Cerpen :RUMAH WARISAN
Salime menutup pintu setelah tiga orang itu pergi menjauhi rumahnya dengan menggunakan mobil sedan merah. Wanita itu menuju kamar dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.
Ia memejamkan mata, mencoba melepaskan semua penat dan berharap bisa tertidur. Namun setelah lima menit, sepuluh menit dan hampir setengah jam, Salime masih belum bisa tertidur. Matanya memang terpejam tapi pikirannya melayang-layang. Ia teringat kembali perbincangan dengan ketiga tamu yang datang tadi.
Tadi, usai Shalat Zuhur, Salime didatangi oleh tiga orang tamu. Dua laki-laki dan satu wanita. Ketiganya berpakaian rapi, layaknya orang kantoran. Wanita muda berkulit bersih itu membawa sebuah tas kerja dan sebuah map di tangan. Sementara pria yang berdasi merah membawa tas koper berwarna hitam.
“Selamat siang, bisa bertemu dengan Ibu Salime?” ujar tamu yang wanita. Sebuah senyum yang terkesan dipaksakan menyungging di bibir tipis bergincu merah menyala. Sementara kedua pria di belakangnya juga menyungingkan senyum tipis.
“Saya sendiri….ada apa ya?” jawab Salime, sambil lebih lebar membuka pintu rumahnya.
“Boleh kami masuk, lebih baik kita berbicara di dalam saja,” balas wanita itu, tanpa menjawab pertanyaan Salime.
“Oh, silahkan. Masuk saja, silahkan duduk,” Salime tanpa ragu menyilahkan ketiganya masuk.
Wanita tadi melirik kepada kedua orang rekannya sebelum memulai bicara. “Saya Susan, dua teman saya ini Farid dan Tarno. Kami dari PT Terus Membangun,” tuturnya sambil menjabat tangan Salime. Kedua pria tadi juga mengikuti.
Sebelum Salime bertanya tujuan kedatangan mereka, wanita yang menjadi juru bicara tadi melanjutkan pembicaraan. Katanya, mereka diutus kantor mereka untuk menemui Salime guna menawarkan jual beli tanah dan rumah yang saat ini dihuni oleh Salime. Perusahaan mereka yang bergerak dalam bidang pengembang perumahan, pertokoan dan perkantoran itu, kata Susan, bersedia menawar dengan harga tinggi.
“Kami tahu, tanah dan rumah ini nilainya pasti tinggi. Karena berada di tempat strategis, sebab di sekitar sini pada umumnya sudah berdiri pertokoan dan perkantoran. Jadi kami bersedia menawar dengan harga tinggi. Bagaimana, Ibu?” tutur Susan dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
Dalam hatinya Susan yakin, kalau jurus merayu yang sudah beberapa kali diterapkan itu pasti akan berhasil membujuk Salime. Karena beberapa kali ia berhasil membeli rumah dan tanah tanpa kesulitan dengan cara menawarkan harga tinggi.
Salime mengernyitkan dahinya. Ia bingung karena selama ini ia tidak pernah merasa akan menjual tanah dan rumahnya. Jangankan menjual, berniat pindah dari rumah warisan suaminya itu saja ia tidak pernah.
“Maaf, mungkin ibu salah orang. Saya tidak berniat untuk menjual rumah dan tanah ini. Mungkin Salime yang ibu cari adalah orang lain, bukan saya,” Salime menduga ketiga tamunya itu salah orang.
Ketiga tamunya tadi saling berpandangan. Susan kembali berbicara, “Hmm, tidak. Kami tidak salah orang. Memang mungkin ibu selama ini belum ada rencana menjual tanah dan bangunan ini. Tapi kami ingin membelinya dengan harga tinggi dan ibu bisa membeli rumah yang baru. Atau ibu bisa membeli rumah yang kami bangun. Harganya kami bisa pertimbangkan untuk ibu,” Susan memberi kode pada lelaki yang ada di sampingnya.
Pria berkacamata itu membuka koper hitam yang dari tadi diletakan di atas meja tamu. Ia menghadapkannya ke arah Salime yang kontan terkejut melihat uang kertas pecahan seratus ribu begitu banyak.
“Uang ini ada lima puluh juta rupiah, kalau ibu setuju ini bisa kami jadikan panjar untuk membeli rumah dan tanah ini. Nanti sisanya kami bayarkan kalau semua proses jual beli sudah selesai. Bagaimana, Ibu?”
Salime tidak menjawab, ia hanya diam. Rasa terkejut masih belum sirna sepenuhnya. Sementara ketiga tamunya saling lirik dan yakin Salime akan menerima tawaran mereka.
“Ibu Salime sedang tidak melamunkan?” pertanyaan Susan kali ini mengejutkan Salime yang masih bengong.
“Ohh…maaf. Saya…saya tidak bisa memutuskannya sekarang. Maaf ya,” Salime tergagap dan menghapus keringat di keningnya.
“Oke ibu, tidak apa-apa. Ibu masih perlu berpikir ulang dulu berapa harga jual tanah dan rumah ini. Yang jelas kami akan membeli dengan harga tinggi,” Susan begitu yakin kalau kebingungan Salime barusan, karena tidak pernah membayangkan akan memiliki uang ratusan juta dalam sekejap. Susan teramat yakin kalau Salime tentu menerima tawarannya.
“Oh…ya, mungkin…oh tidak…hmm…nanti saja,” ucapan yang keluar dari mulut Salime belepotan, tidak jelas.
Tapi oleh Susan hal itu dianggap sebagai sinyal bahwa mereka memiliki peluang besar. “Baik ibu. Mungkin satu minggu dari sekarang kami akan datang lagi. Silahkan ibu berpikir dulu, nanti jika kami datang lagi kami yakin uang ini sudah ada di tangan ibu,” Susan mengumbar tawa dan diikuti oleh kedua temannya.
Salime mengangguk-angguk dan hanya sebuah senyuman kecil mengembang di bibirnya. Susan bangkit diikuti oleh kedua temannya dan berpamitan kepada Salime yang masih duduk.
“Ibu jangan bingung gitu, donk. Mau dikasih uang jangan kaget. Senang donk, Bu, bisa untuk masa depan,” kembali Susan melancarkan jurus mautnya.
“Iya, terima kasih,” Salime mengantarkan ketiga tamunya itu sampai di teras depan. Ia terus menatapnya hingga ketiganya menaiki mobil yang di parkir di tepi jalan besar.
Salime mengembuskan nafas panjang dan membalikan tubuhnya ke arah dinding tempat pinggir ranjangnya menempel. Ia menatap foto mendiang suaminya, Yunus, yang seakan selalu memandang dirinya penuh kasih sayang. Laki-laki berkumis tipis di dalam foto itu telah mendahului menghadap yang kuasa tujuh tahun silam.
Pria yang begitu dicintainya itu yang mewariskan rumah berikut tanah yang kini ditempatinya. Suaminya juga mendapatkan tanah dan rumah itu dari warisan orang tuanya. Bahkan konon rumah ini juga berasal dari kakek suaminya.
Sebelum meninggal dunia, suami Salime pernah berpesan jika rumah dan tanah yang mereka tempati saat ini akan menjadi hak Yahya, anak laki-laki mereka. Salime dikarunia tiga orang anak, anak pertama dan kedua perempuan sementara yang bungsu laki-laki. Jadi sesuai adat dan kebiasan, rumah dan tanah itu nantinya juga akan diwariskan ke Yahya.
Kedua anak perempuannya, Hesti dan Tina sudah menikah dan dikarunia anak. Keduanya mengikuti suaminya menetap di kota yang sama. Sementara si bungsu, Yahya, masih kuliah dan tinggal bersamanya di rumah yang cukup besar itu.
Rumah yang ditempati Salime berarsitektur tua. Bangunan rumah itu berbentuk panggung namun permanen. Di bagian depan ada teras yang luas dan dipagari tembok teralis. Di atas pagar itu diletakan bermacam-macam jenis bunga dalam pot. Ada dua perangkat kursi dari kayu di sana yang biasa digunakan duduk-duduk atau menerima tamu yang akrab.
Untuk menaikinya, ada tangga di kiri kanan bagian samping dan depan bangunan. Bagian dalam rumah itu luas, memanjang ke belakang. Ruang tamunya hampir sama luasnya dengan teras.
Di dalamnya juga ada kursi tamu dari kayu model lama, namun dilapisi busa yang ditutupi kain bercorak bunga-bunga warna merah tua. Jendela rumah terbuat dari kayu tanpa kaca. Di dinding rumah terdapat sejumlah foto-foto keluarga dari dua generasi keluarga almarhum suaminya.
Empat kamar besar saling berhadapan, dipisahkan oleh sebuah lorong. Dulu semua kamar itu ada penghuninya. Namun sekarang hanya dua kamar yang diisi, kamar yang ditempati Salime dan kamar Yahya. Meski dua kamar yang lain kosong, tapi setiap hari Salime masih membersihkan dan menata tempat tidurnya. Sesekali jika Hesti dan Tina memboyong keluarga mereka berlibur, kamar itu akan kembali terisi.
Di bagian belakang rumah yang dihubungkan dengan lorong tadi, ada ruang terbuka seperti teras depan. Namun ukurannya lebih luas. Tapi ruangan keluarga dan sekaligus ruangan makan ini tidak ditutupi tembok mati seluruhnya. Setengah tembok itu memiliki lobang-lobang angin berbentuk segi enam, sehingga baik orang dari luar maupun yang berada di dalam saling bisa melihat.
Ruangan belakang itu dihubungkan dengan sebuah jembatan yang beratap ke bangunan lain sepanjang lima meter. Jembatan itu di kiri-kanannya dipagari teralis kawat besar.
Bangunan itu adalah dapur dan kamar mandi. Di dekat tempat memasak juga tidak ditembok mati. Ada lubang angin di beberapa sisinya. Dapurnya luas. Kamar mandinya ada dua.
Di sebelah kanan bangunan, berjarak sekitar 15 meter dan sejajar dengan bangunan dapur, ada bangunan yang terdiri dari dua kamar. Bangunan itu difungsikan untuk mushala dan tempat mengaji anak-anak tetangga.
Dulu kedua mertuanya yang mengajar mengaji anak-anak itu. Salime dan suami juga sering membantu mengajar. Semenjak anaknya sudah besar dan sang suami sudah berpulang, Salime sendirian yang mengajar anak-anak itu mengaji. Yahya hanya sesekali membantu.
Mendiang suaminya pernah mengatakan, perancang rumah itu adalah kakeknya. Waktu itu suaminya tidak pernah memberitahukan mengapa rumah itu dibangun seperti itu. “Kamu akan tahu jawabannya setelah tinggal di dalam rumah ini,” ujar suaminya ketika pertama kali memboyong Salime ke rumah itu setelah pernikahan mereka.
Waktu itu kedua orang mertuanya yang sudah lanjut usia masih ada. Suami Salime hanya dua bersaudara dan merupakan anak bungsu. Karena anak laki-laki dan satu-satunya, jadi suaminya yang berhak atas rumah itu.
Sejak malam pertama tinggal di rumah besar itu, Salime sudah mulai mendapatkan jawabannya. Rumah itu sangat nyaman untuk ditinggali. Bagaimana tidak, rumah itu berdiri di tanah yang sangat luas.
Meski berada di tepi jalan besar, namun suara kendaraan yang lalu lalang tidak mengusik istirahat penghuninya. Rumah itu dibangun jauh di tengah pekarangan yang luas tersebut. Ada sekitar tiga puluh lima meter dari jalan besar. Tanah itu dikelilingi pagar tanaman hidup. Dari jalan besar, ada jalan kecil yang terbuat dari batu kali yang disemen.
Di sekeliling rumah itu ditanami aneka pohon, ada pohon buah-buahan dan pohon pelindung. Di bagian kanan ada kebun kecil yang ditanami bermacam sayuran, dari mulai kacang panjang, ubi kayu, pare, cabe rawit dan tanaman untuk bumbu dapur.
Di bagian sudut belakang ada kandang ayam yang terbuat dari kayu. Kandang itu langsung berlantai tanah dan hanya beratap setengahnya. Sehingga ayam-ayam seperti hidup di alam terbuka. Di sebelah kandang ayam ada kolam yang di dalamnya dipelihara ikan lele.
Salime merasa tinggal bukan di sebuah kota besar, tapi seperti di desa. Seperti di kampung asal orangtuanya tempat ia dibesarkan. Karena meski berada di kota besar ia tidak kehilangan pepohonan, kokok ayam di pagi hari serta desau dedaunan yang menghantarkan angin segar ke dalam rumah
Salime kembali membalikan badannya. Sekarang ia menghadap jendela besar di kamarnya yang langsung menghantar pemandangan ke pekarangan. Matanya masih menerawang seakan menembus nun jauh ke desanya.
Masih jelas diingatannya saat sang mendiang suaminya yang bertugas mengajar di desa, melamar dan mengajak dirinya menikah. Saat itu suaminya mengatakan, setelah menikah mereka akan pindah ke kota, ke tempat asal suaminya.
Tapi waktu itu Salime sempat menolak, ia tidak mau pindah ke kota. Setahu Salime, kota itu gersang, panas, sebab pepohonannya sudah habis ditebang. Bahkan hutan lindung pun dibabat untuk dijadikan pabrik, perumahan dan pertokoan.
Salime tetap ingin di desanya yang asri, yang masih hijau. Salime tidak mau kehilangan kokok si Burik, ayam jantan bapaknya, di setiap subuh. Salime tidak mau kehilangan desau dedaunan di depan rumahnya, yang memberikan kesejukan dan kedamaian penghuninya.
Salime juga tidak mau kehilangan air pancuran yang mengalir jernih di belakang rumahnya. Pokoknya Salime tidak mau ke kota karena ia pasti tidak bisa memakan sayuran segar yang dipetik di kebun. Karena di kota sayuran sudah diberi pengawet dan tidak lagi segar.
Namun mendiang suaminya membujuk dan menyakinkan Salime kalau dia akan tetap memiliki apa yang ia dapatkan di desa selama ini. Kata suaminya pada waktu itu, tidak semua tempat di kota seperti yang dibayangkan Salime. Masih ada tempat yang seperti Salime inginkan.
Bahkan suaminya bersedia berjanji, jika apa yang ia katakan tidak seperti yang Salime lihat nanti di kota, maka mereka akan kembali ke desa. Karena janji suaminya itu Salime bersedia meninggalkan Mak, Bapak, dan adik-adik serta suasana desanya.
Ternyata apa yang dikatakan suaminya benar, Salime tidak menyangka kalau di kota masih ada rumah dengan pekarangan luas yang ditanami bermacam pohon. Ada kebun sayuran, ada kolam ikan dan kandang ayam.
Salime tersenyum mengingat semua itu. Ia kembali membalikan tubuhnya, telentang memandang langit-langit kamar. Salime mencoba kembali memejamkan matanya yang berat, tapi pikirannya tetap melayang-layang.
Waktu kedua mertuanya masih ada, Salime yang menjadi ibu rumah tangga tulen juga membantu membersihkan halaman yang luas. Dedaunan yang gugur dijadikan pupuk kompos untuk menyuburkan sayuran.
Ketika anak-anaknya sudah besar, mereka juga ikut membantu membersihkan sekeliling rumah itu serta merawat tanaman dan ternak. Sementara sang suami hanya bisa membantu pada hari minggu saat libur mengajar.
Suaminya seorang guru sekolah menengah berpangkat rendah. Gaji yang rendah mengharuskan sang suami untuk mengajar di sekolah lain di waktu sore. Salime dan suaminya bertekad bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi, menjadi sarjana.
Untuk menambah biaya sekolah anak, Salime juga membantu suami menabung dari uang hasil kebun, telur ayam dan lele. Salime tidak menjual langsung ke pasar, tapi sudah ada orang yang datang ke rumah untuk membeli.
Semua jerih payahnya menunjukan hasil. Kedua anaknya berhasil menjadi sarjana dan bekerja. Sekarang si bungsu Yahya juga hampir menamatkan kuliah dari hasil uang pensiun ditambah hasil kebun dan ternak.
Kini, sejak suaminya meninggal dan dua anak perempuannya menikah, hanya Salime seorang yang membersihkan pekarangan yang luas itu. Yahya tidak setiap hari membantu, karena ia sibuk dengan kuliah. Bagi Salime hal itu tidak masalah, asal anaknya kuliah sungguh-sungguh dan berhasil menjadi sarjana.
Setiap hari selepas Subuh, Salime mengambil sapu lidi. Menyapu pekarangan dan mengumpulkan dedaunan yang gugur. Dedaunan itu dimasukan ke dalam lubang, sebelum diolah jadi kompos.
Meski melelahkan, karena usianya yang sudah tua, tapi Salime tetap senang melakukan rutinitas itu. Baginya kegiatan menyapu pekarangan setiap pagi itu adalah olahraga yang menyehatkan karena mengeluarkan keringat.
Ketika mentari mulai mengintip di balik rimbunnya dedaunan, Salime sudah selesai menyapu sekeliling rumah dan memberi makan ayam dan lele. Sambil beristirahat di teras depan, Salime menyantap sarapan yang dibeli dari penjaja keliling yang setiap pagi menyinggahi rumahnya.
Ditemani secangkir teh hangat, Salime menghabiskan sarapan sambil memperhatikan kesibukan lalu lalang kendaraan di depan rumahnya. Rutinitas Salime dilanjutkan dengan membersihkan bagian dalam rumah serta mushala kecil.
Mushala itu adalah peninggalan kakek suaminya. Sejak dibangun, mushala itu selalu menjadi tempat shalat seluruh anggota keluarga. Bahkan anak-anak tetangga ikut mengaji di situ. Sekarang anak-anak yang belajar mengaji semakin sedikit.
Setelah merapikan rumah, Salime meneruskan rutinitasnya memasak untuk makan siang dan malam. Biasanya menjelang Zuhur, Salime sudah selesai memasak dan makan siang. Selesai sholat, Salime menghabiskan waktunya untuk istirahat dan tidur siang melepas penat, sampai menjelang Ashar.
Ba’da Ashar anak-anak yang mengaji akan datang dan Salime harus mengajarnya hingga menjelang Magrib. Begitulah hari-hari yang dilalui Salime di rumah warisan penuh kenangan itu.
***
Suara bocah-bocah di luar rumah yang mulai berdatangan untuk mengaji mengejutkan Salime dari lamunan panjangnya. Ia melirik jam dinding, ternyata sudah hampir pukul empat sore.
Salime ingat ia belum Shalat Ashar. Bergegas ia mengambil air wudhu. Di mushalla anak-anak yang diajarnya sudah menunggu, duduk bersila di depan meja kecil tempat meletakan Al Quran. Kini Salime larut dalam dalam keseriusannya mengajarkan bocah-bocah itu mengenal dan merangkaikan huruf-huruf Al Quran.
***
Pagi itu Salime bangun dengan rasa penat dan tidak sesegar biasanya. Tapi kewajiban setiap selesai Sholat Subuh, memaksanya untuk turun dari tempat tidur. Sebelum melangkah ke dapur, ia membuka pintu kamar Yahya. Anak bujangnya itu ternyata masih pulas.
Tadi malam Salime memang tidak menunggu sampai Yahya pulang. Biasanya mereka makan malam berdua, menonton bersama sambil bercerita. Selepas Isya Salime telah menelpon Yahya, ia mengatakan lebih dahulu tidur karena kurang enak badan. Jadi Yahya akan membuka pintu dengan kunci cadangan yang dibawanya sendiri, dan makan malam tanpa ditemani Salime.
Salime merasakan kakinya sedikit pegal dan sakit. Salime yakin encoknya mulai kambuh. Tapi tebaran dedaunan yang menjadi pemandangan setiap hari memaksanya untuk mengayunkan sapu lidi.
Salime menselonjorkan kakinya di atas kursi. Pegal dan penat semakin terasa. Salime mengurut-ngurut kakinya sambil menunggu penjual sarapan datang.
Sejak dua tahun terakhir Salime menderita encok. Rasa pegal dan penat sering ia rasakan dan itu sangat menyiksa jika kambuh. Pernah ia terbaring empat hari. Anak-anaknya meminta Salime tidak perlu menyapu pekarangan selepas Subuh.
“Ibu tidak usah menyapu pekarangan lagi. Udara pagi kan sangat dingin, apalagi di lingkungan rumah kita yang banyak pohon-pohon ini. Itu mungkin yang menyebabkan ibu menderita encok. Pekarangan ini diupahkan pada orang lain saja yang membersihkannya, biar kami yang membayar,” tutur Tina waktu itu.
Tapi Salime tidak mau menuruti permintaan anak-anaknya. Salime merasa jika ia masih sanggup untuk mengerjakan semua rutinitas itu, ia akan tetap melakukannya. Salime merasa lebih bangga melakukannya dengan tangannya sendiri. Semua itu ia lakukan sebagai wujud kecintaannya dan menjalankan pesan sang suami.
“Jadikanlah rumah ini surga bagi kita dan anak-anak kita. Aku yakin kedua tanganmu ini akan bisa membuat rumah ini tempat yang paling menyenangkan bagi aku dan anak-anak kita,” begitu pesan sang suami, saat mertuanya menyatakan rumah itu telah sah menjadi hak suaminya.
Pernah juga kedua anaknya yang sudah menikah itu mengusulkan agar sebahagian tanah itu dijual saja, sehingga Salime tidak terlalu capek mengurusnya. Tapi Salime tidak menanggapi. Ia tidak ingin warisan yang sudah turun temurun berpindah ke orang lain.
Memang suaminya tidak pernah mengatakan larangan bagi Salime jika ingin menjual sebahagian dari tanah warisan itu. Tapi Salime tahu diri, sebagai seorang istri yang mengurus peninggalan suami, hal itu tidak mungkin dilakukannya.
Menjual sebahagian harta benda warisan bagi Salime berarti ikut menjual kenangan yang sudah terangkai 33 tahun sejak ia pertama kali tinggal di sana. Rumah dan pekarangan yang luas itu bagi Salime bagaikan sebuah ruh yang menghidupi raganya.
Pernah juga kedua anak perempuannya itu meminta agar Salime tinggal dengan mereka. Salime di rumah Tina dan Yahya ikut dengan Hesti. Rumah dan pekarangan disewakan pada orang lain. Jika sudah waktunya Yahya menikah, rumah itu diambil kembali.
Tapi Salime tetap tidak mau mengikuti permintaan kedua anaknya itu. Salime tetpa bersikeras tinggal di rumah warisan itu. Salime tidak peduli tetangga-tetangganya yang mengatakan dirinya aneh. Karena tetangga kiri kanan dan seberang jalan sejak tiga tahun lalu sudah pindah ke komplek perumahan yang sedang marak dibangun.
Rumah dan tanah mereka dijual kepada orang lain dan digantikan dengan bangunan bertingkat. Pada umumnya jadi tempat perkantoran dan pertokoan. Praktis di sekitar situ hanya rumah Salime dengan pekarangan yang luas terjepit di antara bangunan bertingkat itu.
Waktu itu tidak ada yang menawarkan Salime untuk menjual rumah dan tanahnya. Mungkin para pembeli itu adalah perorangan yang terbatas keuangan, sehingga mereka berpikir panjang untuk menawar rumah dan tanah Salime yang nilai jualnya pasti sangat mahal.
Namun saat itu Salime tetap bulat hati tidak akan menjual rumah dan tanah miliknya. Meski pun begitu, Salime masih punya toleransi dan tenggang rasa. Dua tahun lalu ada pelebaran jalan. Pagar Salime ikut terkena proyek.
Salime tidak pernah meminta ganti rugi. Baginya demi kepentingan umum ia rela berkorban tanah selebar lima meter. Meski harus kembali menanam tanaman hidup untuk pagar, Salime tetap tidak menyesal merelakan tanahnya terkena imbas pelebaran jalan.
Sekarang Salime hanya punya tetangga yang berada di bagian belakang pekarangannya yang luas. Kira-kira 15 meter ke belakang dari batas pagar tanahnya ada pemukiman kecil warga. Melalui jalan pintas setapak dari belakang pekarangannya itulah Salime biasanya menuju pemukiman itu, untuk arisan atau wirid mingguan.
“Ibu, pagi-pagi sudah melamun. Tumben ada apaan?” suara Mariyam, penjual sarapan, mengejutkan Salime yang sejak tadi menerawang.
“Ehh….Bu Mariyam sudah dari tadi, ya?”
“Tidak, Bu. Baru saja. Ibu mau sarapan apa hari ini?” Mariyam yang hampir sepantaran Salime membuka keranjang yang dibawanya.
Salime mengambil dua bungkus nasi lemak ditambah tahu dan tempe goreng. Sarapan itu untuk berdua dengan Yahya. Setelah menerima uang, Mariyam pergi tanpa lupa mengucapkan terima kasih.
Yahya muncul dari dalam. Ia sudah tampak segar karena baru selesai mandi.
Anak muda yang mewarisi wajah mendiang bapak itu duduk di depan ibunya. “Ibu tadi malam kenapa tidur cepat, encoknya kambuh ya?” tanya Yahya sambil membuka bungkus daun berisi nasi lemak.
"Iya sedikit, nanti tolong kamu urut ya?”
Yahya tidak menjawab, hanya memberi tanda isyarat mata, karena mulutnya penuh makanan.
Salime hendak merapikan rumah seperti biasanya, tapi dicegah Yahya. Katanya Salime istirahat saja dan dia yang akan merapikan rumah.
“Ibu istirahat saja, nanti saya urut kaki ibu dan diolesi param.”
“Memang kamu tidak kuliah?”
“Masuk siang.”
Sembari mengurut dan mengolesi bedak param ke kaki Salime, Yahya membujuknya untuk pindah ke rumah salah seorang kakaknya. Yahya juga membujuk rumah dan tanah itu disewakan saja. Bahkan yang membuat Salime kaget, Yahya mendukung penuh jika Salime ingin menjual rumah dan tanah yang akan jatuh ke tangannya itu.
“Kondisi zaman sudah berubah, Bu. Anak-anak muda sekarang lebih suka yang praktis dan simpel. Kalau saya bekerja, menikah dan punya istri yang bekerja juga, tidak mungkin tinggal di rumah seperti rumah kita sekarang,”
Kata Yahya, jika ingin tetap memiliki rumah dengan konsep alami, bisa juga ditemukan pada sejumlah perumahan, tapi dengan luas pekarangan yang tidak seperti rumah Salime saat ini.
Salime tidak berkomentar. Dalam hatinya Salime begitu sedih dan bingung. Mengapa anak-anak sekarang tidak menghargai sejarah. Bagi Salime rumah dan pekarangan yang luas itu menyimpan berjuta sejarah.
Sejarah dari kakek dan nenek suaminya, sejarah orangtua suaminya dan sejarah keluarganya juga. Di rumah itu ketiga anak-anaknya dilahirkan, dibesarkan hingga dewasa.
Begitu banyak suka dan duka yang dilewati bersama di rumah itu. Rumah yang tidak tergantikan dengan nilai rupiah. Salime bahkan berharap, Yahya akan melanjutkan apa yang telah berlaku di keluarga itu selama turun temurun.
Membawa istrinya kelak tinggal di rumah itu. Mengurus tanaman dan ternak serta mengajar anak-anak mengaji. Tapi kondisi zaman sepertinya telah merubah pola pikir generasi sekarang. Mereka lebih memprioritaskan kerja, baik laki-laki dan wanita yang seharusnya mengurus rumah tangga. Sehingga mengurus rumah menjadi urusan pembantu.
“Ibu marah ya? Maaf ya, Bu. Saya tidak memaksa. Tapi semua kan demi kesehatan ibu. Lihat sekarang karena sering kena embun dan dinginnya udara pagi, encok ibu sering kambuh kan,” ucapan Yahya menghentikan lamunan Salime.
“Ya udah…ibu mau istirahat dulu,” Salime tidak mau membahasnya lebih jauh.
***
Azan Zuhur bergema, Salime terbangun dari tidurnya. Tapi saat hendak turun dari ranjang, ia kesulitan. Kakinya terasa berat dan kaku. Salime mencoba sekali lagi, tapi tetap tidak bisa.
Salime memangil Yahya. Anak bujangnya itu datang dan terkejut melihat ibunya meringis menahan sakit. Yahya menelpon klinik yang tidak jauh dari rumah. Tak lama kemudian sebuah mobil datang menjemput. Salime dibawa ke klinik dan Yahya memberitahukan Tina dan Hesti tentang kondisi Salime.
Mereka berdua datang ketika Salime telah selesai diperiksa. Hesti dan Tina menemui dokter. Kata dokter ibu mereka harus lebih banyak istirahat mengingat usia Salime yang sudah hampir 60 tahun.
“Kata dokter ibu harus banyak istirahat, tidak perlu memaksakan diri mengurus rumah dan pekarangan. Kalau mau keluar keringat sekedar saja, jangan masih subuh. Udaranya dingin. Ibu tak perlu memaksakan turun ke pekarangan,” ujar Tina ketika menemui Salime di ruang perawatan.
Salime tidak menjawab, ia hanya mengangguk-angguk dan begantian menatap ketiga anaknya yang mengkhawatirkan dirinya.
“Ibu mau pulang saja, istirahat di rumah,” Salime akhirnya buka mulut, ketika ketiga anaknya selesai mengutarakan pendapat mereka tentang kesehatan Salime.
Ketiga anaknya tidak berusaha mencegah, karena tahu sifat keras kepala ibu mereka. Demi menjaga perasaan sang ibu yang sudah tua, mereka mengalah dan membawa Salime kembali ke rumah.
Kebetulan akhir pekan, Tina dan Hesti memboyong keluarga mereka ke rumah. Salime terhibur dengan kedatangan anak-anak, menantu dan tiga orang cucunya.
Salime merasa kembali pada masa lalu, rumah yang ramai dengan suara anak-anaknya. Salime membayangkan jika suaminya masih hidup, tentu suasana rumah akan semarak. Sang suami suka bercerita dan bercanda menghibur mereka sekeluarga.
Mengingat semua itu, Salime semakin tidak ingin menghapus semua kenangan indah di rumahnya. Ia merasa semakin mencintai rumah dan tidak ingin meninggalkannya meski sehari saja.
Tapi pemikiran Salime tetap berbeda dengan ketiga anak-anaknya. Mereka tetap menginginkan Salime ikut salah seorang dari mereka.
“Ibu lihat, ada seorang ibu yang tinggal sendirian terluka parah dianiaya perampok yang memasuki rumahnya,” seru Tina sambil menunjuk ke arah televisi yang sedang menayangkan berita kriminal.
“Dia saja tinggal di komplek perumahan, masih bisa kena rampok. Apalagi ibu yang tinggal di rumah sebesar ini. Aduh saya jadi khawatir, ibu ikut saya saja, ya?” kali ini giliran Hesti yang berbicara.
“Musibah itu bisa terjadi di mana saja, di tengah banyak orang pun jika kena mau mendapat musibah akan terjadi. Yang penting selalu berdoa dan minta perlindungan Tuhan,” Salime tidak terpengaruh kekhawatiran anak-anaknya.
Ketiga anak Salime yang menemaninya beristirahat hanya bisa saling pandang dan geleng-geleng kepala melihat sikap ibu mereka yang keras bagai batu. Suara dering telepon mengejutkan mereka yang asyik menyaksikan tayangan televisi.
“Dari Susan, katanya mau berbicara dengan ibu,” Yahya menyerahkan gagang telepon pada Salime.
Ternyata yang menelpon adalah Susan, wanita dari PT Terus Membangun yang tempo hari pernah datang menawarkan jual beli rumah kepada Salime. Sebelum menuturkan keperluannya, wanita itu meminta maaf karena hari minggu yang merupakan hari libur masih tetap melakukan urusan bisnis.
“Maklum, Bu. Orang bisnis tidak tahu hari libur. Maaf ya kalau mengganggu,” terdengar suara yang diselingi tawa kecil diseberang.
“Ia tidak apa-apa. Hmm…ada apa ya? Salime mencoba bertanya,” meski ia sudah meraba maksud wanita di seberang telepon.
Susan mengatakan, ia hanya ingin mengetahui bagaimana perkembangan pemikiran Salime selama beberapa hari ini. Apakah sudah pasti untuk menerima tawarannya guna menjual rumah dan pekarangannya.
“Hmmmm……” Salime diam sejenak dan memandang ketiga anaknya yang sejak tadi memperhatikan pembicaraannya.
“Gimana, Bu?” suara Susan tidak sabar.
“Nanti saja, jika anda sudah datang kembali ke tempat saya. Nanti keputusan akan saya berikan,” jawab Salime akhirnya.
“Terima kasih ibu, semoga keputusan ibu tidak mengecewekan kami.”
“Mudah-mudahan,” balas Salime, yang disambut rasa senang di seberang sana. Susan begitu yakin Salime akan menerima tawarannya.
Yahya mengambil gagang telepon dari Salime. Tapi ia tidak langsung meletakannya ke tempat semula, namun mengungkapkan keingintahuannya yang dari tadi dipendamnya.
“Sepertinya telepon dari perusahaan pengembang perumahan, memangnya ada apa, Bu? ibu ada rencana menjual tanah dan rumah ini?” tanya Yahya dengan nada tidak percaya.
Sementara Hesti dan Tina juga memandang tidak percaya ke arah Salime. Beragam pertanyaan juga muncul di benak mereka atas telepon barusan.
Salime tidak menjawab, ia hanya menghembuskan nafasnya dan memperbaiki duduknya.
“Ibu tolonglah cerita pada kami,” Hesti mendesak Salime yang tampak menerawang.
“Baiklah,” akhirnya Salime mau bercerita juga.
Ia menceritakan tentang kedatangan Susan dan dua orang rekannya tempo hari. Salime juga menceritakan tentang panjar yang ditawarkan mereka, dan rencana kedatangan mereka tiga hari mendatang guna mendengarkan kepastian dari Salime.
“Trus…..apa keputusan, Ibu,” Yahya tak sabar
“Ibu belum memberikan keputusan, tapi sepertinya ibu akan tetap dengan tekad ibu selama ini. Ibu tidak akan pernah menjual warisan almarhum bapak kalian,” jawab Salime pelan tapi tegas
Ketiga anaknya hanya diam mendengarkan jawaban Salime. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing tentang. Suasana hening sejenak. Di luar hanya terdengar suara cucu dan menantu Salime yag bersenda gurau bermain di halaman.
“Ibu…apa tidak sebaiknya ibu mempertimbangkan dan memikirkan kembali tawaran perusahaan tadi,” Yahya memecahkan keheningan.
Yahya menyampaikan sejumlah alasannya, yang beberapa kali pernah Salime dengar dari mulut anak bujangnya itu. Bahkan kali ini ada beberapa alasan yang belum pernah didengar Salime.
“Coba ibu lihat, di depan, samping kiri dan kanan rumah kita ini semuanya ruko, menjadi perkantoran dan tempat usaha. Kota ini makin berkembang, Bu. Bahkan dalam waktu dekat daerah sepanjang jalan raya ini sekitar tempat tinggal kita ini akan ditetapkan dalam kawasan niaga dan jasa pada tata ruang kota ini. Jadi di daerah kita ini tidak ada pemukiman, kecuali pemukiman yang berada jauh dari jalan raya, seperti yang di belakang rumah kita,” Yahya memaparkan panjang lebar.
Yahya juga kembali menyatakan rasa tidak keberatannya jika rumah dan tanah itu dijual Salime. Toh ia juga menyatakan kelak tidak akan menetap di rumah itu dan memilih tinggal di komplek pemukiman.
“Kami terserah ibu dan Yahya, kami tidak mau ikut campur terlalu jauh. Yang kami pikirkan sekali adalah kesehatan ibu, karena itu kami menawarkan ibu tinggal di rumah kami,” Hesti menimpali.
Salime diam, dalam hatinya ia merasa ada benarnya kata anak-anaknya barusan. Tapi jauh di hati kecilnya, ia tidak dapat meninggalkan rumah tanah warisan mendiang suaminya itu. Ada cinta yang begitu besar, seperti besarnya cinta ia kepada bapak dari anak-anaknya itu.
“Baiklah, pendapat kalian akan ibu pertimbangkan. Mungkin sudah saatnya ibu mengalah. Toh, kalian juga yang akan mengurus semua peninggalan di sini,” Salime akhirnya membuka suara. Ada kepasrahan di dalamnya.
“Maaf ibu, bukan maksud kami memaksa ibu. Tapi kondisi saat ini yang mungkin harus meninggalkan rumah ini. Tapi bukan berarti meninggalkan semua kenangan indah selama ini, Bu. Kami dan cucu-cucu ibu, adalah kenangan dan warisan yang berharga juga kan,” Tina yang dari banyak diam akhirnya buka suara.
“Yaa…kalian dan cucu-cucu ibu adalah harta yang sangat berharga bagi ibu saat ini, kalian adalah warisan tak ternilai dari mendiang bapak,” timpal Salime, pelan.
“Ibu akan terima tawaran perusahaan itu,” imbuh Salime.
Ketiga anaknya yang mendengarkan keputusan Salime tidak menunjukan gembira yang berlebihan. Toh, intinya bagi mereka bukan masalah uang, tapi adalah kesehatan ibu mereka dan perhatian yang akan mereka curahkan untuk Salime dalam menghabiskan hari tua.
Salime diantar oleh Tina dan Hesti ke kamar untuk beristirahat. Meski kakinya sudah mulai membaik, tapi kedua anak perempuannya itu tidak mau membiarkan sang ibu berjalan sendirian.
Ba’da Ashar, Hesti dan Tina bersiap-siap kembali ke rumah mereka masing-masing. Salime memanfaatkan waktu yang ada bersenda gurau dengan tiga orang cucunya di teras.
Salime merasa sangat bahagia melihat ulah dan tingkah laku cucunya. Ia merasakan suasana seperti itulah yang sangat jarang ia dapatkan selama ini. Tapi Salime tidak mau lama hanyut dalam perasaannya, toh tidak lama lagi ia akan bisa setiap hari bersenda gurau dengan mereka. Karena ia akan tinggal bergantian di rumah Hesti dan Tina.
Sebelum meninggalkan rumah Salime, Hesti ternyata sudah menyewa pembantu dari sebuah yayasan penyalur. Pembantu berusia 30 tahun itu akan membantu Salime mengerjakan pekerjaan rumah hingga proses jual beli rumah itu selesai.
“Ibu sementara ditemani oleh Mbak Murni ini ya, nanti kami tunggu kabar dari ibu jika proses jual beli rumah ini sudah selesai,” ujar Hesti, memperkenalkan pembantu yang baru datang itu.
Salime hanya mengangguk-angguk dan tersenyum kecil. Ada kegetiran setiap ia mendengar kata-kata rumah dan tanah akan dijual. Tapi Salime mencoba menepisnya dan mencoba membayangkan suasana baru tinggal di lingkungan rumah kedua anaknya itu.
Hesti dan Tina bersama keluarga masing-masing akhirnya kembali ke rumahnya. Salime mengantarkan rombongan dua keluarga kecil itu hingga mobil yang membawa mereka lenyap di tikungan.
“Besok lusa orang perusahaan itu akan datang, mungkin siang. Kamu bantu ibu ya dalam proses jual belinya. Ibu kurang paham,” tutur Salime pada Yahya, saat mereka tinggal berdua di teras.
“Iya, Bu. Masuk yuk, sudah sore, dingin,” Yahya membantu sang ibu bangkit dari kursi.
***
Menjelang kedatangan Susan dari PT Terus Membangun, Salime menghabiskan waktunya dengan membereskan barang-barang yang masih bisa dibawanya ke rumah Hesti dan Tina.
Barang-barang besar seperti lemari, tempat tidur atau kursi akan ia wakafkan pada panti asuhan, dan barang-barang lainnya yang masih dipakai akan ia sumbangkan pada tetangganya atau Mariyam yang menjadi langganannya beli sarapan tiap pagi.
Salime hanya akan membawa barang-barang pribadinya dan sejumlah foto kenangan keluarga. Sebenarnya Salime ingin membawa lebih banyak barang-barangnya, karena begitu banyak kenangan pada setiap barang-barang itu. Ada yang peninggalan nenek dan kakek mendiang suaminya dan mertua.
Tapi, mengingat tidak semua barang-barang itu bisa dibawa ke rumah Hesti dan Tina, Salime memilih barang itu disumbangkan saja. Karena meski tidak memiliki barang itu, yang penting pahalanya akan mengalir terus padanya, begitu Salime menghibur diri.
Malam hari, Salime tidak bisa tidur. Pikirannya masih melayang-layang. Jauh di lubuk hatinya ia begitu berat meninggalkan rumahnya. Tapi kemudian pikiran dan perasaan itu ia tepis dengan rasa senang tinggal bersama anak-anak dan cucunya.
Pukul sembilan pagi telepon berdering dan ternyata adalah Susan yang mengabarkan akan datang selepas Zuhur. Salime kembali mengingatkan Yahya, agar bisa pulang lebih awal untuk membantu proses jual beli.
“Iya, Bu. Hari ini kuliah hanya satu, siang saya sudah di rumah,” ujar Yahya, sebelum meninggalkan rumah menuju kampusnya.
Usai Sholat Zuhur, Salime membuka pintu ruang tamunya lebar-lebar. Ia sudah siap menunggu kedatangan Susan yang akan memproses jual beli rumah dan tanahnya. Ia juga telah menelpon Yahya mengingatkan agar tidak lupa. Anak bujangnya itu mengatakan akan telat, karena ada rapat di kampus yang tidak bisa ditinggalkannya begitu saja.
“Saya mungkin agak telat paling lama setengah jam. Ibu ajak orangnya mengobrol dulu kalau sudah datang,” saran Yahya.
Pukul satu siang, sebuah mobil sedan yang sama saat kedatangan Susan tempo hari masuk ke pekarangan Salime. Klaksonnya terdengar nyaring memberi tanda kepada penghuni rumah kalau ada tamu yang datang.
Ada debar di dada dan rasa gugup yang Salime rasakan ketika mendengar klakson mobil yang semakin mendekat itu. Salime mencoba menenangkan diri dan menganggap hal itu wajar, karena ia sebentar lagi akan melepas benda yang banyak menyimpan kenangan.
Salime membuang nafas beratnya dan mencoba tersenyum ketika mobil itu tepat berdiri di depan teras. Susan yang pertama keluar dan sebuah senyum juga mengembang di bibir.
Kemudian tiga orang pria juga keluar, yang dua adalah lelaki yang tempo hari datang. Keduanya tetap sama, membawa koper. Sementara yang satu, Salime tidak tahu persis. Tapi ia hanya bisa mengira kalau ia adalah orang penting di perusahaan itu, sebab bisa dilihat dari penampilannya.
Mereka menaiki tangga dan satu persatu menyalami Salime. Ternyata benar pria putih dan tinggi itu adalah menejer pemasaran di PT Terus Membangun, bosnya Susan.
“Sudah lama menunggu, Bu? Maaf jika kami agak telat,” tutur Susan ketika mereka sudah duduk di ruang tamu.
“Tidak juga, sepertinya pas dengan waktu yang dijanjikan tadi. Hmm, anak saya yang membantu mengurus jual beli ini masih di kampus, sebentar lagi datang, ditunggu sebentar ya.” jawab Salime.
“Wah kalau begitu jadi donk ibu menjual rumah dan tanah ini. Ternyata dugaan saya tidak meleset,” Susan tertawa senang sambil memegang tangan Salime. Ketiga tamu yang lain juga tertawa.
Sambil menunggu Yahya datang, Murni menyajikan minuman dan kue kecil. Bos Susan yang bernama Robi itu banyak mendominasi pembicaraan. Ia menceritakan tentang ruko dan perumahan yang telah berhasil dibangun dan terjual.
Susan dan dua temannya membenarkan dan kadang ikut menambahkan informasi. Salime hanya mendengarkan dan mengangguk-angguk. Bukannya ia tidak berminat dengan pembicaraan tamu-tamunya itu, tapi Salime merasakan ada rasa aneh dan tidak bisa ia tepis meski sudah konsentrasi mendengarkan obrolan mereka.
Salime permisi ke belakang, ia menuju ruang belakang dan duduk di kursi. Ia mencoba menghembuskan nafas yang terasa berat. Tapi gejolak di dada itu belum hilang, bahkan Salime merasakan makin kuat menyesak dadanya.
Salime memejamkan matanya. Ia mencoba merasakan lebih dalam mengapa hal itu terjadi. Lima menit kemudian Salime membuka matanya, dan ia sudah tahu jawabannya. Kali ini ia rasakan dadanya ringan dan nafasnya tidak sesak lagi.
Salime muncul di ruang tamu, Susan menyambutnya dengan sebuah pertanyaan. “Anak ibu masih lama, ya? Bagaimana kita mulai saja dengan penawaran?”
“Mungkin….tapi….,” Salime menggantung kalimatnya.
“Tapi apa, Bu?” Susan mendesaknya, dan sementara Robi mengerutkan keningnya seperti sudah menangkap gelagat yang kurang baik.
“Hmm…maaf sekali. Saya mohon maaf. Hmm...saya tidak jadi menjual rumah dan tanah ini,” akhirnya Salime bisa juga menyelesaikan kalimatnya.
Keempat orang tamunya seperti tidak percaya mendengarkan ucapan Salime barusan. Mereka saling pandang dan ada kecewa di wajah mereka. Susan yang tampak paling kecewa.
“Hmm…ibu mungkin tidak jadi menjual hari ini, mungkin besok, lusa, minggu depan atau bulan depan? Mungkin ibu merasa perlu menunda waktunya, tidak apa-apa kok, yang penting ibu sudah ada niat menjual,” Susan mencoba meluruskan ucapan Salime tadi.
“Iya, Bu. Mungkin ibu masih perlu berunding lebih matang dengan anak-anak. Silahkan, Bu. Kami beri waktu kok,” kali ini Robi menimpali.
Salime tidak langsung menanggapi. Ia diam beberapa saat. “Saya benar-benar tidak akan menjual rumah dan tanah ini. Saya tidak menunda atau masih perlu waktu berunding dengan anak-anak saya,” akhirnya Salime buka mulut, tapi yang keluar adalah ucapan yang membuat keempat tamu semakin kaget.
“Bu, ada apa? Tolong jelaskan, mungkin kita bisa buat kesepakatan nanti sesuai yang ibu inginkan,” bujuk Susan.
“Tidak cukup waktu dan tidak mudah bagi anda semua memahami alasan saya nanti. Anak-anak saya sendiri juga tidak akan mudah memahaminya. Pokoknya mohon maaf saya tidak jadi menjual rumah ini,” ujar Salime dengan nada tegas tapi begitu tenang ia ucapkan.
Robi mencoba membujuk Salime, tapi ucapannya tertahan karena Salime mengangkat tangannya memberi tanda untuk tidak usah berkomentar lagi.
“Maaf, keputusan saya sudah bulat.”
“Mohon maaf jika anda semua ternyata sudah buang waktu datang ke sini,” Salime bangkit berdiri.
Keempat tamunya tampak kebingungan, mereka tidak menyangka Salime yang tadi begitu menyakinkan akan menjual rumah dan tanahnya berubah pikiran.
“Ok, Bu. Terima kasih,” Robi berdiri, ada kesal dan kecewa di wajahnya. Ia pergi tanpa menyalami Salime.
Susan dan dua orang rekannya juga berdiri, tapi mereka masih sempat menyalami Salime.
Salime tidak mengantar mereka hingga teras, ia hanya berdiri di ruang tamu, melihat dari pintu masuk yang terbuka lebar, hingga mobil itu menghilang cepat di tikungan.
Salime duduk, menyandarkan kepalanya dan memejamkan matanya. Ia merasakan dadanya begitu lapang. “Aku tidak akan pernah meninggalkan rumah ini hingga akhir hayatku,” bisiknya.***
.
Posting Komentar untuk "Cerpen :RUMAH WARISAN"
Terimakasih sudah berkunjung
Silahkan berkomentar .
Mohon maaf komentar dimoderasi