Cerpen :DENDAM
Tini kembali tertawa ketika aku menegaskan bahwa apa yang kukatakan barusan bukanlah sekedar bercanda. Tapi dia tetap tertawa, “Lo itu sedang tidak ada masalah kejiwaan kan?” ini pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya.
Aku mengganggukan kepala mantap. Kali ini tawa sahabatku itu mulai pudar dari bibir tipisnya. Air mukanya berubah, keningnya berkerut dan matanya disipitkan. Begitulah ciri-cirinya bila ia sedang tidak percaya terhadap apa yang dilihat atau di dengar.
“Sumpah?” tanyanya setelah beberapa lama menatapku dengan gaya khasnya.
“Ya,” jawabku singkat dan tegas.
Tini bangkit dari duduk dan membiarkan majalah yang dari tadi dibolak-baliknya tergeletak di atas kursi. Ia menuju jendela, membelakangiku. Sesaat kemudian ia berbalik dengan membawa raut muka yang masih menunjukan rasa penasaran dan tidak percaya.
“Sumpah gue tidak percaya dengan apa yang lo ceritakan dan rencanakan barusan. Gue juga tidak yakin kalau lo, teman gue, seorang Santi yang selama ini di mata gue dan teman-teman lain adalah yang terbaik di antara kita, ternyata mempunyai masalah kejiwaan seberat ini,” Tini berapi-api mengungkapkan perasaannya.
“Aneh? Lo kok menganggap gue punya masalah kejiwaan? Memangnya gue dari tadi menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan masalah jiwa,” aku bangkit mendekatinya yang bersandar di dinding. Ucapannya membuatku tersinggung.
Tini cuma menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum sinis dan kembali duduk di tempat semula.
Aku juga ikut duduk dan menatap Tini yang pura-pura sibuk membaca majalah. “Please deh, apa alasan lo mengatakan gue punya masalah kejiwaan? Harus ada alasan donk,” aku mendesaknya.
Kulihat Tini menarik nafas panjang dan mengeluarkannya. Ia menatapku sesaat sebelum berbicara. “Mau tau alasannya?” ia membuatku makin tidak sabar.
Aku tidak menjawab, hanya memberikan isyarat mata jika aku ingin segera mendengarkan alasannya.
“Seorang wanita yang selama ini gue kenal berbudi pekerti baik, ramah, riang, cerdas, berbakat, menarik dan bisa meraih apa yang ia inginkan alias nyaris sempurna, ternyata punya dendam yang selama ini ia simpan jauh di lubuk hatinya. Sekarang ia ingin membalaskan dendamnya itu untuk membuat orang-orang yang pernah menyakitinya, menyesal dengan apa yang telah dilakukan mereka dan kemudian bersujud meminta maaf. Tak peduli apakah itu teman kecilnya, gurunya dan tetangganya sendiri. Apa itu bukan sakit jiwa?” Tini menghembuskan nafasnya, setelah kalimat yang begitu panjang ia ucapkan seakan tanpa jeda.
Aku membalas tatapan Tini dengan sebuah sunggingan senyum kecil. Aku merasa alasannya tidak tepat. Karena dia tidak tahu semua ceritaku, sebab hanya sebahagian kecil yang kuceritakan kepadanya.
“Terserah lo mengatakan gue sakit jiwa, tapi yang kukatakan tadi adalah program yang sudah kurencanakan sejak lama. Sejak gue meninggalkan kotaku, merantau ke kota besar ini untuk mencapai cita-citaku. Kalau lo mengatakan gue sakit jiwa, berarti selama ini lo telah berteman dengan orang sakit jiwa dan minimal lo juga sudah terimbas,” tuturku tanpa beban. Aku sudah siap menghadapi ledakan emosi Tini.
Tapi di luar dugaanku, Tini tidak meledak seperti biasa saat ia tersinggung. Ia menatapku. Kali ini air mukanya jauh lebih tenang dari tadi. “Please San, ceritakan lebih detail, ada apa dengan kamu sebelum datang ke kota ini?” tanyanya lembut sambil memegang bahuku.
Tini menatapku penuh perasaan. Sepertinya ia mulai memahami masalahku. Aku masih menundukan wajah dan ada yang mengalir hangat di kedua sudut mataku. Aku berusaha menahannya, tapi malah sebaliknya air itu makin deras mengalir dan aku tergugu di bahu Tini.
Kubiarkan tangisku pecah di bahu Tini. Ia dengan lembut membelai-belai punggungku. “Menangislah jika itu bisa meringankan bebanmu,” bisiknya.
Puas dengan tangisku, aku melepaskan pelukan di bahu Tini. Ia memberiku tisu dan membantu membersihkan mukaku. “Lo udah lega?” tanyanya sambil menyodorkan gelas berisi air putih.
“Lumayan,” aku menghabiskan segela air putih yang ia sodorkan.
“Jika lo belum siap cerita sekarang, besok atau lain kali aja. Tenangin dulu pikiran lo,” Tini menggenggam tangan kananku.
Aku menggeleng, “Gue akan cerita sekarang.”
Aku memulai cerita dari masa kecilku saat masih duduk di bangku SD. Bapak dan Ibuku petani penggarap yang mendapatkan hasil setelah panen padi atau hasil kebun. Hidupku dengan dua adikku betul-betul prihatin. Tapi untungnya aku ditakdirkan memiliki otak lumayan cemerlang, sehingga prestasiku di sekolah bisa mengobati rasa minder dengan teman-teman yang kehidupan orangtuanya jauh lebih baik dari aku.
Suatu hari, kalau tidak salah, aku duduk di bangku kelas empat. Ada tugas prakarya untuk mendapatkan nilai ujian keterampilan. Oleh wali kelasku yang bernama Narti, kami dibebaskan membawa prakarya dalam bentuk apa pun ke sekolah minggu depan.
Aku yang tidak memiliki bakat membuat keterampilan cukup baik hanya membuat bunga dari bahan kertas tisu. Hasilnya menurutku waktu itu, cukup lumayan. Pada hari penyerahan prakarya itu aku sedikit minder karena ternyata prakarya teman-temanku banyak yang jauh lebih bagus.
Bagi yang merasa punya hasil prakarya bagus, tak sabar mereka menyerahkan ke Ibu Narti. Mereka berdesakan di depan meja guru agar bisa melihat langsung nilainya yang langsung diberikan.
Aku pun ikut berdesakan di antara kerumunan teman-temanku itu. Ketika salah seorang temanku mendapatkan pujian karena bunganya bagus, aku pun ikut memuji. “Wah bungamu bagus, warnanya indah. Siapa yang mengajari?” tanyaku memuji.
“Ibuku,” ia tersenyum senang.
“Enak ya punya ibu yang bisa membantu,” balasku.
“Memangnya ibunya seperti ibumu yang pemalas dan tidak bisa apa-apa,” ucapan itu berasal dari mulut guru yang sangat kuhormati.
Aku kaget mendengar perkataan yang sangat pedas. Meskipun hanya sepenggal kalimat namun begitu menyakitkan dan menyinggung perasaanku itu. Kubiarkan bungaku di atas meja dan menuju bangku. Salah seorang temanku mendekati dan menghiburku. “Tak usah dipikirkan, mungkin ibu guru hanya bercanda,” ia berusaha menghiburku.
Tapi aku tidak peduli, hatiku begitu sakit. Mengapa seorang guru yang selama ini kuhormati ternyata mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas di hadapan anak muridnya. Ia menghina ibuku yang setiap hari mengeluarkan keringat untuk menyekolahkan aku. Memang ibuku tidak sempat membantuku mengajari prakarya, karena setiap malam ia kecapekan setelah seharian bekerja di sawah dan ladang.
Tapi ketidakberdayaanku sebagai seorang murid tidak mampu membuatku mempertanyakannya. Aku hanya memendam rasa sakit hatiku. Pengalaman itu adalah dendam pertama yang harus kubalaskan suatu saat nanti, begitu aku mencamkannya dalam hatiku.
Dendam kedua yang kucamkan di dalam hati dan harus kubalaskan adalah saat duduk di kelas enam SD. Saat itu wali kelas kami yang menanyakan apa cita-cita kamu nanti. Beraneka ragam jawaban dari teman-temanku, ada yang mengatakan ingin menjadi dokter, insinyur, guru, perawat, dosen, penyanyi, pegawai negeri, pengusaha, manajer dan lainnya.
Ketika giliranku tiba, dengan lantang aku menjawab aku bercita-cita menjadi reporter atau wartawati. Jawabanku disambut ejekan dari sejumlah teman-temanku yang mengatakan cita-citaku berlebihan. Di antara mereka ada satu temanku, cewek, yang melontarkan ejekannya dengan kata-kata sinis.
“Apa? Mau jadi reporter? Bagaimana tuh mencapai cita-cita yang begitu tinggi. Ukur kemampuan dulu donk, hahaha,” ia tertawa. Aku hanya diam dan di dalam hati aku mencamkan dendamku yang kedua. Suatu saat ia akan menyesali perkataannya.
Entah mengapa, ketika duduk di bangku kelas tiga SMP aku kembali sekelas dengan teman sekelasku di SD dulu. Mala begitu nama cewek itu. Ternyata ia masih seperti dulu, sombong dan angkuh karena tahu dirinya cantik dan termasuk cewek yang diincar cowok-cowok di sekolah.
Suatu hari, waktu seperti berputar mundur dan peristiwa tiga tahun silam terulang kembali. Waktu itu guru bimbingan konseling menanyai kami tentang cita-cita. Pas giliranku dan belum sempat aku menjawab, Mala duluan mengatakan kalau aku bercita-cita menjadi reporter.
“Dia ingin jadi reporter, Bu! Seperti yang di dalam televisi. Mimpi kali, Bu!” ia tertawa diikuti teman satu genk-nya.
“Betul, Bu, saya ingin jadi reporter. Tidak salah kan,” aku berani menantang Mala. Bahkan aku merasa menang karena guru kami mengatakan cita-citaku itu bagus dan jarang dipikirkan anak seusiaku.
Sejak saat itu Mala makin tidak suka denganku. Ia seperti ingin selalu mematahkan semangatku. Tapi aku tidak peduli, toh aku yang akan mengejar cita-cita dan tidak merepotkan dia. Namun begitu dalam hatiku, kupelihara dendam itu. Aku ingin menunjukan, suatu saat aku bisa mencapai apa yang kucita-citakan.
Lulus SMP aku memilih masuk SMA. Mala aku dengar memilih masuk SMK Ekonomi. Aku merasa lega karena tidak ada lagi orang yang jahat padaku. Masa-masa SMA kujalani dengan standar, tidak terlalu indah karena kondisi ekonomi orangtuaku yang menyebabkan aku tidak bisa bergaya dan hura-hura seperti teman-teman.
Lulus SMA aku memilih mengambil kursus singkat tentang jurnalistik, karena aku tahu diri kedua orangtuaku tidak mampu membiayai kuliah di fakultas komunikasi seperti yang kurencanakan.
Ternyata dengan modal kursus singkat dan ditambah bakat alami, akhirnya aku bisa mencapai cita-citaku menjadi wartawati. Tulisan pertamaku dimuat di sebuah koran mingguan. Saat itu rasanya hanya aku orang yang paling bahagia di dunia. Sejak saat itu aku semakin terpacu untuk menulis.
Keberuntungan seperti masih di tanganku, ketika sebuah koran baru, terbit di kotaku. Aku diterima sebagai wartawati. Banyak orang yang tidak menyangka, termasuk orangtuaku. Di saat teman-temanku masih sibuk kuliah dan menghabiskan uang orangtua, aku sudah mampu memberi orangtuaku uang. Bagiku, itu suatu kebanggaan yang luar biasa.
Tapi, keberhasilanku ternyata tidak diakui oleh sejumlah orang, termasuk seorang tetanggaku, yang mengatakan kalau aku hanyalah seorang loper koran. Katanya ia pernah melihatku mengantarkan koran ke sebuah kios koran. Aku akui, sebagai seorang wartawati pemula dan loyal kepada perusahaan, aku ikut membantu pemasaran hingga ke desa-desa, apalagi di sekitar kampungku.
Sikap iri tetanggaku membuat aku kembali mencamkan dalam hatiku, suatu saat aku akan menunjukan siapa aku. Dendam ketiga kutanamkan di dasar hatiku.
Bertekad untuk merubah karier yang lebih baik, aku pindah ke kota lain yang jauh lebih besar. Sambil bekerja di sebuah koran harian, aku juga rutin mengirimkan tulisan pada majalah dan koran nasional. Hal itu kugunakan untuk menambah tabungan supaya bisa kuliah.
Setahun hidup di perantauan, aku bisa kuliah dan mendapatkan beasiswa. Dendam untuk membuktikan siapa aku di kampung, menjadikan aku gila kerja. Tak jarang aku membantu kawan dalam suatu kegiatan dan hasilnya lumayan untuk ditabung.
Kuliah di Fakultas Komunikasi aku selesaikan dalam waktu kurang dari empat tahun. Gelar sarjana komunikasi aku peroleh. Kedua orangtuaku datang saat wisuda. Mereka begitu bangga menyaksikan aku yang memakai toga.
Dengan gelar sarjana, aku bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik. Sejak satu tahun lalu aku dipercaya menjadi redaktur pelaksana di sebuah majalah wanita. Gajiku lumayan dan sejumlah fasilitas aku nikmati. Selain itu urusan cinta dan karierku berjalan mulus. Hendi, teman seprofesi tapi lain kantor telah menjadi keksaihku sejak tiga tahun lalu. Dia kerja di stasiun televisi swasta.
Selain itu aku juga aktif dalam kegiatan sosial bersama sejumlah ibu-ibu pejabat dan pengusaha wanita. Kedekatanku dengan mereka menjadikan aku makin dikenal. Tak mengherankan, banyak teman-temanku mengatakan aku sukses dalam karier, cinta, dan pergaulan.
Andai saja mereka tahu, kegilaanku mencapai kesempurnaan itu hanya untuk membalaskan dendam kepada orang-orang yang pernah melukai perasaanku, tentu mereka akan kaget. Inilah yang dialami Tini saat aku memulai membuka misi dari masa laluku itu.
“Sekarang gue sudah mapan, punya karier bagus, tabungan, rumah, mobil pribadi, dan kekasihku yang ganteng dan akan menikahiku. Sudah waktunya bagiku untuk memamerkan semua keberhasilanku pada orang-orang yang dulu pernah menyakitiku,” suaraku bergetar, ketika semua pengalaman masa lalu itu sirna seiring dengan berakhirnya ceritaku pada Tini.
Tini tidak merespon, ia hanya diam dan seperti kebingungan. “Kok diam, lo tidak percaya dengan cerita gue tadi?” aku mengguncang bahunya.
Tini menggeleng dan ia tersenyum meski tampak dipaksakan. “Sumpah, gue tidak menyangka lo punya pengalaman berliku. Susah payah juga lo mencapai apa yang telah lo raih sekarang. Tapi gue juga bingung, mengapa lo segitu ngototnya untuk melampiaskan dendam masa lalu lo. Padahal dari cerita dari mulut ke mulut, keberhasilan lo di kota ini setidaknya sudah terdengar oleh mereka kan. Kampong lo itu kan kecil, apa saja bisa diketahui orang, apalagi lagi kisah sukses lo,” Tini bicara panjang lebar.
“Benar, mereka memang sudah tahu dari cerita orangtua, keluarga dan kerabatku yang pernah mengunjungiku ke kota ini. Tapi, gue ingin melihat langsung bagaimana rasa malu dan menyesal tergambar di wajah mereka ketika bertemu dengan gue. Gue ingin mereka mengingat tentang sikap kasar dan jahatnya pada gue dulu,” balasku cepat.
Tini mengangkat bahunya, ia sepertinya kehabisan kata-kata untuk berdebat dengan aku. “Terserah lo, silahkan lo lakukan jika itu membuat jiwamu tenang dan puas. Tapi gue hanya kasih saran, lebih baik tidak lo lakukan, tidak baik menyimpan dendam apalagi membalaskannya,” akhirnya ia kembali berkata setelah sekian lama menatapku dengan gaya khasnya.
“Gue tidak peduli !!!”
***
Saat pesawat hendak take off, aku masih sempat menghubungi Tini. Ia membalasnya singkat, “Oke, selamat menjalankan misimu, tapi lebih baik tidak.” Kalimat terakhir itu yang membuatku gondok.
Selama penerbangan, skenario pembalasan dendam kembali kuingat-ingat. Menbayangkan apa yang akan terjadi, membuatku tersenyum-seyum. Pria tua yang duduk di sebelahku kebingungan ketika melihat aku dari tadi senyum-senyum sendiri. Tapi ia tidak bertanya, dan aku pun tidak peduli.
Kedatanganku ke kampung halaman disambut gembira oleh keluargaku. Enam tahun aku belum pernah pulang, kecuali mereka yang aku biayai datang ke kota tempat aku bekerja.
“Aku hanya kangen melihat suasana kampung dan bertemu keluarga, handai taulan serta teman-teman lama,” alasanku pada keluargaku yang heran tiba-tiba aku pulang. Padahal, sering mereka meminta aku pulang, tapi aku tidak mau. Bagiku, jika aku belum bisa memamerkan keberhasilanku, aku tidak akan pulang. Kini semua itu sudah aku raih dan saatnya untuk menunjukan siapa aku.
Misi pembalasan dendam tidak kuceritakan pada keluargaku. Untuk mencari informasi tentang Ibu Narti dan Mala cukup aku lakukan dengan pura-pura bertanya tentang kabar mereka pada keluargaku. Sedangkan tetanggaku yang dulu mengatakan bahwa aku hanya seorang loper dan bukan wartawati sudah malu duluan. Hal itu terjadi saat taksi bandara yang membawaku ke rumah sengaja aku minta memutar sehingga melewati depan rumahnya.
Sengaja kaca taksi aku buka dan ketika di depan rumahnya aku minta sopir perlahan membawa mobil. Kebetulan ia sedang duduk di teras rumah. Ketika melihat aku ada mimik terkejut di wajahnya, apalagi mendengar aku yang pura-pura sedang menelpon dengan suara yang sengaja aku keraskan. “Bener gue udah nyampe di kampung. Ga ada penyambutan khusus, kita kan hanya loper koran hahaha. Bukan gue yang bilang tapi orang-orang sirik donk hahaha!” Saat itu kulihat ia langsung masuk rumah dan menutup pintu. Aku pun tertawa lepas, puas.
Ternyata mantan guru, ibu Narti sudah lama pensiun. Dia masih tinggal di rumah lamanya. Kata teman-teman kecilku yang masih ada di kampung, ia sudah sakit-sakitan.
Sedangkan Mala, berdasarkan informasi adik sepupuku yang duduk di bangku SMP, kini bekerja sebagai pegawai koperasi sekolah tempat aku belajar dulu. Aku mencibir ketika mendengar informasi itu. Ternyata gadis cantik dan sombong itu hanya pegawai honor di koperasi yang menjual jajanan dan alat tulis. Kasihan deh, Lo.
Untuk mendukung misiku, tentu perlu penampilan yang lebih. Dari pakaian dan perhiasan yang kukenakan, orang-orang tidak ragu lagi akan kesuksesanku di rantau. Tapi, untuk sarana transportasi aku tidak mungkin memakai kendaraan umum. Meski ada motor di rumah, aku lebih memilih menyewa mobil dan kukendarai sendiri.
Misi pertama adalah Ibu Narti. Sengaja mobil kujalankan perlahan dan pura-pura berhenti untuk menelpon seseorang dan turun dari mobil. Ternyata mobil yang berhenti di depan rumahnya memancing mantan guru yang pernah menyakiti perasaanku itu keluar. Ia memperhatikanku yang terus pura-pura menelpon.
“Maaf, Bu. Betul ini rumah Ibu Narti,” akhirnya aku mulai menjalankan misiku.
“Iya, saya sendiri. Anak siapa?” sahutnya.
Aku sengaja tidak menjawab. Kubiarkan ia mengamati wajahku dan mencari sesuatu di wajahku yang bisa mengingatkannya akan seseorang. Ternyata benar, tahi lalat di dekat telingaku mengingatkan dia akan seseorang.
“Kamu dulu bekas murid saya ya? Kamu si…Aduh saya lupa nama kamu. Tapi kamu adalah murid saya dulu kan?” ternyata ingatannya masih segar, dan ini membantu mempercepat pembalasan dendamku.
“Benar, saya dulu murid ibu. Santi nama saya. Anak seorang petani yang bodoh dan tidak bisa membuat prakarya bunga. Sekarang sang ibu bodoh itu sedang bangga-bangganya, karena aku sudah menjadi orang sukses dan bisa mendapatkan apa yang aku inginkan !” tuturku pedas dan menatap tajam pada wajah yang keriput itu.
Tampak rasa kaget yang begitu hebat di wajah mantan guruku itu dan kemudian berubah menjadi mimik sedih. Tapi aku tidak peduli, karena ada kepuasan yang begitu hebat aku rasakan ketika melihat wajahnya seperti itu.
“Ingat bu, bocah kecil yang pernah ibu permalukan sekarang bisa berbalik menyakiti ibu!” aku mengeluarkan kata-kata itu sambil berbalik dan masuk ke dalam mobil.
Sebelum meninggalkan mantan guruku yang masih berdiri di teras rumahnya, aku sempat melihat seseorang datang dari dalam rumah dan bertanya tentang apa yang baru saja terjadi. Mungkin kata-kata terakhir yang kukeluarkan dengan nada keras terdengar hingga sampai ke dalam rumah. Tapi semua itu membuatku tertawa lepas, selepas-lepasnya. Satu lagi dendamku baru terbalaskan.
Dari rumah mantan guruku yang sekarang pasti menyesali sikapnya dulu terhadapku, aku menuju gedung SMP di mana aku pernah bersekolah. Tujuanku adalah koperasinya, menemui cewek cantik dan sombong yang sekarang hanya menjadi pelayan itu.
Kubiarkan kaca mata hitam bertengger di hidungku. Aku memasuki ruangan koperasi yang masih seperti aku masih sekolah di sana. Pintunya terbuka dan kulihat di ujung ruangan, seorang wanita seusiaku sedang menunduk asyik menulis. Sekilas aku yakin dia adalah Mala.
Tapi aku pura-pura tidak melihat. Dengan gaya cuek aku melihat-lihat lemari kaca yang memajang aneka alat tulis. Dari sudut mata kulihat Mala bangkit dan menuju ke arahku. Tapi, aku kembali acuh dan seolah-olah tidak tahu akan kehadirannya di sisiku.
“Kamu…Kamu Santi kan? Kamu teman sekelasku dulu kan?” Mala memegang tanganku, ketika aku sengaja menyelipkan kacamata itu sebagai pengganti bando di atas kepalaku.
“Hmmm…Siapa ya?” aku sengaja pura-pura tidak kenal dengannya.
“Kamu lupa ya? Aku Mala teman kamu di SD dan di SMP dulu. Kamu katanya sudah sukses ya, hebat kamu ya aku tidak menyangka kamu bisa sesukses ini?” ia memburuku dengan pertanyaan.
“Hmmm…Oh ya. Kamu Mala yang dulu pernah mengejek aku bahwa aku tidak akan mungkin meraih cita-citaku menjadi wartawati. Sekarang kok malah kamu mengatakan aku hebat?” aku mulai menjalankan misiku.
Mala kaget dengan perkataanku barusan. Ia menunduk dan ada raut wajah menyesal di wajahnya yang putih kusam. Aku sangat senang melihat sikap salah tingkahnya itu.
“Kok kamu kerja di sini? Orang secantik kamu kan enaknya jadi sekretaris di kantoran. Sayang cantik-cantik hanya jaga koperasi, kasihan deh kamu,” aku tidak peduli dengan wajahnya yang makin merah dan ada air mata menggenang di sudut matanya.
Aku keluar dengan senyum lebar dan dada yang kurasakan makin longgar. Sekilas aku menolehkan kepala ke belakang dan kulihat Mala mengusap air matanya. Sambil menuju mobil aku tertawa lepas dan tak kupedulikan lirikan sejumlah guru yang melintas di dekatku.
Sambil mengemudikan mobil aku masih tertawa-tawa. Dendamku sudah terlampiaskan sesuai rencanaku. Orang-orang yang pernah menyakitiku dulu kaget dan shock mendengar kata-kata pedasku. Setiap mengingat wajah penyesalan mereka, tawaku makin keras.
***
Aku seperti kehabisan tenaga untuk tertawa lepas, ketika kurasakan ada jarum yang runcing menusuk kulitku. Aku berusaha untuk terus tertawa menikmati kemenanganku, tapi aku tak sanggup. Di depan ada wanita berbaju putih, ia memegang bahuku dan tersenyum. Sementara di sebelahnya ibuku menangis.
“Dia sudah mulai tenang dan akan tertidur, nanti kita akan memeriksanya lebih intensif. Ibu sabar saja,” sayup-sayup aku mendengar kata wanita yang di dadanya tertulis Rumah Sakit Jiwa Waras.***tamat
Aku mengganggukan kepala mantap. Kali ini tawa sahabatku itu mulai pudar dari bibir tipisnya. Air mukanya berubah, keningnya berkerut dan matanya disipitkan. Begitulah ciri-cirinya bila ia sedang tidak percaya terhadap apa yang dilihat atau di dengar.
“Sumpah?” tanyanya setelah beberapa lama menatapku dengan gaya khasnya.
“Ya,” jawabku singkat dan tegas.
Tini bangkit dari duduk dan membiarkan majalah yang dari tadi dibolak-baliknya tergeletak di atas kursi. Ia menuju jendela, membelakangiku. Sesaat kemudian ia berbalik dengan membawa raut muka yang masih menunjukan rasa penasaran dan tidak percaya.
“Sumpah gue tidak percaya dengan apa yang lo ceritakan dan rencanakan barusan. Gue juga tidak yakin kalau lo, teman gue, seorang Santi yang selama ini di mata gue dan teman-teman lain adalah yang terbaik di antara kita, ternyata mempunyai masalah kejiwaan seberat ini,” Tini berapi-api mengungkapkan perasaannya.
“Aneh? Lo kok menganggap gue punya masalah kejiwaan? Memangnya gue dari tadi menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan masalah jiwa,” aku bangkit mendekatinya yang bersandar di dinding. Ucapannya membuatku tersinggung.
Tini cuma menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum sinis dan kembali duduk di tempat semula.
Aku juga ikut duduk dan menatap Tini yang pura-pura sibuk membaca majalah. “Please deh, apa alasan lo mengatakan gue punya masalah kejiwaan? Harus ada alasan donk,” aku mendesaknya.
Kulihat Tini menarik nafas panjang dan mengeluarkannya. Ia menatapku sesaat sebelum berbicara. “Mau tau alasannya?” ia membuatku makin tidak sabar.
Aku tidak menjawab, hanya memberikan isyarat mata jika aku ingin segera mendengarkan alasannya.
“Seorang wanita yang selama ini gue kenal berbudi pekerti baik, ramah, riang, cerdas, berbakat, menarik dan bisa meraih apa yang ia inginkan alias nyaris sempurna, ternyata punya dendam yang selama ini ia simpan jauh di lubuk hatinya. Sekarang ia ingin membalaskan dendamnya itu untuk membuat orang-orang yang pernah menyakitinya, menyesal dengan apa yang telah dilakukan mereka dan kemudian bersujud meminta maaf. Tak peduli apakah itu teman kecilnya, gurunya dan tetangganya sendiri. Apa itu bukan sakit jiwa?” Tini menghembuskan nafasnya, setelah kalimat yang begitu panjang ia ucapkan seakan tanpa jeda.
Aku membalas tatapan Tini dengan sebuah sunggingan senyum kecil. Aku merasa alasannya tidak tepat. Karena dia tidak tahu semua ceritaku, sebab hanya sebahagian kecil yang kuceritakan kepadanya.
“Terserah lo mengatakan gue sakit jiwa, tapi yang kukatakan tadi adalah program yang sudah kurencanakan sejak lama. Sejak gue meninggalkan kotaku, merantau ke kota besar ini untuk mencapai cita-citaku. Kalau lo mengatakan gue sakit jiwa, berarti selama ini lo telah berteman dengan orang sakit jiwa dan minimal lo juga sudah terimbas,” tuturku tanpa beban. Aku sudah siap menghadapi ledakan emosi Tini.
Tapi di luar dugaanku, Tini tidak meledak seperti biasa saat ia tersinggung. Ia menatapku. Kali ini air mukanya jauh lebih tenang dari tadi. “Please San, ceritakan lebih detail, ada apa dengan kamu sebelum datang ke kota ini?” tanyanya lembut sambil memegang bahuku.
Tini menatapku penuh perasaan. Sepertinya ia mulai memahami masalahku. Aku masih menundukan wajah dan ada yang mengalir hangat di kedua sudut mataku. Aku berusaha menahannya, tapi malah sebaliknya air itu makin deras mengalir dan aku tergugu di bahu Tini.
Kubiarkan tangisku pecah di bahu Tini. Ia dengan lembut membelai-belai punggungku. “Menangislah jika itu bisa meringankan bebanmu,” bisiknya.
Puas dengan tangisku, aku melepaskan pelukan di bahu Tini. Ia memberiku tisu dan membantu membersihkan mukaku. “Lo udah lega?” tanyanya sambil menyodorkan gelas berisi air putih.
“Lumayan,” aku menghabiskan segela air putih yang ia sodorkan.
“Jika lo belum siap cerita sekarang, besok atau lain kali aja. Tenangin dulu pikiran lo,” Tini menggenggam tangan kananku.
Aku menggeleng, “Gue akan cerita sekarang.”
Aku memulai cerita dari masa kecilku saat masih duduk di bangku SD. Bapak dan Ibuku petani penggarap yang mendapatkan hasil setelah panen padi atau hasil kebun. Hidupku dengan dua adikku betul-betul prihatin. Tapi untungnya aku ditakdirkan memiliki otak lumayan cemerlang, sehingga prestasiku di sekolah bisa mengobati rasa minder dengan teman-teman yang kehidupan orangtuanya jauh lebih baik dari aku.
Suatu hari, kalau tidak salah, aku duduk di bangku kelas empat. Ada tugas prakarya untuk mendapatkan nilai ujian keterampilan. Oleh wali kelasku yang bernama Narti, kami dibebaskan membawa prakarya dalam bentuk apa pun ke sekolah minggu depan.
Aku yang tidak memiliki bakat membuat keterampilan cukup baik hanya membuat bunga dari bahan kertas tisu. Hasilnya menurutku waktu itu, cukup lumayan. Pada hari penyerahan prakarya itu aku sedikit minder karena ternyata prakarya teman-temanku banyak yang jauh lebih bagus.
Bagi yang merasa punya hasil prakarya bagus, tak sabar mereka menyerahkan ke Ibu Narti. Mereka berdesakan di depan meja guru agar bisa melihat langsung nilainya yang langsung diberikan.
Aku pun ikut berdesakan di antara kerumunan teman-temanku itu. Ketika salah seorang temanku mendapatkan pujian karena bunganya bagus, aku pun ikut memuji. “Wah bungamu bagus, warnanya indah. Siapa yang mengajari?” tanyaku memuji.
“Ibuku,” ia tersenyum senang.
“Enak ya punya ibu yang bisa membantu,” balasku.
“Memangnya ibunya seperti ibumu yang pemalas dan tidak bisa apa-apa,” ucapan itu berasal dari mulut guru yang sangat kuhormati.
Aku kaget mendengar perkataan yang sangat pedas. Meskipun hanya sepenggal kalimat namun begitu menyakitkan dan menyinggung perasaanku itu. Kubiarkan bungaku di atas meja dan menuju bangku. Salah seorang temanku mendekati dan menghiburku. “Tak usah dipikirkan, mungkin ibu guru hanya bercanda,” ia berusaha menghiburku.
Tapi aku tidak peduli, hatiku begitu sakit. Mengapa seorang guru yang selama ini kuhormati ternyata mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas di hadapan anak muridnya. Ia menghina ibuku yang setiap hari mengeluarkan keringat untuk menyekolahkan aku. Memang ibuku tidak sempat membantuku mengajari prakarya, karena setiap malam ia kecapekan setelah seharian bekerja di sawah dan ladang.
Tapi ketidakberdayaanku sebagai seorang murid tidak mampu membuatku mempertanyakannya. Aku hanya memendam rasa sakit hatiku. Pengalaman itu adalah dendam pertama yang harus kubalaskan suatu saat nanti, begitu aku mencamkannya dalam hatiku.
Dendam kedua yang kucamkan di dalam hati dan harus kubalaskan adalah saat duduk di kelas enam SD. Saat itu wali kelas kami yang menanyakan apa cita-cita kamu nanti. Beraneka ragam jawaban dari teman-temanku, ada yang mengatakan ingin menjadi dokter, insinyur, guru, perawat, dosen, penyanyi, pegawai negeri, pengusaha, manajer dan lainnya.
Ketika giliranku tiba, dengan lantang aku menjawab aku bercita-cita menjadi reporter atau wartawati. Jawabanku disambut ejekan dari sejumlah teman-temanku yang mengatakan cita-citaku berlebihan. Di antara mereka ada satu temanku, cewek, yang melontarkan ejekannya dengan kata-kata sinis.
“Apa? Mau jadi reporter? Bagaimana tuh mencapai cita-cita yang begitu tinggi. Ukur kemampuan dulu donk, hahaha,” ia tertawa. Aku hanya diam dan di dalam hati aku mencamkan dendamku yang kedua. Suatu saat ia akan menyesali perkataannya.
Entah mengapa, ketika duduk di bangku kelas tiga SMP aku kembali sekelas dengan teman sekelasku di SD dulu. Mala begitu nama cewek itu. Ternyata ia masih seperti dulu, sombong dan angkuh karena tahu dirinya cantik dan termasuk cewek yang diincar cowok-cowok di sekolah.
Suatu hari, waktu seperti berputar mundur dan peristiwa tiga tahun silam terulang kembali. Waktu itu guru bimbingan konseling menanyai kami tentang cita-cita. Pas giliranku dan belum sempat aku menjawab, Mala duluan mengatakan kalau aku bercita-cita menjadi reporter.
“Dia ingin jadi reporter, Bu! Seperti yang di dalam televisi. Mimpi kali, Bu!” ia tertawa diikuti teman satu genk-nya.
“Betul, Bu, saya ingin jadi reporter. Tidak salah kan,” aku berani menantang Mala. Bahkan aku merasa menang karena guru kami mengatakan cita-citaku itu bagus dan jarang dipikirkan anak seusiaku.
Sejak saat itu Mala makin tidak suka denganku. Ia seperti ingin selalu mematahkan semangatku. Tapi aku tidak peduli, toh aku yang akan mengejar cita-cita dan tidak merepotkan dia. Namun begitu dalam hatiku, kupelihara dendam itu. Aku ingin menunjukan, suatu saat aku bisa mencapai apa yang kucita-citakan.
Lulus SMP aku memilih masuk SMA. Mala aku dengar memilih masuk SMK Ekonomi. Aku merasa lega karena tidak ada lagi orang yang jahat padaku. Masa-masa SMA kujalani dengan standar, tidak terlalu indah karena kondisi ekonomi orangtuaku yang menyebabkan aku tidak bisa bergaya dan hura-hura seperti teman-teman.
Lulus SMA aku memilih mengambil kursus singkat tentang jurnalistik, karena aku tahu diri kedua orangtuaku tidak mampu membiayai kuliah di fakultas komunikasi seperti yang kurencanakan.
Ternyata dengan modal kursus singkat dan ditambah bakat alami, akhirnya aku bisa mencapai cita-citaku menjadi wartawati. Tulisan pertamaku dimuat di sebuah koran mingguan. Saat itu rasanya hanya aku orang yang paling bahagia di dunia. Sejak saat itu aku semakin terpacu untuk menulis.
Keberuntungan seperti masih di tanganku, ketika sebuah koran baru, terbit di kotaku. Aku diterima sebagai wartawati. Banyak orang yang tidak menyangka, termasuk orangtuaku. Di saat teman-temanku masih sibuk kuliah dan menghabiskan uang orangtua, aku sudah mampu memberi orangtuaku uang. Bagiku, itu suatu kebanggaan yang luar biasa.
Tapi, keberhasilanku ternyata tidak diakui oleh sejumlah orang, termasuk seorang tetanggaku, yang mengatakan kalau aku hanyalah seorang loper koran. Katanya ia pernah melihatku mengantarkan koran ke sebuah kios koran. Aku akui, sebagai seorang wartawati pemula dan loyal kepada perusahaan, aku ikut membantu pemasaran hingga ke desa-desa, apalagi di sekitar kampungku.
Sikap iri tetanggaku membuat aku kembali mencamkan dalam hatiku, suatu saat aku akan menunjukan siapa aku. Dendam ketiga kutanamkan di dasar hatiku.
Bertekad untuk merubah karier yang lebih baik, aku pindah ke kota lain yang jauh lebih besar. Sambil bekerja di sebuah koran harian, aku juga rutin mengirimkan tulisan pada majalah dan koran nasional. Hal itu kugunakan untuk menambah tabungan supaya bisa kuliah.
Setahun hidup di perantauan, aku bisa kuliah dan mendapatkan beasiswa. Dendam untuk membuktikan siapa aku di kampung, menjadikan aku gila kerja. Tak jarang aku membantu kawan dalam suatu kegiatan dan hasilnya lumayan untuk ditabung.
Kuliah di Fakultas Komunikasi aku selesaikan dalam waktu kurang dari empat tahun. Gelar sarjana komunikasi aku peroleh. Kedua orangtuaku datang saat wisuda. Mereka begitu bangga menyaksikan aku yang memakai toga.
Dengan gelar sarjana, aku bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik. Sejak satu tahun lalu aku dipercaya menjadi redaktur pelaksana di sebuah majalah wanita. Gajiku lumayan dan sejumlah fasilitas aku nikmati. Selain itu urusan cinta dan karierku berjalan mulus. Hendi, teman seprofesi tapi lain kantor telah menjadi keksaihku sejak tiga tahun lalu. Dia kerja di stasiun televisi swasta.
Selain itu aku juga aktif dalam kegiatan sosial bersama sejumlah ibu-ibu pejabat dan pengusaha wanita. Kedekatanku dengan mereka menjadikan aku makin dikenal. Tak mengherankan, banyak teman-temanku mengatakan aku sukses dalam karier, cinta, dan pergaulan.
Andai saja mereka tahu, kegilaanku mencapai kesempurnaan itu hanya untuk membalaskan dendam kepada orang-orang yang pernah melukai perasaanku, tentu mereka akan kaget. Inilah yang dialami Tini saat aku memulai membuka misi dari masa laluku itu.
“Sekarang gue sudah mapan, punya karier bagus, tabungan, rumah, mobil pribadi, dan kekasihku yang ganteng dan akan menikahiku. Sudah waktunya bagiku untuk memamerkan semua keberhasilanku pada orang-orang yang dulu pernah menyakitiku,” suaraku bergetar, ketika semua pengalaman masa lalu itu sirna seiring dengan berakhirnya ceritaku pada Tini.
Tini tidak merespon, ia hanya diam dan seperti kebingungan. “Kok diam, lo tidak percaya dengan cerita gue tadi?” aku mengguncang bahunya.
Tini menggeleng dan ia tersenyum meski tampak dipaksakan. “Sumpah, gue tidak menyangka lo punya pengalaman berliku. Susah payah juga lo mencapai apa yang telah lo raih sekarang. Tapi gue juga bingung, mengapa lo segitu ngototnya untuk melampiaskan dendam masa lalu lo. Padahal dari cerita dari mulut ke mulut, keberhasilan lo di kota ini setidaknya sudah terdengar oleh mereka kan. Kampong lo itu kan kecil, apa saja bisa diketahui orang, apalagi lagi kisah sukses lo,” Tini bicara panjang lebar.
“Benar, mereka memang sudah tahu dari cerita orangtua, keluarga dan kerabatku yang pernah mengunjungiku ke kota ini. Tapi, gue ingin melihat langsung bagaimana rasa malu dan menyesal tergambar di wajah mereka ketika bertemu dengan gue. Gue ingin mereka mengingat tentang sikap kasar dan jahatnya pada gue dulu,” balasku cepat.
Tini mengangkat bahunya, ia sepertinya kehabisan kata-kata untuk berdebat dengan aku. “Terserah lo, silahkan lo lakukan jika itu membuat jiwamu tenang dan puas. Tapi gue hanya kasih saran, lebih baik tidak lo lakukan, tidak baik menyimpan dendam apalagi membalaskannya,” akhirnya ia kembali berkata setelah sekian lama menatapku dengan gaya khasnya.
“Gue tidak peduli !!!”
***
Saat pesawat hendak take off, aku masih sempat menghubungi Tini. Ia membalasnya singkat, “Oke, selamat menjalankan misimu, tapi lebih baik tidak.” Kalimat terakhir itu yang membuatku gondok.
Selama penerbangan, skenario pembalasan dendam kembali kuingat-ingat. Menbayangkan apa yang akan terjadi, membuatku tersenyum-seyum. Pria tua yang duduk di sebelahku kebingungan ketika melihat aku dari tadi senyum-senyum sendiri. Tapi ia tidak bertanya, dan aku pun tidak peduli.
Kedatanganku ke kampung halaman disambut gembira oleh keluargaku. Enam tahun aku belum pernah pulang, kecuali mereka yang aku biayai datang ke kota tempat aku bekerja.
“Aku hanya kangen melihat suasana kampung dan bertemu keluarga, handai taulan serta teman-teman lama,” alasanku pada keluargaku yang heran tiba-tiba aku pulang. Padahal, sering mereka meminta aku pulang, tapi aku tidak mau. Bagiku, jika aku belum bisa memamerkan keberhasilanku, aku tidak akan pulang. Kini semua itu sudah aku raih dan saatnya untuk menunjukan siapa aku.
Misi pembalasan dendam tidak kuceritakan pada keluargaku. Untuk mencari informasi tentang Ibu Narti dan Mala cukup aku lakukan dengan pura-pura bertanya tentang kabar mereka pada keluargaku. Sedangkan tetanggaku yang dulu mengatakan bahwa aku hanya seorang loper dan bukan wartawati sudah malu duluan. Hal itu terjadi saat taksi bandara yang membawaku ke rumah sengaja aku minta memutar sehingga melewati depan rumahnya.
Sengaja kaca taksi aku buka dan ketika di depan rumahnya aku minta sopir perlahan membawa mobil. Kebetulan ia sedang duduk di teras rumah. Ketika melihat aku ada mimik terkejut di wajahnya, apalagi mendengar aku yang pura-pura sedang menelpon dengan suara yang sengaja aku keraskan. “Bener gue udah nyampe di kampung. Ga ada penyambutan khusus, kita kan hanya loper koran hahaha. Bukan gue yang bilang tapi orang-orang sirik donk hahaha!” Saat itu kulihat ia langsung masuk rumah dan menutup pintu. Aku pun tertawa lepas, puas.
Ternyata mantan guru, ibu Narti sudah lama pensiun. Dia masih tinggal di rumah lamanya. Kata teman-teman kecilku yang masih ada di kampung, ia sudah sakit-sakitan.
Sedangkan Mala, berdasarkan informasi adik sepupuku yang duduk di bangku SMP, kini bekerja sebagai pegawai koperasi sekolah tempat aku belajar dulu. Aku mencibir ketika mendengar informasi itu. Ternyata gadis cantik dan sombong itu hanya pegawai honor di koperasi yang menjual jajanan dan alat tulis. Kasihan deh, Lo.
Untuk mendukung misiku, tentu perlu penampilan yang lebih. Dari pakaian dan perhiasan yang kukenakan, orang-orang tidak ragu lagi akan kesuksesanku di rantau. Tapi, untuk sarana transportasi aku tidak mungkin memakai kendaraan umum. Meski ada motor di rumah, aku lebih memilih menyewa mobil dan kukendarai sendiri.
Misi pertama adalah Ibu Narti. Sengaja mobil kujalankan perlahan dan pura-pura berhenti untuk menelpon seseorang dan turun dari mobil. Ternyata mobil yang berhenti di depan rumahnya memancing mantan guru yang pernah menyakiti perasaanku itu keluar. Ia memperhatikanku yang terus pura-pura menelpon.
“Maaf, Bu. Betul ini rumah Ibu Narti,” akhirnya aku mulai menjalankan misiku.
“Iya, saya sendiri. Anak siapa?” sahutnya.
Aku sengaja tidak menjawab. Kubiarkan ia mengamati wajahku dan mencari sesuatu di wajahku yang bisa mengingatkannya akan seseorang. Ternyata benar, tahi lalat di dekat telingaku mengingatkan dia akan seseorang.
“Kamu dulu bekas murid saya ya? Kamu si…Aduh saya lupa nama kamu. Tapi kamu adalah murid saya dulu kan?” ternyata ingatannya masih segar, dan ini membantu mempercepat pembalasan dendamku.
“Benar, saya dulu murid ibu. Santi nama saya. Anak seorang petani yang bodoh dan tidak bisa membuat prakarya bunga. Sekarang sang ibu bodoh itu sedang bangga-bangganya, karena aku sudah menjadi orang sukses dan bisa mendapatkan apa yang aku inginkan !” tuturku pedas dan menatap tajam pada wajah yang keriput itu.
Tampak rasa kaget yang begitu hebat di wajah mantan guruku itu dan kemudian berubah menjadi mimik sedih. Tapi aku tidak peduli, karena ada kepuasan yang begitu hebat aku rasakan ketika melihat wajahnya seperti itu.
“Ingat bu, bocah kecil yang pernah ibu permalukan sekarang bisa berbalik menyakiti ibu!” aku mengeluarkan kata-kata itu sambil berbalik dan masuk ke dalam mobil.
Sebelum meninggalkan mantan guruku yang masih berdiri di teras rumahnya, aku sempat melihat seseorang datang dari dalam rumah dan bertanya tentang apa yang baru saja terjadi. Mungkin kata-kata terakhir yang kukeluarkan dengan nada keras terdengar hingga sampai ke dalam rumah. Tapi semua itu membuatku tertawa lepas, selepas-lepasnya. Satu lagi dendamku baru terbalaskan.
Dari rumah mantan guruku yang sekarang pasti menyesali sikapnya dulu terhadapku, aku menuju gedung SMP di mana aku pernah bersekolah. Tujuanku adalah koperasinya, menemui cewek cantik dan sombong yang sekarang hanya menjadi pelayan itu.
Kubiarkan kaca mata hitam bertengger di hidungku. Aku memasuki ruangan koperasi yang masih seperti aku masih sekolah di sana. Pintunya terbuka dan kulihat di ujung ruangan, seorang wanita seusiaku sedang menunduk asyik menulis. Sekilas aku yakin dia adalah Mala.
Tapi aku pura-pura tidak melihat. Dengan gaya cuek aku melihat-lihat lemari kaca yang memajang aneka alat tulis. Dari sudut mata kulihat Mala bangkit dan menuju ke arahku. Tapi, aku kembali acuh dan seolah-olah tidak tahu akan kehadirannya di sisiku.
“Kamu…Kamu Santi kan? Kamu teman sekelasku dulu kan?” Mala memegang tanganku, ketika aku sengaja menyelipkan kacamata itu sebagai pengganti bando di atas kepalaku.
“Hmmm…Siapa ya?” aku sengaja pura-pura tidak kenal dengannya.
“Kamu lupa ya? Aku Mala teman kamu di SD dan di SMP dulu. Kamu katanya sudah sukses ya, hebat kamu ya aku tidak menyangka kamu bisa sesukses ini?” ia memburuku dengan pertanyaan.
“Hmmm…Oh ya. Kamu Mala yang dulu pernah mengejek aku bahwa aku tidak akan mungkin meraih cita-citaku menjadi wartawati. Sekarang kok malah kamu mengatakan aku hebat?” aku mulai menjalankan misiku.
Mala kaget dengan perkataanku barusan. Ia menunduk dan ada raut wajah menyesal di wajahnya yang putih kusam. Aku sangat senang melihat sikap salah tingkahnya itu.
“Kok kamu kerja di sini? Orang secantik kamu kan enaknya jadi sekretaris di kantoran. Sayang cantik-cantik hanya jaga koperasi, kasihan deh kamu,” aku tidak peduli dengan wajahnya yang makin merah dan ada air mata menggenang di sudut matanya.
Aku keluar dengan senyum lebar dan dada yang kurasakan makin longgar. Sekilas aku menolehkan kepala ke belakang dan kulihat Mala mengusap air matanya. Sambil menuju mobil aku tertawa lepas dan tak kupedulikan lirikan sejumlah guru yang melintas di dekatku.
Sambil mengemudikan mobil aku masih tertawa-tawa. Dendamku sudah terlampiaskan sesuai rencanaku. Orang-orang yang pernah menyakitiku dulu kaget dan shock mendengar kata-kata pedasku. Setiap mengingat wajah penyesalan mereka, tawaku makin keras.
***
Aku seperti kehabisan tenaga untuk tertawa lepas, ketika kurasakan ada jarum yang runcing menusuk kulitku. Aku berusaha untuk terus tertawa menikmati kemenanganku, tapi aku tak sanggup. Di depan ada wanita berbaju putih, ia memegang bahuku dan tersenyum. Sementara di sebelahnya ibuku menangis.
“Dia sudah mulai tenang dan akan tertidur, nanti kita akan memeriksanya lebih intensif. Ibu sabar saja,” sayup-sayup aku mendengar kata wanita yang di dadanya tertulis Rumah Sakit Jiwa Waras.***tamat
Posting Komentar untuk "Cerpen :DENDAM"
Terimakasih sudah berkunjung
Silahkan berkomentar .
Mohon maaf komentar dimoderasi