mana Zahra dibawa perawat tadi.

Kami menyalaminya dan memperkenalkan diri. “Dok, bagaimana anak saya?” aku tak sabar mengetahui keadaan Zahra.


Aku tidak sabar melihat dokter yang tampak berusaha tenang dan berusaha tetap tersenyum. “Anak ibu sudah baik, kondisinya sudah normal kembali. Ia sekarang tidur dan hanya perlu dirawat beberapa hari,” ia menatap kami berdua. 


“Apa penyakit anak saya dan mengapa ia seperti tadi?” sekarang suamiku yang bertanya.

“Harusnya, saya yang bertanya dulu pada bapak dan ibu. Apa yang terjadi sebelum ia seperti itu?” dokter itu balik bertanya. 


Aku menceritakan kejadian pagi tadi, air mataku kembali mengalir dan aku menangis di pangkuan Mas Jefri setelah ceritaku berakhir.

Dokter itu mengangguk-angguk. “Saya sudah menduga sebelumnya dan ternyata tidak jauh meleset. Anak ibu dan bapak hanya terserang step yang disebabkan panas tinggi. Ini biasa terjadi pada anak-anak saat demam, tapi kondisi anak ibu dan bapak tadi, sedikit agak berbeda karena masalah psikisnya yang terguncang melihat sikap ibu yang tidak biasa kepadanya,” dokter menjelaskan kondisi Zahra dan aku makin tersedu.


Aku tidak mendengarkan lagi penjelasan dokter, karena aku tidak sabar bertemu anakku. 

“Silahkan, ibu dan bapak sudah boleh bertemu dia. Sekarang sudah dibawa ke ruang perawatan,” ia menyalami kami. 


Langkahku terasa panjang menuju ruang perawatan anak yang berada di ujung bangunan. Tak sabar aku membuka pintu kamar yang dicat biru muda itu. Zahra sedang tidur dan wajahnya terlihat pucat, lemah. 

Dengan hati-hati aku mencium pipinya, tangannya dan membelai-belai rambutnya. Panas badannya sudah normal. Aku berusaha menahan tangis namun air mataku tetap meleleh. 


“Sayank, ini mama. Maafkan mama ya. Mama janji tidak akan menyakiti kamu lagi. Mama janji akan menemani kamu di rumah. Mama tidak akan bekerja lagi, mama janji, Sayank,” aku berbisik di telinganya. 


Mas Jefri yang berada di sebelahku, mengusap-ngusap bahuku. “Sudah mama, tak usah merasa bersalah terus. Anak kita sudah baikan, sekarang mama istirahat dulu,” ia membujukku duduk di kursi yang ada di kamar itu. 


Aku merasa tenang ketika Mas Jefri memberiku air putih dingin. Perasaanku sudah normal dan pikiranku sudah jernih. Saat itulah aku teringat dengan acara di kantor yang mungkin sudah selesai.


Aku ambil HP yang sejak tadi tak kusentuh di dalam tasku. Ada sebuah pesan, dari Vita. “ Ibu, gimana kabar Zahra? Semoga udah baikan ya ibu. Selamat ibu, acara kita sukses, tadi ibu dapat salam dan ucapan selamat dari wali kota, beliau juga ikut mendoakan Zahra semoga cepat sembuh,” ada rasa bahagia dan haru menyelip di dadaku. Meski tidak hadir ternyata aku masih mendapatkan perhatian dan penghargaan. 

Memang, sebelum berangkat ke rumah sakit aku masih sempat meminta Mbak Numi menelpon Vita, memberitahukan kondisi Zahra dan aku batal menghadiri acara yang penting itu.


Aku menghela nafas panjang, aku merasa lega dan dadaku terasa lapang. Aku tidak menyesal karena tidak dapat hadir. Karena, dalam hatiku sudah berjanji, sudah cukup waktuku untuk pekerjaan, sekarang waktuku untuk anak dan keluarga.

Zahra sudah keluar dari rumah sakit. Selama itu aku selalu menemaninya. Sebelum memutuskan keluar dan berhenti bekerja aku minta cuti dua minggu. Zahra juga sudah kembali ke sekolah dan aku yang mengantar jemputnya. Waktuku betul-betul kucurahkan untuknya, sebagai penebus waktu yang sangat jarang untuknya selama ini.

****
Hari ini, satu bulan sejak Zahra masuk rumah sakit, aku sudah betul-betul menjadi ibu rumah tangga tulen. Tak ada penyesalan saat harus melepas karir di bank yang kurintis dengan penuh perjuangan dari bawah. Bagiku saat ini adalah, menjadi ibu rumah tangga adalah karir juga. Menjadi seorang istri dan ibu adalah karir yang berharga juga. Tak akan berguna karir cemerlang di luar rumah, jika di dalam rumah suami dan anak terabaikan, begitu aku mencoba berfilsafat.

Zahra tampak sangat bahagia bersamaku setiap hari. Aku pun sungguh bahagia melihat anakku yang tumbuh dengan sehat dan ceria serta makin pintar. Aku sendiri merasa seperti orang yang lahir kembali, karena hidupku begitu tenang dan mengalir apa adanya, tanpa dikejar-kejar waktu seperti biasanya.

Rutinitas rumah tangga, tidak membuatku jenuh dan bosan. Rasa cinta kepada suami dan anakku membuatku nyaman menjadi seorang ibu rumah tangga.


Atas saran dari Mas Jefri yang memintaku mengisi waktu senggang, akhirnya aku membuka toko pakaian dan mainan untuk anak-anak di paviliun samping rumah.


Bisnis seperti itu tidak menyita waktu, karena selain berada di rumah, aku juga masih bisa memberikan perhatian penuh pada Zahra. Pengurusan toko aku percayakan pada dua orang karyawan. Meski masih baru, ternyata tokoku lumayan mendapatkan perhatian dari pengunjung.


Sengaja aku meletakan kuda-kudaan mesin di depan toko, sehingga anak-anak yang ikut bersama orang tuanya bisa bermain, selagi ibu mereka memilih pakaian.

Sekarang, aku kembali bersyukur karena mendapatkan karunia dari Tuhan. Aku hamil lagi dan Zahra akan mendapatkan adik, yang selama ini ia idam-idamkan.


“Mama, mama, adiknya nanti perempuan aja ya kayak Zahra. Biar bisa diajak main boneka-bonekaan,” ia mengusap-ngusap perutku yang masih kempes.


“Iya, Sayank, mudah-mudahan, ya. Kamu rajin berdoa saja, semoga dikabulkan,” jawabku membelai rambutnya yang makin panjang dan lebat. 

Meski keinginan Zahra mendapatkan adik perempuan tidak kesampaian, ia tetap sangat senang mengetahui adiknya laki-laki. “Tidak apa-apa kok, Ma, adiknya laki-laki, nanti kalau sudah besar kan bisa melindungi Zahra,” ia menghibur dirinya sendiri. Aku terharu melihat kecerdasan yang jauh di atas anak seusianya.


Yang paling senang juga adalah Mas Jefri, karena mendapatkan jagoan, katanya. “Wah kalau begitu papa nanti ada teman untuk main bola, donk,” kami tertawa bersama. Dalam hati aku tidak henti-henti bersyukur, memiliki keluarga yang utuh, bahagia bersama suami dan anak-anakku. ***


Posting Komentar untuk "Cerpen :Rumahku, Karirku"