Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Giveaway : Sebuah Cerita dari Perpustakaan Mini Tasya

cover buku kumpulan dongeng anak Hastira Soekardi

Waktu saya kecil almarhum kakek  suka mendongeng untuk saya dan sepupu. Biasanya setelah Isya, kami duduk di ruang tamu dan menunggu kakek bercerita. Macam-macam ceritanya, tapi yang masih saya ingat adalah tentang kancil dan buaya, raksasa, abu nawas dan lebai surau.

Meski kadang cerita itu diulang-ulang saya tak pernah bosan. Kadang saya mengkhayal jika saya adalah salah satu tokoh di dalam cerita kakek. Pengaruh positif dari rutinitas mendengarkan dongeng itu bagi saya adalah selalu haus akan cerita. Jadi waktu mulai masuk SD, saya sangat antusias agar bisa cepat bisa membaca. 

penulis buku dan sastrawan kota tanjungpinang dan kepri ruziana
Akhirnya saya bisa punya buku karangan sendiri
Alhamdulillah, saya bisa membaca cepat dengan lancar dan saya benar-benar haus membaca khususnya tentang cerita anak dan dongeng. Tapi, yang namanya di tahun 80-an, dengan kondisi orang tua yang sederhana, membeli buku cerita adalah barang yang mahal. Sementara buku-buku cerita di perpustakaan bisa dikatakan tidak ada, karena perpustakaan sekolah saya sendiri kurang terurus. Koleksi buku di sana sebahagian besar hanya buku-buku paket bantuan pemerintah.

Tapi, saya tidak kehabisan akal. Teman-teman yang lebih mampu dan bisa membeli buku cerita dan majalah anak-anak saya dekati. Akhirnya saya bisa nebeng membaca bahkan meminjam dan membawa pulang majalahnya. Rasanya luar biasa karena bisa membaca sebuah majalah anak-anak di rumah dengan bebas.

Tidak hanya itu, bertepatan dengan hari pekan atau pasar ada penjual majalah koran bekas, majalah dewasa dan anak-anak yang singgah di sekolah. Biasanya pada jam istirahat pertama ia akan menggelar lapak dan anak-anak mengerubutinya. Ada yang sekedar melihat-lihat, membolak-balik halaman dan ada juga yang membeli. Saya termasuk anak yang hanya membolak-balik karena uang jajan tidak cukup untuk membeli selembar majalah bekas anak-anak :( #ngelapairmata

Setelah jam istirahat usai, bapak penjual majalah bekas itu akan pergi ke pasar yang tidak jauh dari sekolah saya. Nah, biasanya usai pulang sekolah saya akan kembali mampir ke lapaknya yang digelar di pinggiran toko. Saya akan pura-pura melihat-lihat, membolak-balik dan kemudian mencari posisi yang nyaman dan mulai membaca salah satu majalah itu.

Kadang si bapak karena sibuk melayan pembeli tidak menghiraukan saya yang asyik membaca cerita di majalah anak itu. Tapi, kadang ia mengomeli saya "kamu beli donk majalahnya jangan numpang baca terus ". Sedih mendengar ucapannya itu, apalagi kalau ada orang lain yang iseng menimpali. 

penulis buku dan sastrawan wanita kota tanjungpinang dan kepri ruziana
Foto bersama dengan perwakilan dari Pemko Tanjungpinang dan undangan
Jika ada rezeki misalnya ada keluarga lain yang memberi uang, langsung saya simpan dan menunggu hari pasar agar bisa membeli majalah bekas seharga Rp 100 - Rp 150 itu. Ya harganya memang bervariasi tergantung tahun majalah itu dan kondisinya. Biasanya saya memilih yang murah karena bagi saya yang penting bisa membaca, apalagi cerita dan dongeng di majalah itu.

Selain itu tiap hari minggu, saya akan numpang ke rumah tetangga untuk membaca khususnya cerita anak di halaman sastra dan budaya di sebuah koran mingguan lokal. Pokoknya supaya bisa membaca khususnya yang berbau cerita, saya akan melakukan apapun tentunya yang tidak merugikan orang lain.

Susahnya mendapatkan buku bacaan membuat saya bercita-cita suatu saat nanti bisa menulis buku dan memberikannya untuk anak-anak khususnya tidak mampu. Cita-cita itu saya pendam sendiri, karena saya pun merasa ragu apakah bisa sebab waktu itu untuk membeli majalah baru saja saya tidak mampu. 

Tapi kebiasaan mendengar cerita dan membaca memberi efek besar bagi saya. Tanpa proses yang saya sadari saya akhirnya bisa menulis cerita, seperti saat tugas mengarang oleh guru dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Nilai mengarang saya selalu bagus, rata-rata mendapatkan angka 8. 

Hingga akhirnya saya SMA, saya pelajaran Bahasa Indonesia merupakan salah satu pelajaran favorit saya karena melalui pelajaran itu saya bisa menyalurkan hobi mengarang cerita.

Tamat SMA saya melanjutkan pendidikan di sebuah lembaga pers di Kota Padang. Maunya saya kuliah di bidang studi jurnalistik dan sejenisnya sesuai cita-cita menjadi wartawan dan penulis, tapi ketidakmampuan ekonomi orang tua membuat saya lebih memilih pendidikan terpadu satu tahun.

Lembaga pendidikan itu dimiliki oleh seseorang yang juga mempunyai koran mingguan. Jadi tempat saya belajar satu gedung dengan kantor koran itu sekaligus menjadi patner tempat magang kami nantinya. Saya sangat bersyukur dan berharap bisa menulis untuk koran itu.

Akhirnya setelah tiga bulan masa studi tentang teori, kami pun masuk ke praktek. Salah satunya menulis untuk media massa, seperti koran. Kami yang waktu itu satu kelas hanya berjumlah 8 orang mendapatkan kesempatan menulis di koran mingguan patner lembaga pendidikan tersebut.

Koran mingguan itu seperti halnya koran mingguan lain punya halaman sastra dan halaman khusus untuk anak. Di halaman khusus untuk ada cerita anak, profil anak, profil sekolah taman kanak-kanak, humor dan kuis.

Saya yang biasanya hanya menulis berita dan artikel, suatu hari ditawari untuk mengisi halaman anak oleh penanggungjawab halaman tersebut. Saya sempat menolak, karena saya merasa tidak bisa khususnya menulis cerita anak. Apalagi waktu itu saya lebih fokus mendalami menulis berita dan artikel. 

Tapi, Pak Trikora yang sekaligus redaktur halaman itu "memaksa" saya. Menurutnya sangat rugi jika peluang yang ada dibiarkan begitu saja. "Daripada honor menulis di halaman ini untuk orang luar, kan bagus untuk kalian di sini. Ayo tulis cerita anak yang honornya lumayan," ujarnya. 

Mendengar kata honor yang lumayan saya pun langsung tertarik, karena waktu itu saya butuh biaya untuk tambahan selama belajar, seperti membeli disket, memprint dll. Jadilah saya mendapatkan tugas harus bisa menyelesaikan satu cerita anak untuk dimuat di koran minggu depannya.

Saya berpikir keras tema apa yang akan saya tulis. Mau menulis cerita tentang si kancil, raksasa atau lebai surau yang biasa diceritakan almarhum kakek saya dulu sangat tidak mungkin. Basi dan semua orang pasti sudah sering mendengarnya.

Akhirnya saya mencoba menggali ide dari pengalaman saya sendiri sewaktu kecil yang hobi mengarang, tapi tidak pernah mengirimkannya ke majalah anak-anak karena tidak percaya diri, sekaligus tidak punya mesin tik untuk mengetik rapi. 

Cerita anak perdana saya berjudul Karangan yang Membuahkan Hasil. Ceritanya tentang seorang anak yang kesulitan membayar uang sekolah karena ketidakmampuan orang tuanya. Dalam kesedihannya terus didesak oleh guru, ia menemukan sejumlah lembaran kertas yang berisi karangannya yang disimpan diantara tumpukan buku.

Karangannya itu kemudian dikirim ke sebuah majalah anak-anak, ternyata dimuat dan ia mendapatkan honor sehingga bisa membayar uang sekolah. Saat cerita itu saya serahkan ke Pak Trikora, ia memujinya namun perlu penghalusan bahasa di sejumlah tempat. 

perempuan penulis kota tanjungpinang dan kepri
Saya pun punya penggemar :) 
Akhirnya tulisan cerita anak perdana dimuat di koran dan saya menerima honor Rp 25 ribu. Ya, uang sebesar itu sangat besar bagi saya apalagi di tahun 2000an. Honornya tidak langsung diterima tunai namun dikumpulkan dan baru dibayar setelah awal bulan. Pak Tri kembali memotivasi saya agar terus menulis cerita anak dan kolom lainnya seperti profil taman kanak-kanak karena honornya Rp 10 ribu. Sedangkan humor anak honornya Rp 5 ribu.

Jadilah saya tiap bulan kejar setoran untuk bisa mengumpulkan honor tambahan selain dari artikel dan berita saya.Namun saya tetap bersaing dengan teman-teman lain yang juga diberi kesempatan sama oleh Pak Trikora, begitu juga dengan penulis dari luar yang mengirimkan karya mereka. Cerita anak yang saya tulis temanya masih terinspirasi dari masa kecil saya.

Ada cerita berjudul Ketika Kakak Sakit, yang menceritakan seorang adik yang pemalas dan tidak pernah membantu kakak melakukan pekerjaan rumah. Ketika si kakak sakit, ia baru menyadari betapa kakaknya itu tidak bisa membantu ibu sendiri melakukan pekerjaan rumah dan akhirnya ia turut membantu ibu.

Kemudian ada cerita berjudul Perpustakaan Mini Tasya, yang menceritakan tentang seorang anak yang kebingungan dengan koleksi majalah dan buku cerita bekasnya. Akhirnya ia membuat perpustakaan mini dan mengratiskan anak-anak tetangga yang tidak mampu untuk membaca.

Sementara cerita anak berjudul Baju Lebaran Pemberian Ibu, menceritakan tentang seorang anak yang mendesak ibunya untuk membeli baju lebaran. Sementara ibunya tidak punya uang dan ia pun merajuk dan kabur dari rumah. Saat kabur hendak ke rumah neneknya itu di tengah jalan ia melihat seorang anak yang mengemis untuk makan. Saat itulah ia sadar jika ia lebih beruntung daripada anak itu, karena tidak perlu mengemis untuk mencari makan sebab sudah disediakan oleh ibunya meski lauk pauknya sederhana. Akhirnya ia pun pulang dan minta maaf pada sang ibu.

Cerita anak lainnya berjudul Maafkan Ita, Bu, Petasan yang Membawa Hikmah serta Cici dan Rosa. Sedangkan judul lainnya saya lupa. Ketujuh cerita anak di atas bisa saya ceritakan di sini karena saya masih sempat menyimpan kliping korannya. 

Saya berhenti menulis cerita anak ketika bekerja sebagai wartawan di koran harian di Padang. Kesibukan saya sebagai wartawati koran harian membuat saya tidak punya waktu untuk menulis cerita anak, karena pergi pagi dan pulang malam.

Ketika saya pindah kerja ke Kota Tanjungpinang, tempat saya berdomisili sekarang semua kliping cerita anak itu turut saya bawa. Kota ini dipimpin oleh seorang walikota perempuan yang juga hobi menulis khususnya puisi dan peduli kepada sastrawan dan penulis. Ia mendukung para penulis untuk menerbitkan buku melalui bantuan biaya percetakan oleh pemerintah daerah.

Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Apalagi ketika saya menawarkan proposal buku kumpulan cerita anak yang bisa dikatakan belum dilirik penulis lokal. Alhamdulillah, kumpulan cerita anak yang saya tulis waktu di Padang saya bukukan menjadi kumpulan cerita anak.

Desember 2008 Buku Kumpulan Cerita Anak " Perpustakaan Mini Tasya" terbit dan dicetak perdana 500 eksemplar. Di dalamnya terdapat tujuh cerita sesuai jumlah kliping yang saya simpan. Sengaja saya tidak menambah karena tidak ingin bukunya terlalu tebal dan khawatir membuat anak-anak yang membaca cepat bosan.

Untuk lebih menarik anak-anak membaca, saya juga menambahkan di setiap judul dua sampai tiga ilustrasi di setiap cerita, yang dibuat oleh seorang teman. Alhamdulillah buku kumpulan cerita anak saya tampak lebih berbobot dan menarik pembacanya. Ada haru yang luar biasa ketika buku itu diluncurkan dalam sebuah acara sederhana dan itu "nebeng" di acara sebuah organisasi wanita yang kebetulan saya juga anggotanya.

Sekarang, mengajarkan Fitry menyukai cerita dan dongeng
Saya tidak bisa menahan air mata ketika menyampaikan sambutan singkat sejarah buku itu terbit. Ya, sesuai pengantar dalam buku dan komitment saya, buku itu saya dedikasikan untuk anak-anak khususnya yang hobi membaca dan kesulitan mendapatkan buku seperti pengalaman saya waktu kecil.Impian saya untuk bisa membuat sebuah buku dan memberikan secara cuma-cuma kepada anak-anak, supaya bisa mendapatkan buku cerita dengan mudah, meningkatkan minat baca dan memotivasi anak untuk belajar menulis cerita, akhirnya terwujud.

Terimakasih tidak terhingga untuk Ibu Dra. Hj.Suryatati A.Manan yang menjabat walikota saat itu, yang memberikan kemudahan kepada saya untuk membuat sebuah buku, sehingga cita-cita saya terwujud. Terimakasih juga untuk Pak Trikora, karena berkat "paksaan" beliau saya bisa tertarik menulis cerita anak.

Buku tersebut saya sumbangkan  ke sejumlah sekolah, panti asuhan, perpustakaan daerah, organisasi wanita dan anak-anak tetangga di lingkungan rumah saya. Semuanya gratis karena memang saya tidak berhak menjualnya sebab biaya percetakan buku itu sendiri dibantu oleh pemerintah kota. 

Respon anak-anak yang membaca sangat bagus. Apalagi dari guru dan orang tua yang menilai isi ceritanya sangat dekat dengan kehidupan anak dan sarat dengan moral dan pendidikan karakter anak.

Kini buku Perpustakaan Mini Tasya menjadi salah satu bahan bacaan untuk anak semata wayang saya, Fitry, 2,7 tahun menjelang tidur. Meski ia belum serius mendengarkan apa yang saya bacakan, tapi saya tetap berusaha mengajarkan dia untuk bisa menyukai cerita, kemudian haus membaca dan bisa menulis, seperti proses yang saya alami dulu.

Sebenarnya saya masih ingin menghasilkan buku anak yang kedua. Namun sampai sekarang belum terwujud karena kesibukan kerja,berorganisasi dan mengurus rumah. Semoga dengan kehadiran anak saya bisa menjadi inspirasi saya untuk kembali menulis cerita anak dan membukukannya kembali. Apalagi ditambah dengan ibu-ibu dengan sejumlah prestasi di berbagai lomba dan sudah menghasilkan buku cerita anak sangat menginspirasi saya.***

Tulisan ini diikutsertakan dalam

















Posting Komentar untuk "Giveaway : Sebuah Cerita dari Perpustakaan Mini Tasya"