Pengalaman Mempersiapkan Pesta Pernikahan
Ada status teman facebook yang lewat di beranda tentang
kegalauan mempersiapkan pesta pernikahan. Apalagi dia berada jauh di rantau dan
harus berkomunikasi dengan pihak keluarga. Dia tidak ingin konsepnya tentang pesta
yang dia inginkan tidak sesuai. Seperti ini orang punya impian pesta pernikahan yang cukup
tinggi atau diluar kemampuannya…eh J
Saya jadi teringat ketika mempersiapkan pesta pernikahan 12
tahun lalu. Kondisinya sama dengan teman itu, saya berada di rantau sementara
pesta nikah di kampung halaman. Lumayan menguras energi khususnya pikiran juga
saat menyatakan keinginan, kemauan keluarga dan dana. Namun saya lebih
realistis alias tidak egois memaksakan kehendak yang muluk-muluk.
Saya kebetulan menemukan jodoh di Tanjungpinang. Perkenalan
singkat dilanjutkan dengan dikenalkan dengan keluarganya dan kemudian
pertunangan dan lamaran setelah saling mengenal 5 bulan. Lamaran dilakukan
pihak calon suami ke rumah saya di Padang dan sekaligus menentukan bulan
pernikahan yang akan dilaksanakan oleh pihak keluarga saya.
Komunikasi tentang persiapan pernikahan dari keluarga calon
suami ke keluarga saya dilakukan via saya dan selanjutnya saya yang meneruskan
ke keluarga di kampung. Alhamdulillah sebenarnya tidak bertele-tele karena saya
hanya menginginkan konsep pesta yang standard dan tidak terlalu mengkhayal bak
seorang puteri dongeng hahaha.
Proses persiapan pernikahan dari lamaran sekitar tiga bulan.
Diawali dengan menentukan jumlah uang hantaran dari calon suami, karena saat
lamaran itu belum dibahas. Sebenarnya sebelum ditanya tentang jumlah uang
hantaran, ada sedikit miss komunikasi dengan pihak keluarga calon suami.
Kami berasal dari suku yang berbeda, Melayu dan Minang.
Apalagi yang suku Minang yang berada di daerah Pariaman yang menganut adat
pihak wanita yang memberikan uang kepada pihak laki-laki. Semula pihak keluarga
calon suami menganggap adat itu juga berlaku untuk pernikahan kami. Namun
setelah dijelaskan, jika adat itu hanya berlaku jika terjadi antara sesama satu
suku. Jika berbeda suku, adat yang dipakai akan mengikuti adat pihak calon
suami.
Jadi akhirnya pihak calon suami yang memberikan uang
hantaran. Mengenai jumlahnya, saya berembuk via telepon dengan keluarga dan
diputuskan tidak memberatkan calon semua. Setelah ditentukan jumlahnya kemudian
saya sampaikan ke pihak keluarga calon suami dan mereka langsung setuju.
Mungkin dianggap sangat kecil dengan biasa yang diminta orang pada biasanya
hahaha.
Dari jumlah yang sudah disepakati itu, saya membuat
perincian ke keluarga di kampung untuk keperluan apa saja akan digunakan.
Intinya akan digunakan untuk hal yang sangat penting untuk berlangsung pesta
pernikahan yang standart namun tetap sakral.
Berikut uraiannya :
·
Untuk membayar mak andam atau tukang rias berikut pelaminannya.
Kebetulan mak andam ini dekat rumah dan
punya pelaminan yang baru berikut pakaian pengantinnya. Plusnya lagi ia juga
mempunyai sewa tenda, meja tamu sekaligus mengurus urusan listik karena dia
punya mesin genset. Sehingga kami tidak perlu repot memikirkan sewa genset.
Kenapa diperlukan genset ? sebab acara
pesta kami siang dan malam. Yang mana acara malam untuk para undangan laki-laki
dan acara siang untuk undangan perempuan serta undangan yang jauh dari luar
kota. Begitulah uniknya acara pesta di tempat saya, ada pembedaan hari
menghadiri undangan untuk laki-laki dan perempuan.
·
Untuk membayar sewa grup organ tunggal yang akan
menghibur tamu pada siang dan malam hari.
Sementara biaya lain-lain, seperti membeli kebutuhan untuk
memasak, seperti beras, daging sapi, ikan, telur, bumbu dapur, cetak undangan dll
ditanggung pihak keluarga saya. Begitu juga dengan kebutuhan kecil lainnya.
Intinya keluarga kami juga mengeluarkan biaya dan begitu juga saya yang
menanggung biaya tiket pesawat untuk pulang kampung.
Alhamdulillah, dengan komunikasi yang baik dengan kedua
belah pihak, saling terbuka dan tidak ada keegoisan saya menginginkan sesuatu
di luar kemampuan calon suami dan keluarga sendiri, semua berjalan lancar.
Dukungan dari keluarga besar yang membantu persiapan hingga selama acara dan
selesai acara juga sangat berperan.
Semua itu bisa berjalan dengan baik karena saya
mengembalikan ke hakikat sebuah pernikahan, yang intinya adalah sah
secara agama dan hukum, serta niat yang tulus untuk membina keluarga baru yang
rukun dan bahagia hingga akhir hayat.
Hidup itu sederhana, namun yang bikin ribet adalah gengsi,
gaya hidup dan sibuk dengan ketakutan penilaian orang lain pada kita. Padahal
yang akan menjalani adalah kita bukan mereka yang hanya bisa berkomentar.
Semoga sharing ini bisa membantu Anda yang galau dalam
merencanakan pernikahan. Semoga yang belum ketemu jodoh bisa segera dapat jodoh
dan masih maju mundur cantik bisa lebih mantap untuk menikah. Aamiin.
Bener mbak, nikah jangan dibuat ribet menurut saya, yang penting tuh setelah pesta pernikahan, bukan pestanya itu
BalasHapusSebenarnya kebutuhan persiapan menikah itu bergantung kemampuan orang-orang ya un, meskipun saya belum menikah hehe. Ada yg sederhana tp kidmad ato sebaliknya. Sedangkan uang hantaran itu pada masa sekarang sptny bsa di nego agar engga memberatkan pernikahan, apalagi dirantau.
BalasHapusAduh uni beneran deh, nikah itu sebenernya ga perlu ikutin gengsi.
BalasHapusYang penting sakral dan berbekas di hati harusnya cukup yah.
Uwww jadi pengen nikah
*brb cari calon* :))
Wah pengalaman yang menarik ya... Sangat bermanfaat
BalasHapusMaunya sih gak ribet tapi kadang keluarga gak nerima katanya ikut adat, ikut ini ikut itu
BalasHapus