Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen : I Miss U Baby



Memang benar apa yang dikatakan banyak orang, kehadiran anak meski masih dalam kandungan akan membawa kebahagiaan dan suasana yang baru dalam keluarga. Apalagi bagi pasangan yang baru menikah. Hal ini aku alami sendiri, yang mana suamiku yang awalnya jauh banget dari romantis, berubah 180 derajat bahkan terkesan norak saat mengetahui aku dinyatakan hamil.

Aku dan suamiku baru menikah satu tahun. Saat menikah aku berusia 25 tahun. Kata nenekku sedang ranum-ranumnya. Sementara suamiku udah matang dan nyaris gosong, maklum sudah 35 tahun.

Tapi meskipun beda 10 tahun, aku tidak merasa malu, malah senang karena yakin bisa menyeimbangi suamiku. Seorang psikolog pernah mengatakan, karena banyak beban pikiran, istri jauh cepat lebih tua dari suami. Jadi aku beruntung dong karena aku tidak akan tampak lebih tua dari usiaku sebenarnya.

Bulan-bulan pertama, aku masih tidak terlalu mengharapkan kehamilan. Masih ingin berpuas-puas dulu dengan suamiku tercinta. Tapi hingga bulan ke enam aku belum menunjukan tanda-tanda kehamilan. 


Padahal dari ibuku, mertuaku, tanteku, tetanggaku dan teman-temanku pada sibuk menanyakan isi perutku. “Gimana perutnya, sudah ada isi?” begitu rata-rata pertanyaan mereka.
Awalnya aku menanggapi ringan saja dengan candaan. Tapi lama kelamaan pertanyaan itu membuatku jenuh dan kadang kesal. “Gak bosan apa nanya terus, aku aja sabar kok malah mereka yang sibuk,” gerutuku suatu hari pada suami. 


Seperti biasa suamiku hanya mendegus kecil dan tidak berkomentar. Ia asyik mengisap rokok dan berselonjor menonton TV. Melihat sikap suamiku, aku makin kesal. 


“Komentar dong, Bang. Jangan diam terus kaya patung,” sungutku.
“Emang abang mau bilang apa, Dek,” jawaban diplomatis yang biasa aku dengar keluar juga dari mulut suamiku. 


“Dasar suami tak romantis, payah!” Aku menggerutu sambil berlalu ke kamar.


Suamiku memang bukan tipe laki-laki romantis, baik dari kata-kata maun sikapnya. Padahal aku mengharapkan ia akan menenangkan hatiku dengan kata-kata romantis sambil membelai-belai rambutku di pangkuannya.


Waktu masih berpacaran aku masih bisa memahami jika Bang Aldo tidak mau menunjukan sikap romantisnya. Selain merasa bukan lagi anak baru gede (ABG), ia juga beralasan masalah norma dan agama.


“Tak usah terlalu romantis, tak usah pakai pegang-pegang segala, belum muhrim,” alasannya ketika aku memeluk pinggangnya saat berjalan-jalan di tepi pantai sore itu.


Waktu itu aku bisa memahami sikapnya dan yakin jika sudah berumah tangga, Bang Aldo akan berubah karena kami sudah sah mendapat predikat suami-istri. Tapi semua romantisme yang kubayangkan saat masih berpacaran ternyata tidak juga kudapatkan saat kami telah menikah.


Standar romantisnya kurasakan biasa-biasa saja. Padahal aku berharap ia akan seperti di dalam sinetron televisi, begitu indah dan menghanyutkan. Praktis, hanya aku yang memulai sikap romantis. Tapi, sikap Bang Aldo yang tidak mengimbangiku, semua itu kadang hanya menjadi kekanak-kanakan.


“Sayank, tidur yuk. Udah ngantuk nih,” ajakku saat itu kami baru dua minggu menikah.
“Apa dek, sayank?” tanya dia sambil tertawa
“Emangnya tidak boleh dipanggil sayank,” protesku kesal.


“Tak usahlah, abang malu dipanggil seperti itu, yang ying yung kali,” ujarnya tertawa. Aku cemberut mendengarnya. 


Aku akui, suamiku memang bukan pria romantis yang sering memberiku kejutan bunga mawar, cokelat atau makan malam yang hanya diterangi cahaya lilin. Tapi dia adalah pria yang lembut. Sifatnya inilah yang membuatku bisa menerima kekurangannya sebagai pria bertipe tidak romantis.
Meski tidak pernah memakai panggilan mesra kepadaku, tapi ia memanggil dengan lembut. Bagiku itu sudah cukup mengobati keinginanku untuk beromantis ria setiap hari sebagai pasangan yang baru menikah.


Selain itu ia juga punya perhatian besar. Meski tidak menunjukan secara langsung, tapi aku menyadari perhatian suamiku sangat besar. Tapi itulah kurangnya, ia tak imbangi dengan sikap romantis.


“Setiap orang pasti ada kelebihan dan kekurangannya, tak ada yang sempurna. Nyatanya meski suamimu tidak romantis, tapi dia lembut dan perhatian kan,” komentar Riza, sahabatku saat aku curhat kepadanya.


“Ia, tapi aku tuh pengen seperti kamu dengan David. Mesra dan romantis, seperti di sinetron,” protesku.


“Tapi kamu juga tidak tahu kan kekurangan dia. Udah deh, kamu bersyukur saja dengan apa yang kamu jalani sekarang. Mana tahu pada momen-momen tertentu dia ternyata bisa jadi romantis,” hibur Riza.


Tapi, suatu hari di bulan ke delapan pernikahan kami, tepat di hari ulang tahunku yang ke 26, aku begitu berharap kejutan romantis dari suamiku. Sayang, itu tak kudapatkan. Maka hari itu aku mengamuk dan menangis sejadi-jadinya.


“Inikan hari istimewaku, tak mungkin donk suamiku tidak akan romantis,” begitu aku membantin. Aku sebelumnya teramat yakin jika suamiku akan memberikan kejutan romantis pada ulang tahunku.


Dari pagi hingga sore pulang kerja, ia tidak menunjukan sikap akan memberiku kejutan hadiah ulang tahun. Begitu juga malam harinya hingga menjelang tidur. Semula aku berpikir ia akan membawakan kado ulang tahun saat aku sudah tertidur, dan memberi sesuatu yang manis yang tidak akan aku lupakan seumur hidup.


Tapi yang terjadi adalah, ia ikutan tidur tanpa beban. Rasa gondok yang kutahan dari tadi akhirnya kulepaskan dengan tangisan. Suamiku terjaga mendengar tangisku. “Ada apa, Dek?” tanyanya kaget.
“Aku benci!” teriakku dalam tangis
“Stttt…ini tengah malam. Ada apa.. ?” 


“Abang jahat, kejam….!!! Hari ini kan ulang tahunku. Masa tidak ada kejutan dan kado. Dasar suami tidak romantis!” aku menangis sejadi-jadinya.


Suamiku hanya diam. Aku masih larut dalam tangis dan kesal yang begitu memuncak.


“Maafkan abang ya, Dek. Sumpah abang tidak ingat. Maklum sudah mulai tua. Ulang tahun abang sendiri abang tidak ingat. Maafkan abang ya,” ia memelukku dan memberikan kecupan di keningku sambil mengucapkan selamat ulang tahun.


“Selamat ulang tahun adek abang, semoga cepat dapat momongan kita, ya,” ujarnya lembut.
Malam itu aku begitu menikmati kelembutan suamiku. Kubiarkan ia membujukku yang masih terisak kecil. ”Lumayan, daripada ulang tahunku berlalu tanpa kesan,” pikirku geli dalam hati.


“Abang, kenapa sih tidak pernah berusaha untuk romantis dengan adek. Cobalah abang sekali-kali beri adek kejutan, pokoknya yang membuat adek tersanjung,” protesku ketika perasaanku sudah normal.


Suamiku menatapku dan ia tersenyum. Manis dan aku begitu menyukai senyum di balik kumis tipisnya itu. “Sumpah Dek, abang ini tipe orang pemalu, tidak pandai romantis-romantisan. Tapi bukan berarti abang tidak sayang dengan adek. Rasa sayang kan tidak harus dengan ucapan mesra atau sikap romantis, tapi adalah perhatian dan tanggungjawab abang sebagai suami,” tuturnya lugu, dan itu membuatku tersenyum.


“Adek tahu, abang itu orangnya baik dan lembut. Tapi, please deh, sekali-kali gitu lho buat adek tersanjung dengan kejutan,” balasku.


“Ya deh, kalau abang ingat,” jawabnya sambil membaringkan tubuh dan memejamkan mata. Tinggal aku yang terbengong-bengong melihatnya langsung tertidur hanya dalam beberapa menit.


Sejak saat itu, suamiku sedikit berubah dan itu kadarnya tidak banyak alias bisa dikatakan hanya seujung kuku. Misalnya jika aku panggil sayank, ia tidak protes. Begitu juga kalau sedang menonton aku membaringkan kepala di pahanya, ia akan membiarkannya meski beberapa menit kemudian akan memindahkan kepalaku ke bantal dengan alasan pahanya penat.


Begitu juga jika kami santai di luar, dia juga akan membiarkan tanganku melingkar di pinggangnya dan sekali-kali aku menyandarkan kepala ke bahunya. Tapi itu juga hanya sebentar. “Kasihan anak-anak remaja, Dek. Ntar mereka melihat kita jadi niru juga, kan tidak baik,” alasannya. Aku hanya bisa mendengus kesal.


Sekarang sudah memasuki masa setahun perkawinan kami. Bulan depan berarti adalah ulang tahun pertama perkawinan kami. Aku tidak mau berharap muluk-muluk akan mendapatkan kejutan dari suamiku. Daripada kesal, lebih baik tak berharap, begitu aku berprinsip.


Pagi itu aku merasa lemas. Badanku tidak enak. Ada rasa mual yang semula tidak pernah aku rasakan. “Jangan-jangan aku hamil,” begitu aku membatin.


Tapi mengingat penyakit maag yang aku derita, harapan itu lenyap. Karena beberapa kali aku juga pernah mengalami hal serupa dan ternyata hanya penyakit maagku kambuh.


Namun, aku masih penasaran. Karena sudah dua minggu aku telat datang bulan. Kucoba menguji air seniku dengan alat tes kehamilan yang tersedia banyak di lemariku. Ternyata hasilnya negatif dan kembali aku harus kecewa.


Saat hendak keluar dari kamar mandi, aku merasakan kembali rasa mual dan aku muntah. Badanku terasa sangat lemas ketika isi perutku terkuras habis. Suamiku yang bersiap berangkat kerja mengajak ke dokter.


“Ada apa, Dek? Maagnya kambuh atau…” ia tersenyum penuh arti kepadaku.


“Tak tahu, Bang. Tadi baru dites hasilnya negatif,” jawabanku mengubah senyum suamiku jadi raut muka kecewa.


Tapi ia tetap memaksaku ke dokter. “Abang akan minta ijin ke kantor dan sekalian abang minta ijinkan adek. Kita ke dokter saja yang penting ada diobati dulu,” paksanya.


Akhirnya aku mengalah karena badanku semakin lemas. Dokter yang memeriksaku tersenyum usai memeriksa rahimku. Aku penasaran dan sudah tak sabar ingin tahu. “Dok, bagaimana, Apa saya hamil?” kejarku, tak sabar.


“Sabar ibu, nanti saja saya sampaikan biar sekalian suami ibu mendengarkannya,” jawabnya dan menuju ke meja kerja.


Di depan meja dokter, kulihat wajah suamiku yang penuh harap. Ia memberi isyarat kepadaku tentang hasil pemeriksaan tadi. Aku hanya mengangkat bahu, karena memamg aku belum tahu apa hasilnya.


“Duduk dulu ibu, sebentar ya,” dokter paruh baya itu seperti mengerti keingintahuan kami.


“Hmmm…dari hasil pemeriksaan saya tadi…” ia diam sejenak sambil menulis sesuatu.


Aku makin penasaran dan begitu juga suamiku. “Apa hasilnya, Dok,” suamiku tak sabar.


“Dari hasil pemeriksaan saya, ibu positif hamil lima minggu. Selamat ya,” ujarnya tersenyum sambil mengulurkan tangannya.


Aku menyambut uluran tanganku dengan perasaan yang sangat bahagia. “Terima kasih, Dok. 


Alhamdulillah saya sangat bahagia,” ujarku sambil menggenggam erat tangan dokter itu.
Dokter itu juga menyalami suamiku. “Selamat, Anda sudah menjadi ayah,” ungkapnya.


“Eh…ia..oh..terima kasih, Dok,” jawab suamiku, gugup.


“Ada apa, Pak. Nervous, ya? Biasa itu, Pak. Banyak pria yang baru menjadi ayah mengalami hal seperti ini,” kata sang dokter.


“Benar saya akan menjadi ayah ya, Dok?” suamiku bertanya seperti tidak percaya.
Dokter itu mengangguk mantap sambil menyerahkan hasil USG yang tadi aku lakukan.


“Oh yes. Aku sangat bahagia hari ini. I miss U baby, muach muach,” suamiku mencium perutku dan itu membuatku sangat kaget.


“Bang..bang…hei udahan, jangan berlebihan,” aku menolak kepalanya yang masih di perutku. Kulihat dokter hanya tertawa dan geleng-geleng kepala.


“Adek, I love U, kita akan jadi orang tua sayangku,” ujar suamiku dan mencium kedua pipiku. Sumpah, aku betul-betul tidak percaya dengan apa yang kulihat. Suamiku berubah romantis bahkan bisa dikatakan norak.


“Ia abang, adek juga senang. Tapi udah dulu, malu sama dokternya.” Kulihat dokter hanya geleng-geleng kepala dan pura-pura sibuk menulis.


Sejak hari itu, suamiku berubah 180 derajat. Ia juga ikutan memanggilku sayank. Bahkan setiap menonton TV, ia meletakan kepalaku di pahanya. Membelai-belai rambutku, yang tak jarang justru membuatku tertidur. 


Ketika mengantarku ke tempat tidur ia juga mengucapkan selamat tidur. Begitu juga saat bangun pagi. Ia sudah menungguku dengan senyumnya yang manis dan mengucapkan selamat pagi. Kadang ia membawakan sepiring nasi goreng dan segelas susu untukku. 


“Makan yang banyak ya, Sayank. Minum susunya, biar bayi kita sehat dan pintar,” ujarnya, tak lupa membelai-belai perutku yang masih kempis.


Aku hanya mengangguk, tersanjung dan kadang bingung melihat sikapnya yang berlebihan.

Suatu malam saat tengah tertidur, suamiku membangunkan aku. Dengan mata yang masih berat, aku mencoba untuk membuka kelopak mata lebar-lebar. Sebuah sinar kecil menyilaukan mataku yang belum normal terbuka. Aku mengucek-ngucek mata dan akhirnya sempurna terbuka dan bisa melihat dengan jelas.


Oh, perasaanku campur aduk, antara tidak percaya, senang dan terharu. Suamiku duduk membawa sebuah kue dengan lilin angka satu di atasnya. “Selamat ulang tahun perkawinan kita ya, Sayank. Moga kita langgeng sampai kakek nenek ya dan punya anak-anak yang saleh, pintar dan berhasil,” ujarnya sambil mencium pipiku.


“Amin! Ya bang, mudah-mudahan,” aku tak bisa lagi membendung air mataku.


Ternyata apa yang kuimpikan untuk mendapatkan kejutan yang manis dan romantis dari suamiku selama ini terwujud. Meski tidak pada hari ulang tahunku, tapi tetap berarti bagiku.


“Udah jangan menangis, harusnya kan bahagia, Sayank. Oh ya ini ada hadiah untuk adek,” ia menghapus air mataku sambil menyerahkan sebuah kado.
“Oh abang, terima kasih,” aku mencium pipinya sebagai tanda terima kasih.


Perlahan kubuka tutup kotak kado itu. Ternyata sebuah baju tidur berwarna merah marun ditambah sebuah lingerie. Tipis dan sangat seksi. “Gimana, suka kan, Sayank? tanyanya melihatku yang masih melongo memegang kedua benda yang dulu ia tak suka aku pakai itu. 


“Suka, Bang. Tapi…kok tumben abang kasi hadiah ini, dulu kan abang tidak suka melihat adek pakai baju seksi seperti ini, meski hanya di kamar?” tanyaku.


“Itu dulu, Sayank. Sekarang kan lain. Apalagi di dalam perut adek ada anak kita. Abang mau melihat adek seksi selama mengandungnya. Kata orang wanita hamil itu makin cantik dan seksi,” ia mengerlingku dengan mata nakal sambil mengusap-usap pipi.


“Tuhan terima kasih atas karuniamu, kehamilanku membawa perubahan sifat suamiku,” bisikku dalam hati.***

Tuk, ananda yang kurindu segera bersemayam di rahimku











Posting Komentar untuk "Cerpen : I Miss U Baby"