Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen :PULANG

Entah sudah yang keberapa kalinya Bang Mahmud mencuri-curi pandang padaku. Setiap aku membalas pandangannya, ia cepat-cepat kembali mengalihkan tatapannya ke acara TV yang sedang kami tonton. Aku gerah melihat tingkah suamiku yang tidak biasanya.

“Papa ada apa sih?” tanyaku
“Tak ada, cuma ingin lihat wajah mama kalau lagi serius nonton aja” dia tergelak, diikuti oleh Moldi dan Rizki kedua anak kami.
“Alaa…pasti ada maunya ni?” selidikku.
“Suer mama!”
“Dasar, tidak lucu tahu!” aku meninggalkan ruang keluarga dan memilih masuk kamar.
Aku sudah mulai tertidur ketika Bang Mahmud masuk kamar. Ia memelukku yang tidur membelakanginya.
“Merajuk ya?” ia membujukku.
“Udah ah, ngantuk” aku menepis tangannya.
“Maafin papa lah, tadi papa memang mau bicara. Tapi waktunya tidak pas, karena mama lagi asyik menonton,” ia membela diri.
Aku berbalik, menatap wajah suamiku yang mulai digurati garis ketuaan itu. “Mau bicara? Memang ada apa?” tanyaku penasaran. Ia hanya diam dan itu membuatku kesal.
“Papa ini macam mana sih, dari tadi buat mama kesal terus. Dah lah, mau tidur,” aku kembali membalikan badan.
“Hehehe…mama sayank jangan merajuk gitu lah. Tadi papa kan mikir darimana nak mulai bicaranya,” ia menarik tanganku untuk duduk.
Aku cemberut, kesal. Dari dulu suamiku tidak berubah. Suka menggoda dan mencandaiku yang suka merajuk.
“Maa…mama kangen tak sama kampung kita?” akhirnya ia memulai juga inti pembiacaraan. Aku tak bisa menyembunyikan rasa kaget.
Tapi aku memilih diam, tidak menjawab. “Lho, kok tidak dijawab. Masih marah ya? Tadi ngotot mau tahu apa yang mau papa bicarakan.”
“Tak,” akhirnya aku bersuara juga.
“Alasannya?”
“Kenapa sih tanya kampung segala?” aku balik bertanya.
“Hmmm…akhir-akhir ini papa rindu sama kampung kita. Papa bahkan ingin balik ke sana,” perkataan suamiku barusan membuatku semakin kaget.
“Apa? Papa ingin balik kampung. Ngapain sih? sudah enak tinggal di kota, punya pekerjaan bagus, malah balik kampung, ke kota kecil. Mama saja tidak mau kembali ke sana,” ketusku.
Kulihat suamiku menarik nafas dan menghembuskannya. Ia membetulkan posisi duduknya. Sepertinya ia betul-betul serius dengan apa yang ia ungkapkan tadi.
“Ma, papa ingin ikut membangun kampung kita, kota kelahiran kita, Ma. Sekarang di sana sudah berubah. Sudah menjadi ibukota provinsi, mulai berkembang. Papa yakin tenaga papa dibutuhkan di sana, diminta atau tidak diminta, papa ingin berbuat kepada daerah,” Bang Mahmud mengeluarkan argumentasinya.


Aku hanya diam. Pikiranku melayang pada kota asal kami Tanjungpinang, sebuah kota di Pulau Bintan. Kota kecil di sebuah tanjung yang berdekatan dengan Singapura. Tapi, dibandingkan dengan Kota Batam yang letaknya berdekatan, kotaku jauh tertinggal dari segi pembangunan. Banyak warganya yang pindah ke Batam bahkan kota lain untuk bekerja dan menetap di sana.

Begitu juga dengan aku. Sejak kecil, aku sudah dibawa pindah oleh orangtuaku ke Pekanbaru. Bahkan rumah kami di Tanjungpinang sudah dijual. Keluarga besarku saat ini semuanya di Pekanbaru. Seingatku, aku hanya tiga kali pulang ke sana dan itupun hanya sebentar.

Begitu juga dengan Bang Mahmud, yang menikahiku 15 tahun lalu. Ia juga berasal dari sana. Tapi keluarga besarnya masih banyak di sana, kecuali orangtuanya yang menetap di Pekanbaru. Mereka hanya sesekali masih berkunjung ke Tanjungpinang. 

Mereka juga masih memiliki rumah yang saat ini ditempati oleh salah satu famili kami. Tak mengherankan, ia masih menggunakan bahasa Melayu meski kadang terkontaminasi bahasa Jakarta dan sedikit dialek Padang. Aku pun juga terbawa-bawa mengikuti suamiku, padahal demi pergaulan aku tetap berusaha menggunakan bahasa Jakarta. Namun, karena setiap hari bertemu dengan suamiku, ya dialek Melayu tetap juga ada.

Aku bertemu dengan Bang Mahmud di Universitas Riau. Kami sama-sama aktif di kegiatan kampus. Aku di Fakultas Ekonomi dan dia di Fakultas Pertanian. Lulus kuliah aku langsung dilamar oleh Bang Mahmud. Aku tidak sempat bekerja, karena sebulan menikah langsung hamil. Tapi pendidikan di bidang ekonomi, membantuku menjalani bisnis multilevel marketing sebuah produk kesehatan yang bisa kulakukan sambil mengurus rumah tangga.

Sementara Bang Mahmud diterima bekerja di sebuah perusahaan pertanian. Ia menjadi tenaga ahli di sana. Sambil bekerja Bang Mahmud yang berkemauan keras melanjutkan pendidikan ke jenjang strata dua. Dengan gelar S2 yang diraihnya, Bang Mahmud ditawari bekerja di sebuah lembaga penelitian pemerintah.


Kesibukan Bang Mahmud semakin bertambah ketika ia diangkat menjadi dosen di UNRI. Dua orang buah hati kami tumbuh menjadi anak-anak cerdas dan aku masih sibuk dengan bisnis MLM-ku yang makin berkembang. Saat ini suamiku juga hampir menyelesaikan pendidikan di jenjang S3.
Kehidupan kami betul-betul sempurna. Pekerjaan yang menjamin kehidupan, penghasilan berlimpah, tabungan masa depan yang cukup, rumah yang besar dan sejumlah kendaraan pribadi.


Aku merasa betul-betul bahagia, menjadi seorang istri dan ibu yang bisa membagi waktu antara keluarga dan bisnis. Selama ini nyaris tidak ada masalah dalam kehidupan kami, kecuali sekali-kali memang ada riak-riak kecil dan itu juga disebabkan karena sifatku yang cepat emosi. Sedangkan sifat Bang Mahmud yang suka humor dan suka tertawa bisa menjadi penyeimbangnya.


Tapi sekarang, di tengah kebahagiaan yang sedang kunikmati bersama anak-anak, Bang Mahmud malah mengajak kami untuk pulang ke Tanjungpinang. Membayangkannya saja aku sudah tidak mau. Kembali ke kota kecil yang tidak mempunyai berbagai fasilitas seperti di Pekanbaru. Di sini aku bisa ke mana saja dengan cepat. Atau pergi ke Padang, Medan sampai Jakarta dalam hitungan jam. Sementara di sana, harus memakan waktu lama.


Belum lagi dengan bisnis MLM-ku yang sedang berkembang pesat. Apa jadinya jika aku pindah dan meninggalkan bisnis yang telah memberikan aku keuntungan puluhan juta rupiah ini.
Bagaimana dengan anak-anak kami. Apakah mereka bisa menyesuaikan diri hidup di kota yang dikelilingi lautan itu. Terus bagaimana juga dengan rumah dan harta benda yang kami miliki sekarang.


“Maaa…sudah cukup melamunnya?” Bang Mahmud mengagetkan aku dari lamunan panjang.
“Hmmm…mama bingung, Pa. Tapi sepertinya mama tidak setuju. Anak-anak apalagi,” akhirnya aku memberikan komentar juga. 


“Baikah, itu hak mama. Silahkan mama berpikir kembali. Tapi yang jelas dari hati kecil papa begitu kuat untuk kembali ke Tanjungpinang,” balas Bang Mahmud datar, tapi tegas. Itu ciri khasnya jika memang serius.


Malam itu kujalani tidur yang tidak nyaman dan gelisah. Pikiranku melayang-layang meski mataku terpejam. Tapi Bang Mahmud malah tidur nyenyak seakan tanpa beban.
***
Pagi harinya di meja makan aku tidak bergairah. Pembicaraan tadi malam membuatku begitu terganggu. “Mama ada apa sih. wajahnya kok lesu gitu?” tanya Moldy, si sulung yang duduk di bangku kelas tiga SMP.
“Ya, tidak biasanya mama begini. Biasanya udah berkicau, hehehe,” Rizki yang memiliki selera humor seperti papanya menimpali. Bang Mahmud juga ikut tertawa.


“Mama sedang tidak enak badan kali, nanti papa pijit ya,” Bang Mahmud mengerling nakal menggodaku.
“Udah ah, ayo habiskan sarapannya,” aku tidak mengindahkan ocehan mereka tentang sikapku pagi itu.
***
Malam ini aku sudah tidak sabar untuk berbicara dengan Bang Mahmud. Tapi, ia belum pulang, karena ada rapat di kantornya. Aku menunggu Bang Mahmud di kamar, kubiarkan anak-anak menonton di ruang keluarga.


Pukul 10 lewat Bang Mahmud pulang, ia masuk kamar dengan wajah letih. “Mama tidur saja, biar papa makan sendiri. Tak usah ditemani,” sergahnya saat aku hendak bangkit dari tempat tidur.


“Biar aja, mama memang ada perlu bicara sama papa,” jawabku dan keluar dari kamar untuk mempersiapkan makan malam Bang Mahmud.
Suamiku datang ke meja makan dengan wajah yang lebih se
gar setelah mandi. Ia tersenyum kepadaku yang dari tadi tidak sabar menunggunya. “Aduh, papa lapar berat, ni. Udah tak sabar mencicipi masakan mantan pacar tercinta,” ia menjawil daguku.
“Ahhh, papa ini. Reseh banget!”
“Yee, makin cantik kalau sedang merajuk begitu,”

“Mama ada apa, sih? Dari pagi hingga malam ini wajahnya cemberut terus?” Bang Mahmud memulai pembicaraan saat kami sudah di tempat tidur.
“Papa sudah tahu jawabannya, kok malah balik tanya,” jawabku ketus.
“Hmm…masalah tadi malam ya?”
“Ya…”
“Mama ingin tahu mengapa papa ingin balik ke Tanjungpinang?”
“Seratus, mama ingin tahu siapa sih yang merasuki papa biar kembali ke kota itu,” balasku cepat.
“Tak ada yang merasuki papa, Ma. Papa ini sudah dewasa. Tidak semudah itu dirasuki oleh macam-macam pendapat orang. Cuma, memang ada yang memberi pandangan kepada papa, tapi yang memutuskan papa sendiri, kok,” Bang Mahmud beralasan panjang lebar.
“Siapa orangnya?”
“Abang sepupu papa, Bang Ude Hamid. Dia guru SMA di sana. Dia yang memberikan pandangan kepada papa, bahwa sudah saatnya papa kembali ke sana ikut membangun kota itu.”


Bang Mahmud bercerita, jika dalam beberapa bulan terakhir dia sering berdiskusi dengan Bang Ude Mahmud lewat sms dan telepon. Dari situlah muncul saran jika sudah saatnya suamiku itu kembali membangun tanah kelahirannya. Orang-orang seperti Bang Mahmud sangat diperlukan, karena sedikit pejabat yang memiliki displin ilmu seperti suamiku.


Menurut Bang Ude Hamid, di sana memang banyak pejabat yang bergelar S2. Tapi sebahagian besar bergelar magister manajemen. Padahal kota itu tidak hanya butuh pejabat bergelar MM, tapi juga pejabat yang memiliki disiplin ilmu di bidang pertanian seperti suamiku.


“Kata Bang Ude Mahmud, kemampuan dalam manajemen saja tidak cukup. Tapi ilmu pertanian seperti papa, juga diperlukan. Apalagi Tanjungpinang sudah mulai dilirik investor bidang pertanian dari luar negeri. Jadi pemikiran papa mungkin diperlukan di sana,” tutur suami panjang lebar.


“Memangnya yang ahli di bidang pertanian hanya papa, masih banyak yang lain kok.”
“Benar, Ma. Banyak orang kampung kita yang sudah jadi orang besar dengan berbagai gelar disiplin ilmu. Tapi mereka lebih betah di kota lain dan jadi pejabat di sana. Padahal daerah asal kita membutuhkan sumber daya manusia seperti mereka itu,” tegasnya.


“Kalau papa balik ke sana, papa juga bisa tetap mengajar, Ma. Sebentar lagi akan berdiri universitas negeri dengan berbagai fakultas, salah satunya pertanian. Kan senang bisa ikut memberikan ilmu kepada generasi muda di kampung sendiri,” tandasnya.


Aku hanya diam mendengarkan ocehan suamiku. Pikiranku tidak fokus dengan berbagai alasannya untuk balik ke Tanjungpinang. Dalam pikiranku hanya ada kegamangan luar biasa jika tinggal di sana. Aku akan kehilangan teman-teman bisnis dan arisan. Aku akan kehilangan waktu week end ke berbagai kota yang bisa dicapai dengan kendaraan pribadi.


“Ya udah, papa tidur dululah, capek,” kata suamiku, karena dari tadi aku tidak merespon pembicarannya.
***
Jantungku berdebar kencang ketika dari pengeras suara memberitahukan jika 15 menit lagi, kami akan menaiki pesawat yang akan membawa kami ke Batam. Kulirik Moldy dan Rizki yang bersikap biasa-biasa saja, sementara Bang Mahmud sibuk dari tadi menelpon entah ke mana.


Hari ini, tiga bulan sejak pembicaraanku dengan Bang Mahmud tentang rencana dan keinginannya kembali ke Tanjungpinang. Perdebatan panjang antara kami ternyata membuahkan hasil seperti hari ini, aku akhirnya mengalah meski berbagai syarat aku ajukan ke suamiku. Di antaranya yang paling keras adalah, jika tiga bulan aku tidak betah, aku akan kembali ke Pekanbaru dan Bang Mahmud silahkan memilih antara aku atau tinggal di Tanjungpinang.


“Baik mama, syaratnya papa terima. Tapi yang jelas mama pasti akan betah. Orang lain saja betah hingga anak cucu, apalagi kita yang lahir di sana,” ujarnya, saat aku mengajukan syarat itu.


Moldy dan Rizki yang aku yakin akan menentang keras, ternyata paling antusias bahka
n mereka ingin secepatnya ke Tanjungpinang. “Pasti enak tinggal di sana, Ma. Dekat laut dan tiap hari pasti makan seafood. Hmmm…lezaat,” tutur Moldy.

“Ya, katanya mau ke Singapura dan Malaysia juga dekat, Ma. Wah asyik donk, tiap minggu bisa ke luar negeri,” Rizki menimpali.

Bang Mahmud selesai menelpon, ia duduk di sampingku. “Mobil sudah ada yang mengurus, mungkin lusa dikirim pakai kapal barang,” ujarnya.


“Ingat ya, Ma. untuk sementara kita tinggal di rumah orangtua papa dulu di Senggarang. Setelah itu kita baru ambil rumah di komplek, jangan protes ya,” ia terus bicara, sementara aku acuh tidak acuh mendengarnya.
“Terserah, yang penting jangan tinggal di hutan saja,” jawabku, setelah Bang Mahmud protes karena aku hanya diam.


Kepindahan kami ke Tanjungpinang tidak membawa banyak barang, kecuali pakaian, dokumen dan berkas-berkas penting serta keperluan sekolah Moldy dan Rizki.


Rumah di Pekanbaru ditempati oleh adik sepupu Bang Hamid. Mobil yang biasa aku pakai juga dititipkan pada adikku. Begitu juga bisnisku kuberikan kewenangan kepada adikku yang lain untuk mengurusnya.
**************
Pesawat yang membawa kami mendarat dengan mulus di Bandara Hang Nadim. Perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Punggur dengan memakai taksi. Setelah itu kami naik ferry ke Tanjungpinang. Di atas kapal, kedua buah hatiku sibuk berfoto dan mengabadikan pemandangan laut yang menurut mereka sangat indah.


“Wuihh..mengapa tak dari dulu kita pindah ke sini ya, Pa. Pemandangannya indah sekali,” tutur Moldy.
Aku tidak ikut pembicaraan mereka. Pikiranku masih melayang-layang tak tentu dan akhirnya membuatku tertidur. Sebuah tepukan di bahu mengejutkan aku dari tidur. “Ma, kita sudah sampai, ayo kemasi tasnya,” ternyata Bang Mahmud yang membangunkan aku.


Kapal yang membawa kami merapat ke dermaga Sri Bintan Pura, Tanjungpinang. Sebagian besar penumpang tak sabar untuk lebih dulu keluar. Tapi aku sengaja keluar paling akhir, padahal Moldy dan Rizki sudah duluan bersama Bang Mahmud.


Dari balik kaca kapal, aku melihat Bang Mahmud berpelukan dengan seorang pria. Kemudian ia juga menyalami seorang wanita dan selanjutnya dua pemuda tanggung. Akhirnya aku keluar dan menuju ke arah mereka.


“Ini dayang saya Bang Ude, lawa kan ?” Bang Mahmud menarik tanganku ke arah mereka.
“Oh ya, ini dia yang Bang Ude Hamid tu…ini Kak Hasnah istri Bang Ude dan dua pemuda ini Bujang adik Kak Hasnah dan Madun anak Bang Ude,” imbuh suamiku sambil memperkenalkan aku satu persatu kepada keluarganya.


Aku menyalami mereka satu persatu. “Ya lawalah, engkau saja lawa, tentu dapat istri yang lawa pulalah,” gurau Bang Ude Mahmud ketika bersalaman dengan aku.


Kami melanjutkan perjalanan ke pintu keluar pelabuhan. Suamiku tampak asyik berbicara dengan keluarganya, sementara aku hanya diam dan sesekali menjawab pertanyaan Kak Hasnah.


“Kita naik taksi saja ke Pelantar Dua, soalnya barang-barang engkau banyak sangat. Susah dibawa pakai motor,” tutur Bang Ude Hamid saat kami sampai di parkir pelabuhan.


Di Pelantar Dua, kami bertemu dengan sejumlah tetangga Bang Ude Hamid di Senggarang. Mereka bertanya tentang siapa kami. Sejenak Bang Ude menjelaskan dan kemudian mereka menyalami kami satu persatu.
Di atas pompong yang membawa kami ke Senggarang, kembali Moldy dan Rizky asyik mengabadikan pemandangan yang ada. Bang Hamid masih tetap asyik bercerita dengan keluarganya dan aku masih memilih tidak banyak bicara.


“Ada apa ramai-ramai, ada yang pesta kawin hari ini ya?” tanya suamiku ketika melihat sejumlah orang berdiri dekat ujung pelantar.
“Tak lah, mungkin mereka mau menyambut engkau,” jawab Bang Ude Hamid sambil tertawa.
“Ah yang benar lah, macam pejabat pula aku ni.”
“Tengok ajalah nanti,” Kak Hasnah yang menjawab.
Pompong merapat di tangga pelantar. Di atasnya menunggu sejumlah laki-laki dan perempuan. Mereka melambai-lambai kan tangan ke arah kami. “Assallammualaikum, apa kabar orang rantau, akhirnya balik juga ke kampung,” seorang laki-laki setengah baya menyambut Bang Mahmud dan memeluknya.


“Ini kakak kami tu, apa kabar kakak, sehat-sehat kah semua?” kini giliran aku yang kena tanya seorang perempuan.
Aku tersenyum dan menjawab singkat, ”Ya, baik.”
Satu persatu mereka menyalami kami dan berbasa-basi menanyakan kabar. Seperti biasa aku menjawab singkat dan apa adanya.


Bang Ude Hamid memintaku naik motor saja karena rumah kami di darat, jauh dari ujung pelantar. Jadi aku dan Kak Hasnah naik motor dibonceng oleh dua orang pemuda yang belum kukenal.


Sementara Bang Mahmud, Bang Ude Hamid, Moldy, Rizki dan dua orang pemuda tanggung yang aku tidak tahu namanya lebih memilih berjalan kaki. Tak lama kami sampai di ujung pelantar, motor membelok ke kanan sedikit dan sampailah di rumah orangtua suamiku.


Sepertinya rumah itu sengaja baru di cat. Dua orang perempuan menyambutku. “Kakak apa kabar? silahkan masuk,” mereka menyalamiku dan aku masih menjawab dengan singkat.
“Mereka ini Ida dan Eti, keponakan Bang Mahmud juga,” Kak Hasnah memperkenalkan mereka berdua kepadaku.


Kak Hasnah menyilahkan aku masuk ke kamar di belakang untuk beristirahat. “Kami menyiapkan makanan dulu, kakak istirahat saja,” sarannya


Belum lama aku merebahkan diri di kasur, rombongan Bang Mahmud ternyata baru sampai. Suara riuh itu ternyata berasal dari candaan Bang Mahmud yang makin menjadi-jadi saat bertemu saudara mara dan tetangganya.


Sore itu kami makan dengan aneka masakan laut, ada ikan selar bakar, asam pedas, sotong masak hitam dan cah kangkung serta tak lupa sambal belacan ditambah kerupuk ikan. Moldy dan Rizki seperti orang tidak pernah makan, mereka tanpa malu-malu berebutan mengambil lauk yang sengaja dihidangkan untuk menyambut kami.


Dari sore hingga malam, masih ada kerabat dan tetangga suamiku yang dating. Ada yang langsung pulang dan ada juga yang duduk sebentar bercerita dengan suamiku yang ditemani Bang Ude Hamid.
Sementara Moldy dan Rizki sudah mendapat teman anak bungsu Bang Ude Hamid yang seusia mereka. Ketiganya dan sejumlah anak-anak tetangga langsung pergi jalan ke Kelenteng Senggarang, sebuah bangunan bersejarah di tempat itu.


Sedangkan aku memilih berdiam di kamar, istirahat dan tidur. Tapi sebenarnya aku hanya ingin menghindari kerabat dan tetangga suamiku yang datang. Aku merasa terganggu dengan ocehan dan pertanyaan mereka yang itu-itu juga. “Capek melayan mereka,” pikirku.
***
Hari ini sudah satu minggu kami di Tanjungpinang. Moldy dan Rizki sudah bersekolah di SMP 4 Tanjungpinang. Tiap hari mereka naik pompong ke Pinang dan kemudian naik transport ke sekolah. Sedangkan suamiku masih sibuk bolak-balik ke Kantor Wali Kota. Katanya ia masih menunggu jabatan sementara yang akan dipegangnya.


“Sementara mungkin papa duduk di bagian staf saja dulu, Ma. Sebentar lagi ada mutasi dan katanya papa akan duduk pada jabatan kepala sub dinas di kantor sumber daya alam,” Bang Mahmud menjelaskan meski aku tidak bertanya


Ia juga bercerita jika ia sudah bertemu dengan tim pembentukan universitas dan suamiku telah masuk dalam daftar calon dosen yang akan mengajar. “Papa juga masuk dalam tim perumus program di fakultas pertanian itu nantinya, Ma. Doakan saja semoga universitas itu segera berdiri,” imbuhnya.


Seperti biasa aku tidak berminat menanggapi pembicaraannya. Aku lebih suka mengutak-utak nomor telepon di ponselku dan mengirim sms ke teman-temanku di Pekanbaru.
“Papa tahu, mama masih belum sepenuhnya ingin tinggal di kota ini. Tapi tolonglah, kalau papa bercerita didengar dan dikomentari,” suamiku protes karena aku acuh dari tadi.
“Ya papa sayang, mudah-mudahan,” jawabku sekenanya dan itu ternyata membuat suamiku tertawa.
“Hehehe...dari tadi donk, kan bertambah besar hati papa mendengarnya.”
***
Sekarang sudah tiga minggu kami di Tanjungpinang. Suamiku sudah menempati jabatannya di Dinas SDA. Moldy dan Rizki juga menikmati perjalanan mereka yang cukup jauh ke sekolah. Kuperhatikan kulit mereka juga makin gelap karena sering tersengat panas.


Sedangkan aku, belum berbuat apa-apa. Hari-hariku habis di dalam rumah. Menonton dan mengutak-atik telepon genggamku. Aku betul-betul suntuk karena tidak ada teman yang sepaham dengan aku. Kak Hasnah sibuk berjualan di sekolah dekat rumahnya. Sementara Ita dan Emi juga kerja di sebuah toko di Pasar Tanjungpinang.


Sementara untuk pergi jalan-jalan sendiri ke Pinang aku belum berani. Lewat jalan laut aku malas sendiri naik pompong dan tak tahu harus ke mana. Kalau naik mobil pribadi yang sudah lama datang aku juga belum berani. Jalan Senggarang menuju ke Pinang sepi, dan berbelok-belok.


Sementara Bang Mahmud dan kedua anakku, lebih suka menghabiskan hari minggu pergi memancing atau ke kebun milik orangtua suamiku. Pokoknya aku makin tidak betah tinggal di Senggarang dan aku ingat janji suamiku untuk tinggal di komplek perumahan di Pinang.


Tapi ternyata Bang Mahmud masih belum mau mencari rumah di Pinang. Ia beralasan masih ingin menikmati nostalgia masa kecil di kampung kelahirannya. “Sabar ya mama sayank, papa puasin dulu tinggal di tanah kelahiran papa,” jawabnya, dan itu membuatku makin kesal.


Siang itu aku sedang asyik menonton TV ketika Kak Hasnah datang. Ia membawa kue. “Kak, ini ada kue lemper, saya yang buat,” ujarnya sambil menyodorkan aku sepiring kecil kue lemper.


“Terima kasih. Kakak tidak berjualan,” tanyaku.
“Kebetulan cepat pulang, tadi guru-gurunya ada acara di Pinang. Jadi anak-anak cepat balik dan saya juga cepat tutup,” jelasnya
Aku hanya mengangguk mendengarnya sambil menikmati kue yang lumayan enak itu.
“Kak…” Kak Hasnah memecahkan keheningan kami.
“Ya, ada apa?”
“Kakak sepertinya tidak suka balik ke sini, ya?” tanya Kak Hasnah hati-hati.
“Hmmm…mungkin.”
“Beginilah kak tinggal di kampung, tapi kalau kakak tinggal di Pinang mungkin agak lain. Mungkin agak mirip di Pekanbaru lah.”
“Ah sama saja.”
“Kalau sama sangat tidak mungkinlah kak, minimal kan ada kesamaannya, sama-sama ramai,” ujar Hasnah tertawa dan aku hanya tersenyum kecut mendengarnya.
“Kakak tak kerja lagi? Saya dengar kakak di Pekanbaru ada bisnis MLM ya? Mengapa tak dikembangkan di sini?” Hasnah makin panjang bertanya.
“Mana bisa lah, Kak. Harga produk itu mahal-mahal. Lagipula susah memulainya di sini,” aku mulai gondok mengingat bisnisku di Pekanbaru yang harus kutinggal.
“Tapi di sini juga ada kak bisnis seperti itu, memang masih baru. Tapi tak salah kan kalau kakak mulai, daripada suntuk di rumah.”
“Lihat dululah,” balasku sekenanya.


Kak Hasnah sepertinya tahu kalau aku mulai kesal. Ia tidak bertanya lagi. Tapi itu hanya berlangsung sepuluh menit. Ia kembali mengeluarkan suara. “Kak, kakak pernah jalan-jalan tak ke sekililing kampung ini,” tanyanya


Aku hanya diam. Sebuah pertanyaan yang tak penting pikirku. Mengapa jalan-jalan keliling kampung, pasti hanya membuat penat.
“Belum ya kak? Coba sekali-kali jalan lah kak, liat kehidupan masyarakat sini,” Kak Hasnah penasaran dengan sikap diamku.
“Memang kehidupan di sini macam apa? Biasa saja kan. Tidak ada yang menarik,” aku betul-betul kesal dengan pertanyaan yang tak penting itu.
“Karena biasa-biasa itulah kakak lihat, mana tahu dengan ilmu ekonomi dan pengalaman berbisnis kakak, bisa mengubah kehidupan di sini,” tuturnya. Itu membuatku tercengang.


“Mengubah, memang apa yang harus saya ubah dengan pengalamam bisnis,” aku penasaran.
“Walau hanya berjualan di sekolah, saya juga pernah ikut seminar MLM. Dari situ saya dapat pengetahuan bagaimana merangsang orang lain untuk bisa meningkatkan kehidupannya.”
“Jadi maksud kakak saya harus bagaimana?” aku makin tak sabar.


“Ya, kakak mungkin bisa memberikan semacam ilmu atau motivasi lah seperti yang diajarkan di seminar bisnis MLM. Karena disini, banyak kaum ibu bergantung dengan suami mereka. Padahal penghasilan suami tidak seberapa. Jadi mereka perlu diberi ilmu yang membuat mereka bisa membantu menopang ekonomi keluarga. Saya saja berjualan di dekat SD ini, karena terinspirasi dari seminar itu. Kalau dulu macam tidak saja saya berjualan,” tutur Kak Hasnah.


Aku diam, termenung memikirkan perkataan Kak Hasnah barusan. Ada benarnya juga apa yang ia sampaikan. Tanpa harus keliling kampung, di kiri kanan dan depan rumah aku bisa melihat, ibu-ibu menghabiskan waktu dengan mengobrol di kedai jika pekerjaan rumah tangga mereka selesai. Hari-hari yang terbuang percuma, batinku.


“Mungkin kakak nanti bisa ikut saya ke ar
isan RT dan majelis taklim. Di sana kakak mungkin bisa memberikan motivasi, yang bisa merangsang kaum ibu yang lebih suka duduk di rumah untuk bisa berbuat meski tidak harus ke luar rumah,” tambah Kak Hasnah.

Aku mengangguk-angguk. Ingatanku kembali kepada saat masih di Pekanbaru. Tidak terhitung berapa kali aku mengikuti seminar yang memberikan pengetahuan untuk memotivasi diri, sehingga makin besar keinginan untuk mencapai suskes. Selama ini aku hanya memanfaatkannya untuk diri sendiri dan sekarang mungkin sudah saatnya aku berbagi untuk orang lain.

“Baiklah, saran kakak bagus sangat. Nanti saya cobalah, mudah-mudahan bisa diterima oleh ibu-ibu di kampung ini,” kataku.
***
Hari ini tepat tiga bulan sejak pembicaraanku dengan Kak Hasnah. Memang ada perubahan dari kehidupan para kaum ibu di sekitar tempat tinggalku. Ada yang mulai berdagang pakaian kredit kecil-kecilan. Ada yang mencoba ikut bisnis MLM, ada yang membuat kerupuk ikan dan makanan kecil, ada yang mulai menanami pekarangan dengan tanaman obat dan bumbu dapur, ada yang membuka usaha salon kecil-kecilan, ada membuka les untuk anak SD di rumah. Pokoknya ibu-ibu yang banyak waktu luang telah berusaha menunjukan hasil untuk membantu ekonomi keluarga. 


Awalnya memang agak sulit. Saat aku pertama kali datang dalam acara arisan dan memberikan gambaran tentang kehidupan saat ini dan masa depan yang makin sulit, serta perlu perubahan dari diri sendiri, sebahagian besar dari mereka memprotes. Mereka mengatakan, kehidupan yang mereka jalani bukan keinginan mereka. Tapi karena sudah takdir mereka harus jalani. 


“Siapa sih yang tidak ingin hidup enak, punya rumah, mobil dan harta berlimpah. Tapi, bagaimana kami bisa maju, modal tidak ada meski ada keinginan untuk berusaha,” protes sejumlah kaum ibu.
Aku sempat kaget mendengar tanggapan mereka tersebut. Tapi, dengan pengalamanku merintis usaha MLM, aku bisa memberikan gambaran bagaimana kesuksesan bukanlah hal yang gampang diraih. Aku sendiri butuh waktu yang lumayan lama untuk meraih semua itu. Intinya adalah kemauan dan kerja keras untuk maju dan berkembang.


Akhirnya, setelah beberapa kali bertemu dan melihat masalah utama mereka adalah modal awal, aku memberanikan untuk meminjamkan mereka modal guna memulai usaha. Di luar dugaan, suamiku ternyata mendukung. Bahkan ia menyarankan agar pinjaman kepada ibu-ibu tidak dibatasi. 


Namun aku menolak, karena aku tidak ingin memanjakan mereka. Mereka harus bisa mengembangkan modal yang kecil menjadi besar. Belasan juta rupiah uang tabunganku menjadi modal yang kupinjamkan kepada belasan ibu-ibu tersebut, tanpa bunga dan batas waktu pengembalian maksimal dua tahun.
Rata-rata mereka diberi pinjaman antara Rp 500 ribu dan paling tinggi dua juta rupiah. Modalku hanya kepercayaan dan kesepakatan yang mereka tandatangani di depan aparat kelurahan dan RT setempat.
***
Setahun sejak aku kembali ke Tanjungpinang usahaku mulai menunjukan hasil. Ada yang sudah melunasi pinjamannya dan kembali meminjam modal yang lebih besar untuk mengembangkan usaha mereka.
Aku memenuhi permintaan mereka, tapi sekarang prosedurnya bukan lagi secara pribadi. Sejak dua bulan lalu aku bersama Kak Hasnah mengurus pembentukan koperasi serba usaha. Selain memberikan pelayanan simpan pinjam, koperasi itu juga mempunyai usaha toko serba ada yang melayani kebutuhan pokok masyarakat dan menjadi tempat pemasaran produk ibu-ibu tersebut atau penghubung untuk mencari pasar.

Hari ini, Wali Kota Tanjungpinang meresmikan Koperasi Wanita Mandiri. Kaum ibu yang berhasil kubina tampil dengan produk dan jasa yang mereka berikan. Ada yang menampilkan baju kurung hasil rancangan dan jahitan mereka. Ada yang menampilkan kue kering hasil kreasi sendiri. Ada kerupuk olahan dari ikan yang dicampur bumbu lain, sehingga rasanya makin enak. 


Sedangkan yang tidak punya produk, hanya menampilkan foto-foto, seperti foto anak-anak sedang les, ibu-ibu sedang memotong rambut, menjahit baju dan aneka macam produk atau jasa lainnya.
Usaha yang aku lakukan dengan bantuan Kak Hasnah bersama kaum ibu, ternyata mendapatkan perhatian dari dinas koperasi dan perdagangan. Bahkan mereka memberikan bantuan penguatan modal serta pelatihan kepada anggota koperasi kami. 


Aku sangat terharu ketika Wali Kota mengucapkan selamat dan menyatakan penghargaannya atas keberhasilanku membimbing ibu-ibu rumah tangga di Senggarang.


Ada rasa bangga dan haru yang mendalam menerima penghargaan seperti itu. Aku tak menyangka aku bisa menjadi seorang motivator bagi kaumku. Selain itu ada rasa menyesal mengingat sikap angkuh dan sombongku, ketika pertama kali pulang ke kampung kelahiranku ini. 


“Mama…minggu depan kita pindah ke Pinang, ya. Papa sudah mendapatkan rumah bagus di sana,” suamiku berbisik, saat acara makan bersama.
“Ah tak mau, di sini saja,” spontan aku menjawab setengah berbisik.
“Hehehe...Nah benar kan, mama pasti betah tinggal di sini,” ia tertawa penuh kemenangan. ***





























Posting Komentar untuk "Cerpen :PULANG"