Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Suatu Hari Bersama Bocah Penjual Koran

Bocah kecil itu bertelanjang kaki dan pakaian lusuhnya memeluk setumpuk koran di pangkuannya. Mata itu penuh harap menghampiri saya. "Bu, beli korannya lah," tuturnya pada saya yang baru keluar dari kantor.


Saya tersenyum kepadanya. Membalas harapan di mata lugu itu. " Ibu tidak mau beli korannya, ibu hanya mau beri uang saja untuk awak," ujar saya kepadanya, sambil menyerahkan uang.Ia menerima dengan wajah sumringah. Kebahagiaan dia melebihi rasa bahagia saya ketika melihat wajah gembira itu.


Saya yang sejak tadi penasaran dengan kaki telanjang itu,pun bertanya mengapa ia tidak memakai sandal. "Sandal saya sering dicuri kawan bu kalau sedang sholat di surau," keluhnya.

Saya tersentak. Ada panas di mata ini namun saya tak mengeluarkannya. Dalam kondisi dia seperti itu masih juga ada yang tega menjahilinya.Melihat wajah polos bocah itu, saya teringat adik saya di kampung. Adik-adik saya yang masih beruntung tidak harus turun ke jalan untuk membantu orang tua mencari nafkah, meski hidup keluarga di kampung sederhana.Karena saya sebagai kakak masih bisa mencukupi kebutuhan mereka.

"Ayo ikut bu, kita beli sandal," ajak saya.

Ia pun naik ke boncengan motor saya. Kami menuju toko yang menjual sandal, sepatu dan tas tak jauh dari kantor saya. Di sana saya memilihkan sandal untuknya. Kemudian saya ingat apakah ia sudah punya sepatu baru dan tas untuk tahun ajaran baru.Ia mengaku belum.saya pun berinisiatif membelikan sepasang sepatu dan tas untuk ia sekolah nanti.

Binar-binar bahagia di matanya itu yang membuat saya makin sesak. Betapa uang yang tidak terlalu besar saya keluarkan sangat berharga untuknya. Padahal saya sering mengeluarkan uang sebesar itu bahkan lebih kadang hanya untuk makan di luar rumah.

Bocah penjual koran itu mengaku anak pertama dari enam bersaudara. Ibunya hanya buruh cuci dan bapaknya nelayan. Ia harus membantu orang tuanya mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari. Tiap hari ia harus berjalan kaki menuju tempat ia mengambil koran. Sebuah cerita yang membuat saya hanya bisa menahan air mata.

Dua minggu kemudian saya kembali bertemu dengannya. Saya tanya bagaimana sekolahnya. Ternyata jawabannya sangat mengejutkan saya. " Saya tak sekolah lagi bu. Kata mak saya jualan koran saya," ujarnya lugu.

Saya meminta dia tetap sekolah meski harus tetap jualan koran siang atau sore hari. " Ya juga bu. nanti pulang sekolah saya bisa jualan lagi," ujarnya girang.

Saya bahkan "mengancam" akan mendatangi sekolahnya untuk membuktikan ia benar-benar sudah masuk sekolah lagi nantinya. Bahkan saya bersedia kalau ia membutuhkan sesuatu untuk keperluan sekolah bisa meminta kepada saya.

Hingga hari ini saya belum melihat dia lagi. Saya mau memastikan apakah dia sudah benar-benar kembali sekolah meski harus tetap berjualan.Tapi mudah-mudahan dia benar-benar sudah kembali sekolah.

Ada yang bilang, apa urusan saya mengurus anak orang. Tapi biarlah, apa yang saya lakukan minimal telah berusaha menyelamatkan satu generasi bangsa. Kalau ia tidak sekolah, bagaimana masa depannya nanti. Apakah ia harus sampai tua hidup di jalanan ?
Siapa lagi yang harus peduli dengan bocah-bocah seperti itu ? Kalau kita mampu, mengapa harus menunggu untuk mengulurkan tangan.


Posting Komentar untuk "Suatu Hari Bersama Bocah Penjual Koran"