Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kursi Sang Datuk

Oleh Ruziana *
Dimuat di Harian Sijori Mandiri edisi Minggu,22 Februari 2009

Mata dingin itu seakan tidak pernah berkedip sedetikpun memperhatikan layar besar di depannya. Layar yang sengaja dipasang untuk undangan kelas 3 dan masyarakat umum yang menyaksikan pelantikan wakil rakyat di halaman depan gedung megah itu, masih menayangkan gambar pemberian ucapan selamat dari pejabat yang melantik kepada 30 orang anggota dewan periode baru.



Mata itu menyipit,ketika gambar di layar menampilkan gambar besar seorang anggota dewan yang tertawa sumringah mendapat ucapan dari seorang pejabat. 
Wajah kasar bekas jerawat dan cacar air, hidung lebar dan gigi berwarna kuning emas kehitam-hitaman karena banyak merokok, tampak jelas terpampang dalam layar besar itu.

Tangan pemuda bermata kelam itu mengepal kuat, rahangnya mengembung dan nafasnya terasa sesak, melihat tawa dan sikap sok penuh wibawa salah satu anggota dewan tadi. 

"Sekarang kamu boleh tertawa senang Datuk Gigi Emas. Tapi lihat saja sebentar lagi apa yang akan terjadi," desisnya geram.

Gambar di layar besar itu kemudian beralih kepada anggota dewan lainnya yang baru dilantik.Pemuda itu menghembuskan nafas yang sejak tadi terasa menyesaki dadanya dan memperbaiki posisi duduknya yang terasa kaku. 

Ia berusaha agak santai sambil terus berusaha memperhatikan layar besar itu.Tapi,mata menembus layar besar itu jauh menerawang ke masa lima tahun lalu. 

Saat itu ia masih duduk di kelas tiga SMP, ketika si gigi emas yang saat itu mengaku adalah pimpinan sebuah partai di tingkat kabupaten datang berombongan ke kampungnya.

Di hadapan ratusan warga dewasa,laki-laki dan perempuan yang sengaja dikumpulkan, si gigi tembaga yang memperkenalkan dirinya bernama Datuk Mulia Selangit, mengaku sengaja datang untuk bersilaturahmi dengan warga. 

Ia mengaku masih ada hubungan batin dengan warga di sana, karena dulu kakek dan neneknya berasal dari kampung itu. Kedatangannya dimaksudkan untuk meminta dukungan kepada warga, yang menurutnya adalah keluarganya juga. 

"Saya merasa terpanggil untuk bersilaturahmi dan meminta dukungan pada warga di sini. Semoga saya bisa menjadi wakil rakyat dan membela kepentingan rakyat kecil, serta memperbaiki kehidupan warga di sini, karena bapak dan ibu sekalian saya anggap keluarga sendiri," begitu janji yang keluar dari mulutnya yang tidak henti-henti mengepulkan asap rokok. 

Warga bertepuk tangan riuh mendengarkan pidato dan janjinya. Namun, seorang remaja tanggung yang ikut mendengarkan kampanye itu hanya mencibir. Meskipun masih dianggap anak kecil, remaja berambut keriting itu tahu, kalau itu hanyalah janji-janji yang biasa diucapkan oleh kebanyakan calon wakil rakyat yang ambisius untuk meraih simpati guna mendapatkan suara banyak. 

Sedangkan setelah menjadi pejabat, banyak diantara mereka yang lupa dengan warga yang telah memilihnya, apalagi janji manis yang dulu diucapkan.

Bacaan dan tayangan televisi yang ia baca dan tonton di kantor desa, setidaknya telah membuka wawasannya tentang upaya tebar pesona partai politik dan calon wakil rakyat mencari dukungan. 

Usai berbicara panjang lebar dan segudang janji-janji pada warga dewasa yang tampak mulai terpengaruh, sejumlah anggota rombongan membagikan nasi kotak dan amplop. 

Ibu dan bapak remaja berambut kering itu juga dapat. Mereka tertawa senang seperti warga lainnya. 

"Kita nanti nanti ikut kampanye di kota ya pak. Nanti pasti dikasi uang, makan dan baju. Sekalian jalan-jalan," ibunya berciloteh ketika sampai di rumah.

"Ia bu, kalau perlu kita bawa sekalian anak-anak.Lumayan jalan-jalan gratis, dapat uang, makan dan baju. Kamu nanti ikut ya Usman," ujar bapak kepadanya yang sejak tadi hanya diam, memperhatikan kedua orang tuanya yang sangat senang hari itu.

Ia hanya menggangguk kecil, meskipun hatinya menolak. Tapi ia tidak ingin membantah kepada bapak, apalagi memberikan tanggapannya terhadap janji-janji berlebihan dari Datuk Mulia Selangit, yang lebih senang ia sebut Datuk Gigi Emas.

Ia tahu pasti bapaknya akan sangat marah jika ia membantah perkataan orang tua, apalagi berprasangka buruk pada orang yang telah memberi uang dan makan. 

Dua minggu berselang, rombongan si gigi emas yang kini dipanggil warga dengan sebutan Pak Datuk, sebagai tanda menghormatinya itu, kembali datang. Seperti biasa ia kembali memberi janji demi kepentingan warga nelayan di sana. 

Bahkan kali ini ia memberikan sumbangan untuk memperbaiki atap mushala yang banyak bocor. Tapi,anehnya saat waktu Zuhur tiba, Datuk Gigi Emas malah tidak ikutan sholat dengan alasan harus buru-buru pergi untuk ke kampung sebelah. 

Tiga minggu setelah kedatangan rombongan Datuk Gigi Emas yang kedua kalinya, tibalah hari kampanye besar-besaran partai yang dipimpinnya. Utusan dari sang datuk datang membawa baju berlambang partai di bagian depan dan gambar datuk di bagian belakang. 

Utusan yang bertampang sangar seperti sang datuk, memberikan arahan pada sejumlah warga kampung yang ditunjuk sebagai koordinator. Termasuk bapak remaja berambut keriting itu.Bapaknya akan mengkoordinir 50 orang warga dan mencatat nama mereka serta mengumpulkan tanda-tangan dan kartu tanda pengenalnya. 

Hari itu hanya bapak dan dirinya yang akan ikut kampanye ke kota kabupaten. Ibunya tak jadi ikut, karena si bungsu sakit. 

Pagi itu 10 truk besar yang masing-masing berisi 50 orang beriringan meninggalkan kampung nelayan pesisir. Di atas truk yang sumpek karena kelebihan penumpang, mereka terus melambai-lambaikan bendera partai sang datuk, serta meneriak-neriakan yel-yel kemenangan untuk datuk. 

Remaja tanggung itu hanya diam. Ia sungguh tidak menikmati kegembiraan itu. Ingin rasanya ia minta diturunkan saja, tapi rasa takutnya pada sang bapak membuatnya mengurungkan niatnya itu. 

Perjalanan ke kota kabupaten selama dua jam terasa sangat panjang. Tapi akhirnya ia lega, karena sampai juga di lapangan pusat kota yang sangat luas. Rombongan dari kampung nelayan itu langsung bergabung dengan massa yang telah dulu hadir. Setiap koordinator sibuk melapor kepada pengendali massa yang ditunjuk sang datuk. 

Ia tidak ikut bergabung ke tengah lapangan. Ia memilih duduk di bawah pohon di pinggir lapangan dan memperhatikan massa yang makin ramai. 

Ia tahu jika sebahagian besar itu adalah warga kampung pinggiran, yang sengaja didatangkan untuk menghadirkan ribuan massa pada kampanye partai Datuk Gigi Emas. Wajah, sikap dan pakaian mereka tidak bisa menyembunyikan keudikan orang kampung seperti dirinya. 

Kampanye akbar itu dimulai dan juru kampanye mulai mengeluarkan jurus-jurus merebut hati massa. Yel-yel bergemuruh dan lagu-lagu kampanye didendangkan. Tapi, si rambut keriting tidak tertarik dengan semua itu. Ia memilih menyendiri duduk makin menjauh di luar lapangan. Ia lebih memilih memikirkan kemana melanjutkan sekolah setelah lulus SMP yang sebentar lagi. 

Ia ingin melanjutkan sekolah ke kota dan mengambil sekolah kejuruan.Ia ingin mendapatkan keterampilan dan bisa bekerja setelah tamat. Ia ingin membantu kedua orang tuanya membiayai ke tiga adiknya sekolah. Ia tidak ingin seperti bapaknya dan kakeknya yang tetap menjadi nelayan miskin. 

Dari kejauhan ia melihat bapaknya datang membawa nasi kotak. Bapak mengomel karena tadi bingung mencarinya.Rasa lapar yang mendera mau tak mau membuatnya menghabiskan isi dalam kotak yang disodorkan bapak. 

Menjelang sore kampanye akbar usai dan massa kembali menaiki truk yang tadi. Mereka semua gembira karena kembali mendapatkan amplop. Truk-truk yang beriringan melaju kencang saling menyalip. Massa di setiap truk saling mengejek dan membuat sopir seperti kesetanan melarikan mobil. 

Di sebuah jalan yang menikung dan menurun, truk yang di depan tiba-tiba terguling menumpahkan penumpangnya. Truk yang ditumpangi si rambut keriting tak bisa mengerem mendadak menghindari kecelakaan itu, dan akhirnya menabrak dengan kecepatan tinggi.

Tubuhnya terhempas dan terhimpit penumpang lainnya dan kemudian ia tidak merasakan apa-apa. Ketika sadar ia menemukan dirinya sudah di rumah sakit bersama puluhan penumpang yang juga terluka. 

Ia merasakan sakit di kepala, tangan dan kakinya. Ia beruntung tidak luka parah meski kepalanya masih terasa sakit.

Ia teringat dengan bapaknya. Ia turun dari tempat tidur dan berusaha mencari bapaknya. Tapi ia tidak menemukannya. Ia bertanya kepada seorang perawat dan menyebutkan ciri-ciri bapaknya. Perawat itu menyuruhnya mengecek ke sebuah ruangan tidak jauh dari situ. 

Ia berharap bapaknya hanya luka ringan seperti dirinya. Tapi, apa yang ia harapkan ternyata jauh berbeda. Di ruangan itu bapaknya terbujur kaku bersama belasan penumpang lainnya. Ia berteriak histeris dan kemudian jatuh pingsan. 

Saat siuman ia sudah berada di rumah dan bapak terbujur kaku di ruang tengah. Ibunya tak henti-hentinya menangis begitu juga adik-adiknya. 

Kematian bapak meninggalkan rasa sakit hati dan dendamnya pada Datuk Gigi Emas. Sang datuk hanya mengirimkan utusan beberapa hari setelah bapak dikubur. Utusan itu memberikan santunan uang beberapa ratus ribu rupiah dan janji manis akan memberikan bantuan jika keluarga itu kesulitan. 

Dendamnya bukan saja karena sikap tidak bertanggungjawab sang datuk. Tapi, karena ia harus kehilangan masa depan. Tamat SMP ia tidak bisa melanjutkan sekolah kejuruan. Ia terpaksa menjadi pengganti almarhum bapak menjadi nelayan. Mau tak mau harus melakoni pekerjaan turun temurun itu, karena ia harus menghidupi ibu dan adik-adiknya. 

Dendam itu ia simpan bertahun-tahun. Suatu hari ia ingin membalaskan sakit hatinya. Dan masa itu akhirnya sampai juga, ketika untuk kedua kalinya sang datuk mencalonkan diri sebagai anggota dewan dan terpilih kembali. 

Hari ini adalah hari pelantikan Datuk Gigi Emas bersama puluhan anggota lainnya untuk periode kedua. Lima tahun menjadi anggota dewan ternyata tidak mengubah raut sangar mukanya, apalagi memutihkan giginya yang makin kuning. 

Tapi, remaja keriting itu sudah berubah menjadi pemuda tinggi tegap dengan rahang kuat dan mata kelam seperti elang. Wajahnya tampan meskipun tidak bisa menyembunyikan mata yang dingin karena menahan dendam bertahun-tahun. 

Lamunan pemuda itu terhenti, ketika seorang bapak yang duduk di sebelahnya minta ijin melewatinya keluar dari deretan kursi itu.Sesaat ia tersadar jika harus kembali memperhatikan layar besar itu menunggu detik-detik yang ia tunggu. 

Ternyata pemberian ucapan selamat hampir selesai dan akhirnya pembawa acara menyilahkan semua anggota dewan yang baru dilantik itu, menduduki kursi masing-masing yang telah diberi nama. Sebelumnya mereka yang akan dilantik itu disediakan kursi khusus di bagian sebelah kanan panggung. 

Meja dan kursi yang ditempati sekarang sengaja dikosongkan dan hanya diduduki setelah resmi dilantik. Satu persatu anggota dewan itu menuju meja masing-masing dengan senyum bangga. 

Pemuda itu memasang mata dan telinganya. Ia berharap kamera bisa menampilkan gambar saat Datuk Gigi Emas menuju kursinya. Harapannya terkabul, layar besar itu menampilkan gambar yang menyorot si datuk menuju kursinya sambil melambai-lambaikan tangan ke arah hadirin. 

Dan.... pemuda itu menahan nafasnya dan menahan matanya tidak berkedip untuk melewatkan moment yang ia tunggu. Ia menghitung dalam hati ketika datuk gigi emas menduduki kursinya. Dan pada hitungan ke tiga tubuh tambun itu terhenyak saat baru menghempaskan pantat di kursi. 

Terdengar suara riuh tawa serta jeritan kecil dan gambar di layar masih menyorot datuk yang kesakitan dan menahan malu. Pengunjung di luar juga tidak kalah hebohnya melihat adegan yang tidak terduga itu. Beragam komentar terdengar dan si pemuda hanya menahan senyum penuh kemenangan. 

Di layar besar masih menampilkan datuk yang di tolong berdiri oleh staf protokol. Mukanya yang legam makin menghitam menahan marah. Kursi yang rusak itu diganti dengan kursi lain, tapi kursi kayu biasa. Sejumlah pengunjung dan anggota dewan yang lain tampak memandang kasihan dan geli kepada sang datuk.

Acara sempat terhenti sementara dan petugas meredakan suara gaduh. Sang pemuda memakai kaca mata hitamnya dan ikut mendekati kaca gedung dewan itu, pura-pura bergabung dengan pengunjung lain yang mencoba ingin melihat langsung kehebohan di dalam gedung. 

Diam-diam ia menyelinap pergi menjauh gedung itu, menyetop angkutan kota dan tertawa sepuasnya. Dadanya terasa lapang dan beban selama lima tahun hilang setelah melihat adegan memalukan datuk gigi emas. 

Tatapan dari sopir dari kaca spion dan penumpang lain tidak ia pedulikan. Ia menikmati kemenangannya. Tak sia-sia upayanya menyamar sebagai pekerja yang ikut membantu persiapan pelantikan anggota dewan itu dua hari lalu. 

Pelantikan itu membutuhkan banyak kursi untuk undangan dan pengunjung. Sehingga panitia menyewa kursi dari usaha penyewaan kursi. Kepada salah satu pemilik usaha penyewaan kursi, ia menawarkan diri bekerja harian membantu mengangkat kursi-kursi itu ke gedung dewan. 

Sengaja ia memilih menyusun kursi yang akan ditempatkan di bagian dalam gedung. Saat itu ia bisa mengamati situasi dan deretan kursi utama yang akan diduduki oleh calon anggota dewan baru. 

Di atas masing-masing meja sudah ada ukiran nama masing-masing calon anggota yang akan dilantik. Matanya langsung menangkap nama yang dicari-carinya. Sebuah meja di deretan agak ke belakang adalah tempat yang akan diduduki oleh datuk gigi emas. 

Ia memperhatikan situasi yang tidak terlalu ramai. Masing-masing orang sibuk dengan tugasnya dan itu memudahkannya mendekati meja itu. Sembari pura-pura memungut pulpen yang ia jatuhkan, ia berjongkok dan bersembunyi di balik kolong meja. Ruangan yang tidak terlalu terang mempermudah aksinya.

Dari sana ia leluasa melonggarkan baut kursi putar dengan obeng yang sudah ia siapkan. Kemudian dengan cepat ia berdiri dan kembali pura-pura ikut merapikan kursi.Tak ada yang mencurigainya, karena semua orang sibuk dan tidak perlu merasa curiga dengan para pekerja yang membawa kursi. 

Semalaman ia tidak tidur dan berharap tidak ada yang tahu kejanggalan pada satu kursi itu. Ternyata harapannya kembali terkabul. Petugas keamanan yang ditugaskan berjaga-jaga mensterilkan gedung itu lebih memprioritaskan mengecek benda-benda aneh dan orang yang mencurigakan. Sedangkan pengecekan kursi yang sudah disusun rapi seakan terlupakan. 

"Terimakasih Tuhan, bapak memang tidak akan hidup lagi. Tapi aku sudah bisa memberikan pelajaran pada orang yang membuat kami menderita," desisnya. 

Keesokan harinya ia membeli koran. Berita serta foto datuk gigi emas yang sedang terjerembab ke lantai terpampang besar. Sekali ia merasa menang dan dadanya terasa makin lapang. ***tamat

Posting Komentar untuk "Kursi Sang Datuk"